Bab 12 - Honeymoon?

1527 Kata
Zoya berusaha keras memfokuskan diri pada buku bacaannya. Ia bahkan tidak sadar jika sudah waktunya makan siang dan Leon akhirnya bangun dari tidurnya. Ia baru teralihkan ketika suara Leon dari seberang kolam menyapanya. “Kamu sudah makan siang?” Zoya mengalihkan tatapan dari buku bacaannya dan menemukan Leon berdiri di ambang pintu kaca yang berbatasan dengan kolam renang. Rambut laki-laki itu masih acak-acakan, dan dia tidak mengenakan baju selain boxer yang membungkus bagian bawah pinggangnya. Sepertinya laki-laki itu baru saja turun dari tempat tidur. “Belum.” Zoya menjawab singkat sambil menggeleng. “Oke, aku akan minta mereka mengantar makan siang untuk kita,” ujar laki-laki itu, lalu berbalik dan kembali masuk ke dalam kamar. Zoya menatap ke arah tempat Leon berdiri dengan bingung. Barusan itu apa benar Leon yang bertanya padanya? Kenapa laki-laki itu menawarkan makan siang padanya? Kenapa Leon jadi baik begini? Zoya meletakkan pembatas buku di halaman terakhir yang ia baca, lalu menutup bukunya. Ia merasa perlu mencerna sikap Leon barusan. Jika diulang kembali ke beberapa waktu lalu, sikap Leon pada Zoya tetap konsisten menyebalkan. Bahkan sejak terakhir mereka bertemu sebelum resepsi kemarin, Leon bahkan bertanya apakah Zoya ingin menemaninya malam itu dan ia akan membayar lebih dari tarif yang diberikan sebelumnya. Sebentar… Tadi pagi dia sendiri yang bilang kalau tidak akan meniduri perempuan bayarannya lebih dari satu kali. Tapi waktu itu dia sendiri yang kembali memberikan tawaran. Lalu, saat resepsi kemarin laki-laki itu juga mulai bersikap manis padanya. Oke, mungkin dia hanya berpura-pura ketika mereka berada di hadapan orang-orang. Namun, sikap itu terus berlanjut saat mereka hanya berdua saja. Leon memang melepas rengkuhan lengannya di pundak Zoya saat mereka berjalan beriringan menuju ke vila ini. Tapi laki-laki itu membukakan pintu untuknya, juga memberi perhatian karena menyadari Zoya lebih banyak melamun. Laki-laki itu juga menggodanya dan tidak menunjukkan raut jengkel sekali pun seperti pada pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya. Kenapa Leon jadi berubah sejak mereka menikah? Tapi bukankah pagi tadi dia kembali bertingkah menyebalkan? Tapi siang ini laki-laki itu kembali bersikap baik. Ya ampun, Leonard Virendra ini benar-benar membuatnya bingung. *** Leon muncul beberapa menit kemudian dan duduk di sebelah Zoya di gazebo. Laki-laki itu mengenakan celana khaki sepanjang lutut dan kaus berwarna hitam. Ini adalah kali pertama Zoya melihat Leon dengan pakaian tidak formal seperti ini, selain tadi pagi. Biasanya laki-laki ini selalu mengenakan kemeja dan celana panjang. Aroma after shave menguar ketika Leon baru saja duduk di sebelahnya. Wangi maskulin itu menggelitik hidung Zoya hingga mau tidak mau ia mengakui bahwa dirinya suka dengan wangi tersebut. Leon tampaknya baru saja selesai mandi karena kini rambutnya masih setengah basah dan wajahnya tidak tampak mengantuk seperti sebelumnya. “Makanannya belum datang?” tanya Leon. “Belum.” Zoya menggeleng. Matanya kembali fokus pada buku bacaannya. “Ah, aku lapar,” keluh Leon, lalu merebahkan diri ke atas bantal besar yang ada di sana. Mau tidak mau, Zoya akhirnya menoleh. “Di meja itu masih ada sarapan untuk kamu pagi tadi,” tunjuknya pada meja yang ada di ruang duduk di dekat setapak menuju pintu vila. “Kalau kamu mau mengisi perutmu lebih dulu sebelum makan siangnya datang.” “Aku telepon saja mereka agar lebih cepat menyiapkan makanannya,” ujar Leon, lalu bangkit dan melangkah kembali ke dalam vila untuk mengambil ponselnya. Zoya hanya bisa menghela napas panjang melihat Leon yang tidak sabaran. Laki-laki itu kembali tak lama kemudian, lalu meraih botol air mineral yang ada di kabinet ruang duduk. Ia kembali mengambil tempat duduk di samping Zoya, lalu minum dari botol air mineral yang dibawanya. Setelah itu, Leon kembali merebahkan diri ke bantal dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Kenapa dia kembali ke sini? Zoya yang heran jadi bertanya-tanya di dalam hati. Di sini ada banyak tempat duduk, tapi kenapa Leon malah sengaja memilih satu tempat dengannya? Berbeda dengan Zoya yang kebingungan, Leon sendiri sibuk dengan ponsel di tangannya. Entah apa yang dilihat Leon di ponselnya, Zoya tidak ingin melirik. Ia biarkan saja laki-laki itu melakukan apa yang ingin ia lakukan, dan akhirnya memilih tetap fokus pada buku yang dibacanya. *** “Hei, udah mau cabut sekarang ya?” Sore harinya ketika Zoya dan Leon yang berjalan keluar dari kamar, mereka berpapasan dengan Devon yang hendak menuju pantai bersama istri dan anaknya. “Yup,” sahut Leon sambil menjabat tangan sahabatnya itu dengan jabatan tangan ala laki-laki. Sebelah lengan Devon menggendong putranya yang baru berusia tujuh belas bulan dan kini mengenakan baju renang biru yang lucu sekali, dan sebelah lagi menyambut tangan Leon. “Kalian mau ke pantai?” tanya Leon sambil mengamati keluarga kecil itu. “Ya, mau ngajakin Xander bikin istana pasir,” jawab Devon sambil terkekeh. “Bukan Xander, tapi papanya,” sahut Davina, istri Devon. “Lho, bukannya yang sebenarnya lagi ngidam bikin istana pasir itu mamanya ya?” goda Devon balik. “Bukan aku, tapi si kembar,” jawab Davina lalu mengusap perutnya sambil tersenyum. Diam-diam Zoya mengamati istri Devon itu. Apakah dia sedang hamil? Bayinya kembar? Leon terkekeh mendengar pasangan suami istri itu saling mengelak. “Ya sudah, siapa pun itu, enjoy your holiday ya.” “Kami besok nginap di vila yang di Ubud kok. Kalau kalian nggak ‘sibuk’, kita bisa makan malam bareng,” kata Devon lagi. “Regas gimana?” tanya Leon. “Tadi pagi dia buru-buru pulang karena kakak iparnya kecelakaan,” jawab Devon. “Kamu berniat mengancaukan bulan madu Leon?” tanya Davina pada suaminya. “Orang mau bulan madu kok malah diajakin ini-itu.” “Karena kebetulan deket sama vila kita, Sayang,” ujar Devon. “Ya mereka kan nggak seharian juga di kasur. Biar nggak bosan.” Davina tiba-tiba mencubit pinggang suaminya. “Waktu itu bukannya kamu bilang akan ngasih hadiah bulan madu di salah satu resort yang ada di Maladewa? Kenapa mereka jadinya bulan madu di Ubud?” “Aaakk… Kok aku yang dicubit?” protes Devon. “Aku udah ngasih hadiahnya, tapi Leon yang menolak. Dia sendiri bilang ingin di Ubud dan pakai vila miliknya sendiri.” “Tenang, Davina. Jangan marah sama Devon.” Leon mencoba menengahi dan terkekeh melihat Davina yang memarahi suaminya. “Saat ini kami memang sengaja ingin honeymoon di Ubud saja karena sedang berminat dengan nuansa alam yang hijau. Ya kan, Sayang?” Tiba-tiba saja Leon merengkuh pinggang Zoya, membuat gadis itu seketika memberikan anggukan meski ia sama sekali tidak tahu mengenai hadiah dari Devon. Selepas mereka makan siang yang cukup terlambat tadi, Leon memang telah meminta Zoya bersiap-siap untuk check out. Laki-laki itu bilang mereka akan pindah ke vila miliknya di Ubud. Zoya yang penasaran akhirnya bertanya kenapa mereka harus pindah, dan jawaban Leon membuatnya cukup terkejut. Bulan madu. Laki-laki itu bilang mereka akan berbulan madu di sana. Tapi tadi Zoya sempat mencuri dengar ketika Leon menelepon seseorang. Bulan madu tersebut hanyalah kamuflase saja, padahal sebenarnya Leon ingin melakukan beberapa pekerjaan di sana untuk proyek hotel dan vila yang akan ia bangun nantinya. Atau hal-hal semacam itu. Zoya hanya mendengar sekilas tadi. Namun, penjelasan Leon tampaknya membuat Davina akhirnya mengerti dan melepaskan cubitannya di perut Devon. Dalam hati Zoya yang melihat itu bertanya-tanya kira-kira bagaimana reaksi Davina saat mengetahui bahwa bulan madu Leon dan Zoya hanya pura-pura saja. “Tenang saja, hadiah itu akan kami ambil nantinya ketika kami ingin melakukan the next honeymoon,” sambung Leon lagi. “Okay,” sahut Davina. Devon tersenyum lega pada Leon, lalu melingkarkan lengannya yang bebas di pinggul Davina. “Udah dengar sendiri kan?” ujarnya pada sang istri. “Iya,” kata Davina sambil mengangguk. Leon terkekeh. “Kalau begitu kami duluan ya. Sepertinya Xander sudah tidak sabar ingin main pasir di pantai,” ujarnya saat melihat putra Devon yang mulai tampak menggeliat dalam gendongan ayahnya. “Oke, selamat berbulan madu,” ujar Devon dan Davina. Leon mengangguk, lalu mengajak Zoya untuk melangkah lebih dulu dari pasangan tersebut. Zoya memberikan mereka senyum dan anggukan sopan untuk pamit, lalu melangkah mengikuti langkah Leon. *** Mereka tiba di vila milik Leon saat matahari terbenam. Tadi Zoya sempat pamit pada ibu dan adiknya, dan Leon sendiri ikut menemaninya karena tampaknya laki-laki itu tidak berminat untuk pamit pada orangtuanya sendiri. Vila bambu bernuansa alam tersebut tampak asri dan sangat nyaman. Zoya melangkah ke dalamnya sambil mengagumi tiap detail yang ada. Bangunan dua lantai yang mayoritas menggunakan material bambu ini benar-benar indah. “Makan malamnya sudah siap, Pak. Nanti kalau ada yang dibutuhkan lagi, telepon saja saya,” ujar laki-laki yang tadi menyambut kedatangan mereka. “Oke, makasih, Pak Adri,” ujar Leon. Laki-laki berusia empat puluhan itu pun pamit untuk undur diri, sementara Leon terus melangkah menuju dapur. Zoya yang sejak tadi terus mengikutinya pun mengekori Leon ke dapur. Di meja makan yang berada di sana, mereka menemukan sudah berjejer makan malam yang tampak sangat lezat. Semua makanan itu dihidangkan dalam piring-piring besar dan dibungkus oleh plastic wrap. Beberapa sudah tampak mengembun karena uap panasnya tertahan oleh plastik penutupnya. “Ayo kita makan dulu. Setelah itu baru kita nikmati bulan madu ini.” Leon menatap Zoya sambil tersenyum menggoda. Zoya yang semula fokus pada seluruh hidangan seketika menatap laki-laki itu dengan bingung. Menikmati bulan madu ini? Bukannya ini hanya pura-pura saja? Apa yang sudah laki-laki ini rencanakan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN