Bab 14 - Teman-Teman Leon

2110 Kata
“Kamu serius mau pakai baju itu?” Zoya hampir saja terlonjak ketika ia melangkah keluar dari kamar mandi. Leon yang berdiri persis di depan pintu benar-benar mengagetkannya. Laki-laki itu mengamati dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan tidak suka, sementara Zoya mengangguk untuk menjawab pertanyaan laki-laki itu. “Apa kamu nggak punya pakaian lain untuk dikenakan sampai harus pakai dress ini lagi?” tanya Leon lagi. Zoya memandang pakaian yang dikenakannya dengan bingung. Apa ada yang salah dengan dress ini? Ini kan dress yang Leon belikan saat mereka hendak makan malam di rumah kakek dan nenek laki-laki itu. “Aku cuma punya dress ini. Pakaianku yang lainnya tidak cukup layak dipakai untuk makan malam bersama orang-orang,” jawab Zoya. “Bukannya Mama sering ngajakin kamu belanja?” Zoya langsung menggeleng. Lilia memang sering mengajaknya keluar, tapi semua itu untuk persiapan pernikahannya. Bukan untuk berbelanja pakaian. Leon menghela napas panjang, lalu akhirnya berbalik dan menelepon seseorang. Zoya masih berdiri diam di depan pintu kamar mandi sambil mengamati laki-laki itu yang berdiri di samping dinding kaca. “Bawa saja beberapa koleksi dress, gaun, juga pakaian santai lainnya. Ya, sekarang. Aku butuh semua itu sekarang.” Setelah mengakhiri panggilan itu, Leon kembali berbalik menghadap Zoya. “Ganti pakaian itu,” ujar Leon dengan nada tak ingin dibantah. “Tapi—” “Asistenku akan segera datang. Pilih pakaian yang dia bawa dan buat dirimu pantas untuk hadir di acara makan malam bersama teman-temanku.” “Baik.” Zoya akhirnya mengangguk pasrah. Setelah mengatakan hal itu, Leon melempar ponselnya ke kasur, lalu ia sendiri berjalan ke arah Zoya. Melihat laki-laki itu mendekatinya, Zoya seketika menempel ke pintu krn takut dengan apa yang laki-laki itu rencanakan untuk ia lakukan padanya. “Minggir, aku mau mandi,” ujar Leon. “Kamu nggak berniat terus berdiri di sini sampai subuh kan?” “Oh, m-maaf.” Zoya segera melangkah keluar untuk memberi Leon jalan. Ketika Zoya menyingkir, Leon langsung menutup pintu kamar mandi. Untuk beberapa saat, Zoya hanya menutup pintu kamar mandi itu dalam diam. Ia tidak tahu harus menunggu asisten Leon di mana. Sejak asisten rumah tangga yang bernama Rizka itu marah-marah padanya, Zoya merasa hanya kamar ini tempat paling nyaman untuknya. Lagi pula Leon juga tidak mengusirnya dari kamar ini. Itu artinya laki-laki itu tidak keberatan berbagi kamar dengannya kan? Karena bingung harus pergi ke mana, Zoya memutuskan untuk duduk di sofa tanpa lengan yang ada di dekat dinding kaca. Ia duduk sambil membelakangi tempat tidur, menatap ke arah langit sore dan jalanan di bawah sana. Hingga Leon selesai mandi pun Zoya masih betah duduk di sana. Laki-laki itu hanya melewatinya sambil menaikkan sebelah alis, dan kembali menghilang ke dalam walk in closet. Zoya baru menoleh ketika Leon keluar dari balik pintu kaca lemari pakaiannya. Laki-laki itu menguarkan wangi yang sangat Zoya suka sejak pertama kali menciumnya di Bali kemarin. Tatapannya bertemu dengan tatapan laki-laki itu, dan Zoya segera memalingkah wajah. Diam-diam ia bertanya-tanya dengan pakaian yang Leon kenakan. Laki-laki itu benar-benar tampak santai, tidak dalam balutan formal seperti yang ia bayangkan. Leon hanya mengenakan celana jins hitam, lalu kaus hitam yang dilapisi blazer tanpa kancing berwarna abu-abu tua. Jika Leon cukup santai seperti ini, kenapa ia malah meminta Zoya mengenakan dress? “Sudah di mana?” Zoya kembali menoleh ketika Leon lagi-lagi menelepon seseorang yang sebelumnya tadi ia minta untuk membawakan pakaian untuk Zoya. “Oke. Ya, semuanya, tidak hanya dress dan gaun saja.” Ucapan Leon barusan membuat Zoya akhirnya menoleh dan memberanikan diri untuk bertanya. “Apakah acara makan malamnya tidak cukup formal?” tanya gadis itu. “Maksudku, kamu tampak santai dengan pakaian itu. Jika tidak apa-apa mengenakan celana jins, aku punya beberapa—” “Jins kusammu itu yang kamu maksud?” kata Leon, lalu duduk di ujung tempat tidur menghadap Zoya. “No way. Jangan coba-coba pakai pakaian lusuh kamu lagi.” “Kenapa?” tanya Zoya. “Meski sudah agak kusam, tapi masih layak pakai kok,” ujar gadis itu. Mata Leon seketika melebar. “Kamu nggak berniat mempermalukan aku kan? Dengan berpakaian lusuh seperti itu apa kamu nggak berpikir bahwa itu juga akan membuat malu aku di hadapan orang-orang?” “Tapi sebelumnya kamu nggak masalah soal ini. Sejak di Bali kemarin, seluruh pakaian yang aku pakai adalah pakaian lusuhku. Tapi kamu nggak pernah mempermasalahkannya.” “Kemarin dan hari ini beda,” jawab Leon, sama sekali tidak berminat untuk menjelaskan. Sebenarnya ia juga tidak terlalu peduli, sebelum akhirnya ia mendengar sendiri orang yang berbisik-bisik mengenai penampilan Zoya yang bersisian di samping Leon saat di bandara tadi pagi. “Oke,” ujar Zoya mengakhiri perdebatan. Tidak ada gunanya ribut dengan Leon, karena itulah akhirnya ia menyerah. Setelah perdebatan singkat itu, suasana kamar kembali hening. Leon tampaknya masih betah duduk di ujung tempat tidur sambil fokus pada ponselnya, sementara Zoya kembali berbalik untuk melihat ke arah langit yang terbentang di luar sana. Sebenarnya Zoya sudah mulai agak pusing karena melihat ke bawah dan ke arah langit yang masih cukup terang. Tapi ia malas untuk membalik badan sehingga duduk berhadapan dengan Leon. Selama satu minggu mereka berbulan madu, mereka berdua seperti punya kehidupan sendiri-sendiri. Baik Zoya maupun Leon lebih banyak menghabiskan waktu untuk diri mereka sendiri tanpa mengganggu urusan masing-masing. Zoya dengan agendanya sendiri yaitu membaca, jalan-jalan di sekitar, dan mengunjungi beberapa objek wisata terdekat. Sementara Leon sibuk dengan meeting dan segudang pekerjaannya di sana. Tak jarang mereka hanya bertemu saat sudah hendak tidur, dan beberapa kali di waktu makan malam. Tapi kali ini duduk berduaan di kamar dalam kondisi sesiang ini rasanya cukup aneh karena ini jadi kali pertama untuk mereka seperti ini. Rasa tak nyaman dan canggung itu terselamatkan ketika Rizka mengetuk pintu kamar dan mengatakan bahwa asisten Leon sudah datang. *** Zoya menunduk mengamati pakaiannya. Rok berwarna poker green sepanjang bawah lutut, dan atasan dengan lengan tiga per empat berwana peach. Warna yang ia kenakan benar-benar tidak senada dengan pakaian Leon. Tapi apa boleh buat, ia sudah mencoba memilih pakaian berwarna hitam tadi. Tapi justru tampaks seperti orang yang ingin menghadiri pemakaman. Ia khawatir jika tetap mengenakan pakaian itu, teman Leon akan merasa seperti tidak dihargai akibat warna pakaiannya yang gelap. “Ayo turun.” Zoya menoleh saat Leon melepas seatbelt dan keluar dari mobil. Ia pun segera melakukan hal yang sama dan ikut turun mengekori laki-laki itu. Mereka baru saja tiba. Langit di atas mereka sudah mulai gelap. Prediksi waktu yang dibuat Leon ternyata benar-benar pas. Zoya akhirnya mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang membuatnya penasaran tadi, kenapa Leon mengajaknya untuk pergi makan malam saat masih siang seperti tadi. “Silakan masuk, Den, Non.” Seorang asisten rumah tangga membukakan pintu untuk mereka dan mempersilakan Leon dan Zoya untuk masuk. Asisten rumah tangga tersebut mengantar mereka menuju bagian tengah rumah yang sudah jadi arena bermain dua balita lucu, sementara dua laki-laki dewasa duduk di sofa yang ada di sana untuk mengawasi para bayi-bayi itu bermain. “Datang juga nih akhirnya pengantin baru,” goda salah satu laki-laki yang ada di sana sambil berdiri untuk menyambut Leon. Mereka berjabat sebentar, lalu saling menepuk pundak. “Gimana kakak ipar lo?” tanya Leon. “Udah membaik,” jawab laki-laki itu. “Zoya sudah datang ya. Ayo sini gabung sama kami di dapur. Ngapain gabung sama para bapak-bapak.” Seorang perempuan muncul dari arah dapur dan tersenyum ramah pada Zoya. Ia menghampiri Zoya, lalu memberinya pelukan singkat. Zoya yang bingung karena mereka sama sekali belum berkenalan hanya bisa membalas dengan senyum canggung. “Yuk, ikut aku,” ujar perempuan itu lagi, lalu menarik tangan Zoya tanpa permisi. Zoya yang pasrah akhirnya mengikuti perempuan yang menariknya itu menuju dapur. Di dapur, Zoya melihat ada seorang asisten rumah tangga yang berbeda dengan yang menyambutnya di depan tadi, dan juga perempuan yang ia kenal bernama Davina yang ia temui di Bali kemarin. “Halo, Zoya,” sapa perempuan itu sambil tersenyum ramah. Davina yang sebelumnya tampak sibuk memeriksa hidangan di atas meja pantry dengan perutnya yang buncit, seketika menghampiri Zoya dan memberinya pelukan singkat seperti yang perempuan satu lagi tadi lakukan. “Maaf ya dapurnya masih berantakan gini.” “Nih celemek buat kamu.” Perempuan yang satu lagi memberikan satu celemek bersih pada Zoya ketika Davina kembali menyingkir dari hadapan gadis itu. “Kalau-kalau mau ikut bantuin kita. Hehehe…” “Ya ampun, Dira. Zoya baru aja datang, udah diajakin kerja,” ujar Davina sambil menggeleng. “Nggak apa-apa, Kak. Dia pasti bingung juga kalau cuma berdiri di sini nantinya,” jawab perempuan yang dipanggil Dira itu. Ia lalu menoleh pada Zoya. “Eh iya, kita belum kenalan ya. Namaku Dira,” ujarnya sambil mengulurkan tangan. Zoya segera membalas uluran tangan Dira dan balik menjabatnya. “Zoya,” balas gadis itu. “Ya, aku udah tahu dari undangan kemarin,” ujar Dira nyengir. “Nah, kalau ibu hamil yang cantik itu namanya Davina. Baginda Ratu di rumah ini,” sambung Dira sambil menunjuk ke arah Davina. Davina yang berdiri di dekat oven seketika terkekeh mendengar ucapan Dira. “Salam kenal ya, Zoya. Oh ya, kamu nggak harus bantuin lho. Si Dira memang sukanya begitu, nggak bisa diem,” ujar Davina. “Eh, i-iya, Kak,” ujar Zoya yang masih bingung. “Santai aja ya, Zoya. Aku sama kamu seumuran kok, kalau Kak Davina sih emang udah lebih dari seperempat abad umurnya,” ujar Dira. “Maksudnya aku tua gitu?” protes Davina sambil pura-pura marah. “Lebih tua dari kami maksudnya, Kak,” ujar Dira. “Jadi kamu santai aja ya, Zoya. Di sini meski Kak Davina itu senior, dia nggak akan ngospek kita kok,” sambung Dira lagi. “Leon selama ini nggak pernah ngenalin kamu ke kita-kita,” kata Davina sambil membawa piring berisi salad mendekati Zoya dan Dira yang berada di sisi pantry. “Jadi makan malam ini sengaja diadakan supaya kita bisa lebih akrab.” Zoya tersenyum dan mengangguk. Ia benar-benar lega ternyata istri teman-teman Leon ternyata sangat baik. Ia pikir akan kembali bertemu dengan perempuan setipe Rizka yang suka marah-marah. “Dav, ini si Xander harus ganti popok kayaknya.” Tiba-tiba Leon muncul ke dapur sambil membawa Xander yang merengek dalam gendongannya. “Bau banget ini astaga.” Leon menjauhkan Xander dari tubuhnya. Batita itu merengek dan menggeliat semakin keras karena Leon yang menggendongnya dengan posisi yang tidak biasa, yakni hanya menahan kedua tubuhnya dengan meletakkan tangan di bawah ketiak, sementara kaki bayi itu menggantung di udara. “Lho Devon ke mana?” tanya Davina. “Lagi angkat telepon penting di ruang kerjanya.” “Regas nggak ada di sana?” tanya Dira. “Lagi ambil botol s**u di mobil sama anak kalian,” jawab Leon. “Mila ke mana?” tanya Davina lagi. “Mila tadi lagi keluar entah ke mana.” “Haduh, tanganku habis pegang cabe ini,” kata Davina sambil menatap putranya. “Eh iya aku juga,” kata Dira tiba-tiba. Zoya mengamati mereka semua yang tiba-tiba menolak untuk mengganti popok bayi kecil itu. “Sini sama aku aja,” ujar Zoya tiba-tiba. Leon seketika menatapnya sangsi. “Memangnya kamu bisa?” Zoya mengangguk. “Bisa,” jawabnya. Ia lalu mengambil alih Xander dari gendongan Leon dan menenangkan bayi itu. “Ih Leon, Zoya kan di sini lagi bantuin kita-kita,” kata Dira protes. “Ya mau gimana lagi, gue sendiri nggak bisa ganti popoknya. Mana Xander udah kayak mau nangis.” “Ganti popoknya di mana, Kak?” tanya Zoya pada Davina. “Oh ya, di kamarnya aja. Tolong ya, Zoya. Makasih lho sudah mau direpotin,” kata Davina. “Leon, tolong anterin Zoya ke kamar Xander ya.” “Bantuin sekalian juga,” ujar Dira menimpali. “Kalau baru pertama kali, nggak mudah ganti popok bayi sendirian.” “Iya… Iya…” kata Leon setengah hati. Zoya pun langsung mengikuti Leon keluar dari dapur. Untungnya Xander tidak lagi menggeliat dan marah seperti di dalam gendongan Leon tadi. Bayi itu kini tampak tenang dalam gendongan Zoya. “Ini kamarnya,” ujar Leon sambil membukakan pintu. Zoya pun melangkahkan kaki ke dalam kamar bayi itu. “Hmmm… Kamu bisa bantu temukan popok dan celana ganti untuknya?” tanya Zoya pada Leon. “Aku?” ulang Leon seperti tak percaya pada pertanyaan gadis itu. Zoya mengangguk. “Bukannya tadi katanya kamu mau bantu juga buat ganti popoknya?” Wajah Leon seketika berubah ngeri mendengar pertanyaan Zoya. Ia menatap horror pada Xander yang ada di dalam gendongan gadis itu. Tentu saja ia tidak akan sanggup berhadapan dengan kotoran bayi Devon dan Davina ini. Bisa dipastikan ia akan kehilangan selera makan nantinya. Apa Zoya tidak berpikir sampai di sana? Leon tidak punya pengalaman apa pun pada bayi seumur hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN