Bab 13 - Pembantu Tak Tahu Diri

1745 Kata
Setelah menghabiskan hampir satu minggu dalam rencana yang berjudul Honeymoon tapi nyatanya adalah liburan dadakan bagi Zoya dan perjalanan bisnis untuk Leon, Zoya menyadari bahwa laki-laki itu memang hanya gemar menggodanya untuk dijadikan mainan di kala bosan. Sering kali Leon bertingkah seperti hendak membawanya ke tempat tidur, tapi nyatanya laki-laki itu hanya menakut-nakuti Zoya dan membuatnya jadi salah tingkah. Setelah puas, Leon akan meledek Zoya habis-habisan karena merasa rencananya untuk mengganggu gadis itu berhasil. Di satu sisi, Zoya merasa tingkah Leon benar-benar kekanakan. Tapi di sisi lain ia juga bersyukur karena laki-laki itu hanya menggodanya saja, tidak sampai benar-benar melakukan ucapannya. Mereka bahkan membagi satu-satunya tempat tidur yang ada di sana dan laki-laki itu benar-benar tidak mengambil kesempatan sedikitpun pada Zoya. Mungkin karena seharian juga lebih banyak Leon habiskan di luar vila dengan meeting dan perencanaan pembangunan hotel dan vila miliknya, jadi ketika malam tiba, laki-laki itu sudah kelelahan dan akhirnya dengan mudah jatuh terlelap. Zoya sendiri lebih banyak menghabiskan waktu seorang diri dengan mengunjungi berbagai tempat di sana. Leon memberinya fasilitas untuk melakukan itu agar tidak bosan berada seharian di vila dan Zoya benar-benar berterima kasih karena ternyata laki-laki itu tetap peduli pada dirinya. Tapi sayangnya, hari ini semua itu harus berakhir. Pagi-pagi mereka sudah berangkat menuju bandara, dan akhirnya tiba di bandara Soekarno-Hatta pukul sepuluh. Leon langsung menuju kantor, sementara Zoya diantar sopir menuju apartemen laki-laki itu. Setelah menikah, seperti kesepakatan sebelumnya, Zoya memang akan tinggal bersama Leon di sana. Meskipun sebenarnya Lilia lebih suka Zoya tinggal di rumahnya agar bisa memantau kehamilan gadis itu, tapi Leon yang tidak suka berada dalam pengawasan ibunya menolak hal tersebut mentah-mentah. Apartemenku atau tidak menikah sama sekali. Itu adalah ancaman Leon waktu itu yang berhasil membuat Lilia menyerah. Zoya melangkah keluar dari lift yang membawanya ke lantai teratas gedung yang menjadi tempat tinggal Leon. Ia melangkah mengikuti sopir yang membawa kopernya dan Leon menuju sebuah kamar yang ada di sisi kanan. Seorang asisten rumah tangga menyambut kehadiran mereka saat sopir Leon yang bernama Anwar sudah tiba di depan pintu kamar. Perempuan yang menjadi asisten rumah tangga itu tampak masih muda, seperti masih berusia dua puluhan. “Nah kebetulan ada kamu nih, Rizka. Tolong susun pakaian Tuan sama Nyonya ya,” ujar Anwar sambil menyerahkan koper milik Zoya dan Leon. Perempuan yang bernama Rizka itu tersenyum pada Anwar, tapi senyum itu lenyap ketika menatap Zoya. “Oke, Mas,” ujar perempuan itu, lalu mengambil alih kedua koper yang dibawa Anwar. Sama sekali tidak menyapa Zoya sedikitpun. “Bu Zoya, itu tadi Rizka. Dia asisten rumah tangga di sini. Nanti kalau ada yang dibutuhkan bisa minta sama Rizka ya. Saya harus balik ke kantor karena tadi asisten Tuan Leon meminta saya menjemput klien mereka untuk dibawa ke sana.” “Ya, Pak Anwar. Terima kasih ya.” Zoya mengangguk dan memberikan senyum pada pria itu. Ketika Anwar telah pergi, Zoya yang bingung untuk menelusuri kediaman Leon akhirnya memutuskan untuk memulai dari kamar tidur mereka saja. Sampai beberapa waktu lalu, Leon tidak sedikitpun membahas pemisahan tempat tidur dengannya. Jadi Zoya anggap bahwa laki-laki itu mengizinkan Zoya untuk tidur di kamarnya juga. Zoya pun mengulurkan tangan untuk membuka pintu, lalu melangkah memasuki kamar Leon. Kamar itu sangat luas, dengan d******i warna abu-abu dan putih. Tidak banyak perabot di dalam sana, hanya ada tempat tidur king size, karpet abu-abu yang lembut, dan sofa tanpa sandaran di seberang tempat tidur, persis di dekat dinding kaca yang menampilkan pemandangan city view di luar sana dengan jelas. Puncak-puncak gedung gedung berjejer rapi, dibawahnya tampak jelas jalan raya yang dilalui banyak kendaraan. Tapi melihat ke bawah terlalu lama membuat Zoya tiba-tiba pusing. Zoya pun menyingkir dari dinding kaca, lalu menelusuri sisi lain kamar. Ini kali pertama ia mengunjungi penthouse Leon. Rasanya tempat ini terlalu luas untuk ditinggali seorang bujangan. Di sisi kanan tempat tidur, ada sebuah pintu kaca geser. Zoya menggeser pintu tersebut dan menemukan Rizka yang berada di antara barisan pakaian sedang membuka koper Leon dan memilah isinya. “Hai,” sapa Zoya ramah, mencoba berteman dengan gadis itu. Tapi di luar dugaan, ternyata Rizka diam saja, sama sekali tidak merespons sapaannya. Zoya mencoba sekali lagi untuk menyapa sambil melangkah mendekati gadis itu. “Hmm… Koperku dan Leon lebih banyak diisi dengan pakaian kotor. Mungkin sebaiknya langsung dibongkar di ruang cuci saja supaya kamu tidak repot.” Tapi lagi-lagi respons gadis itu benar-benar di luar dugaan. “Bilang dong dari tadi!” ujarnya sambil menutup kembali koper Leon dengan membantingnya keras. Zoya terlonjak karena kaget. Ia benar-benar tidak menyangka akan menerima respons seperti ini. “Maaf, tadi aku lupa ngasih tahu,” ujar Zoya. Usia mereka sepertinya tidak berbeda jauh, tapi gadis ini sama sekali tampak tidak bersahabat padanya. Rizka tidak lagi berkata-kata dan langsung menyeret koper Leon keluar dari walk in closet tersebut. Sepeninggal Rizka, Zoya hanya bisa kebingungan pada sikap gadis itu. Ia melihat kopernya masih ditinggal gadis itu di sana, lalu menyeret koper itu keluar. Di sisi lain kamar ada pintu lain yang Zoya yakin adalah kamar mandi. Ia pun menyeret kopernya ke sana dan membuka pintu tersebut. Dugaannya tidak salah. Di balik pintu itu memang ada kamar mandi, dengan bathtub berbentuk setengah lingkaran. Ada pula bilik shower dan juga wastafel yang didesain sangat elegan dengan cermin lebar di dinding. Zoya meninggalkan kopernya di depan pintu, lalu melangkah masuk mendekati keranjang pakaian kotor di sana. Ia kemudian membawa keranjang kosong tersebut keluar, lalu membongkar kopernya di sana. Zoya memilah sendiri pakaian kotornya, lalu setelah selesai, ia meninggalkan keranjang tersebut dan mencari tempat untuk menyimpan beberapa pakaian bersihnya. Ia melihat sekeliling dan tidak menemukan opsi lain yang bisa ia jadikan tempat menyimpan pakaian selain berbagi dengan Leon di walk in closet-nya. Namun, karena tidak yakin bahwa Leon bersedia berbagi, Zoya akhirnya membiarkan pakaian bersih miliknya tetap berada di dalam koper. Agar tidak membuat kamar Leon yang rapi tampak berantakan, Zoya pun akhirnya menyeret kembali kopernya ke dalam walk in closet dan meletakkannya di sudut tempat itu. Setelah membereskan kopernya, Zoya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih pukul sebelas siang. Mungkin ia bisa beristirahat sebentar di sini, dan setelah makan siang ia bisa mulai mencuci pakaiannya. Ia masih punya banyak waktu untuk mengelilingi penthouse yang luas ini. Zoya pun melirik tempat tidur Leon yang luas dan tampak sangat nyaman. Ia pun seketika menguap. Sejak hamil, ia memang lebih sering mengantuk. Perlahan, kakinya pun melangkah menuju tempat tidur, lalu dengan lembut mulai merebahkan tubuh untuk beristirahat di sana. *** Zoya terbangun pada pukul dua siang. Ia merasa perutnya sangat lapar dan akhirnya memilih keluar dari kamar Leon sambil membawa keranjang berisi pakaian kotornya. Ia menyusuri penthouse tersebut sambil mencari letak dapur. Ketika akhirnya berhasil menemukan dapur, Zoya tidak bertemu siapa pun di sana. Entah di mana Rizka berada, Zoya tidak tahu dan ia tidak berminat mencari perempuan itu karena masih trauma dengan sikap gadis itu yang tidak bersahabat dengannya. Zoya memeriksa lemari es dan kabinet untuk mencari makanan, tapi tidak menemukan satu pun makanan yang siap santap untuknya. Akhirnya, karena sudah terlalu lapar, Zoya pun memilih untuk membuat telur dadar untuk makan siangnya. Ia menikmati makan siangnya dengan santai di pantry, lalu setelahnya juga membereskan seluruh peralatan yang ia pakai seperti semula. Setelah itu, Zoya mulai kembali beranjak dari dapur untuk mencari tempat khusus untuk mencuci. Ia kembali menjelajahi penthouse mewah Leon dan mengamati segala keindahannya. Suara mesin cuci di salah satu sudut membuat Zoya melangkahkan kakinya ke sana. Ia berbelok menuju tempat itu dengan melintasi area di antara ruang makan dan dapur. Benar saja, di sana Zoya menemukan Rizka tengah memilah cucian di depan sebuah mesin cuci. Sambil memberanikan diri, Zoya pun melangkah mendekati gadis itu. Ia meletakkan keranjang cuciannya di sana dan membuka mulut hendak menyapa. Akan tetapi, Rizka yang menyadari kehadirannya seketika langsung menatap Zoya tajam. “Apa nih maksudnya bawa-bawa keranjang cucian?” tanya gadis itu dengan nada kasar. “Mau minta aku yang nyuci? Eh, cuci sendiri ya. Aku di sini bukan untuk melayani kamu, tapi cuma untuk melayani Tuan Leon.” Zoya yang tidak siap akan didamprat seketika terdiam selama beberapa saat. Setelah pulih dari rasa terkejutnya, Zoya pun membuka mulut untuk membuat pembelaan. “Aku hanya ingin bertanya kapan kamu selesai mencuci, karena aku juga akan menggunakan mesin cuci ini setelah kamu. Aku sama sekali tidak berniat meminta kamu mencuci seluruh pakaianku,” ujar Zoya. “Halah, alasan. Dasar perempuan culas. Setelah menjebak Tuan Leon, sekarang kamu mau berlagak seperti ratu di rumah ini, hah?” “Apa maksud kamu?” tanya Zoya dengan dahi berkerut. “Aku sama sekali tidak mengerti kenapa kamu bersikap begitu sinis padaku. Bukankah kita baru saja bertemu?” “Nggak usah sok polos. Kamu benar-benar perempuan tak tahu diri!” Sejujurnya Zoya jengkel dengan sikap Rizka yang tiba-tiba sangat memusuhinya ini. Tapi karena ia juga merasa cukup heran dengan sikap perempuan itu, rasa jengkelnya seketika teralihkan. “Aku nggak tahu kenapa kamu sangat membenci aku, tapi aku harus katakan kalau aku sama sekali tidak berminat untuk mengganggu kamu. Jadi bisakah kamu bersikap lebih wajar alih-alih memusuhiku seperti ini?” “Apa kamu bilang?” Rizka menatapnya sinis. “Kamu pikir kamu siapa bisa nyuruh-nyuruh aku seperti itu? Sadar diri dong kamu itu siapa. Benar-benar nggak tahu diri. Pergi sana!” “A-apa?” tanya Zoya terbata. Apa gadis ini barusan mengusirnya? “Kamu nggak dengar aku bilang pergi?!” bentar Rizka lagi. “Ah, di sini kamu rupanya.” Zoya sudah siap menjawab ketika Leon tiba-tiba muncul di sana menginterupsi obrolan mereka. “Oh, Tuan Leon,” ujar Rizka. Nada bicaranya jelas sekali jauh berbeda dengan beberapa saat lalu ketika ia berbicara dengan Zoya. “Tumben pulang cepat.” Zoya mengamati bahasa tubuh Rizka. Gadis itu mendadak sok kalem di hadapan Leon. Apa gadis ini salah satu simpanan Leon? Zoya mendadak jadi tidak yakin bahwa ia hanya seorang asisten rumah tangga, mengingat betapa kasar sikapnya pada Zoya tadi. “Ya, aku ada urusan setelah ini,” jawab Leon, lalu mengalihkan tatapannya pada Zoya. “Ayo Zoya, segeralah bersiap-siap. Temanku mengundang kita untuk makan malam di rumahnya.” “Sekarang?” tanya Zoya. Leon menatapnya sambil menghela napas. “Memangnya kapan lagi?” tanya laki-laki itu balik. “Oh, oke,” ujar Zoya menyerah. Sebenarnya ia ingin bertanya kenapa mereka pergi sesiang ini padahal undangannya untuk makan malam. Tapi karena malas berdebat dengan Leon, ia pun langsung segera beranjak dari sana. Ketika Zoya memunggungi mereka, Leon menatap kembali pada Rizka yang kini ternyata tengah tersenyum penuh arti padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN