Bab 15 - Leon Tetap Saja Leon

2145 Kata
“Kamu aja,” ujar Leon yang enggan mendekat. Zoya menatapnya sesaat, lalu mengembuskan napas. Tapi gadis itu tidak mengucapkan apa pun lagi, dan langsung menurunkan Xander dari gendongannya. Bagaimanapun bayi montok itu cukup berat. Begitu menginjak lantai, Xander yang sudah bisa berjalan langsung berlari dengan kaki kecilnya menuju pintu, persis ke arah Leon. “Aaa… Tolong tangkap dia,” pekik Zoya karena tidak menyangka kalau batita itu akan kabur ke arah pintu. Semula, Leon berencana untuk kabur. Tapi ketika melihat Xander yang ternyata cukup aktif, ia pun batal meninggalkan kamar itu dan membantu Zoya menghalangi putra Devon itu kabur dari kamarnya. “Hap… Mau ke mana kamu anak kecil?” Leon langsung berjongkok untuk menghalangi Xander dengan memegangi kedua tubuh bocah itu dari bawah ketiaknya. Xander yang merasa tertahan, seketika menggeliat protes. Melihat bahwa Xander sudah aman bersama Leon, Zoya pun membuka lemari untuk menemukan celana ganti untuk bocah itu. Setelah berhasil menemukan celananya, Zoya segera menyusun semua barang yang ia butuhkan di meja popok Xander. “Bisa tolong bawa dia ke sini?” tanya Zoya yang sudah berdiri di dekat meja popok. “Kamu nggak bisa ambil sendiri di sini?” tanya Leon yang enggan memegang Xander lebih jauh. “Kalau bayi sudah bisa jalan, agak sulit ganti popoknya sendirian,” ujar Zoya. “Apa lagi meja ini cukup tinggi, nanti dia jatuh.” “Kalau begitu ganti di lantai aja,” kata Leon lagi. Di tangannya, Xander masih tampak jengkel karena tidak bisa berlari melewati pintu. “Kamu lihat sendiri tadi dia yang langsung lari begitu menginjak lantai,” kata Zoya. Tapi Leon diam saja, tampak tidak rela membawa Xander yang bau kotoran mendekati Zoya. “Eh, tapi meja ini sepertinya untuk bayi baru beberapa bulan ya. Ya sudah, ayo ganti di lantai aja.” “Ya sudah, sekarang ambil bocah ini,” kata Leon yang sudah tidak tahan. “Aku nggak bisa ganti sendirian. Kamu bisa bantu kan? Pegangin Xandernya aja deh, yang gantiin popoknya biar aku aja.” Zoya membuat penawaran. Leon menghela napas panjang tidak rela, tapi akhirnya ia pun pasrah. “Ya sudah, ayo cepat ganti. Dia bau sekali.” Mau tidak mau, Leon akhirnya mengangkat Xander dengan gaya menggendongnya semula, dan membawa bocah itu mendekati Zoya. “Tolong pegangin ya,” kata Zoya, lalu melepas celana Xander. Bocah itu seketika menghentakkan kakinya tidak suka. “Cup… cup…cup… Kita ganti popoknya dulu ya, Sayang,” bujuk Zoya. Leon seperti ingin memutar bola mata karena merasa Zoya sangat lamban melakukan pekerjaannya. Tapi, ketika Zoya melepas popok Xander, bau kotoran itu seketika menguap ke atas dan masuk ke indera penciuman Leon. “Astaga!” Leon hampir mengumpat. Laki-laki itu langsung memundurkan lehernya dan memalingkan wajah. Bau kotorannya benar-benar membuat Leon mual. “Sebentar ya,” ujar Zoya dengan nada lembut. Ia segera menyingkirkan popok bekas tersebut, lalu mulai membersihkan kotoran yang menempel di b****g Xander dengan tisu basah. “Eh, kayaknya perlu dibersihin pakai air dulu deh.” “Hah?!” tanya Leon cemas. “Jadi maksudnya bawa dia ke kamar mandi dulu nih?” “Iya.” Zoya mengangguk seolah tidak melihat penderitaan Leon. “Di sudut itu ada pintu, mungkin itu kamar mandinya.” Gadis itu berdiri sambil membawa popok kotor Xander dan tisu basahnya, lalu membuang benda itu ke tong sampah yang ada di dekat pintu yang ia maksud. Setelahnya, ia kemudian menekan handle pintu dan membukanya. “Iya, bener nih kalau ini kamar mandi. Ayo bawa dia ke sini,” ajak Zoya. Leon menatap gadis itu dengan sebal, tapi akhirnya tetap membawa Xander ke sana. “Bawa dia ke sini,” ujar Zoya yang berdiri di dekat kloset. Tangannya sudah memegang selang pancuran. “Kamu yang bersihin sendiri, aku nggak ikutan,” ujar Leon yang sudah siap melepas Xander dari pintu kamar mandi. “Tolong dibantu pegang ya, aku nggak bisa pegang anak ini sambil bersihin pantatnya,” kata Zoya. Leon membuka mulut hendak membantah, tapi ketika melihat bahwa Xander memang sulit dikendalikan, laki-laki itu pun akhirnya memutuskan untuk membantu Zoya. Setelah Xander selesai dibersihkan, Leon membawa Xander kembali ke kamar. Zoya menyusul mereka setelah mencuci tangan dan membawa handuk. Leon masih memegangi Xander sementara Zoya mengelap bagian bawah tubuh bayi itu. “Kamu nggak merasa jijik?” tanya Leon heran. Sejak tadi Zoya sama sekali tidak tampak ingin muntah atau jijik saat membersihkan kotoran Xander. “Nggak,” Zoya menggeleng, lalu membuka tutup botol minyak telon untuk mengoleskan minyak tersebut ke perut Xander. “Dulu ibuku pernah mengambil job sebagai pengasuh anak tetangga yang masih bayi. Aku sering lihat Ibu mengganti popok bayi itu,” jelas Zoya lagi. Setelah mengoles minyak telon, ia kemudian mengenakan kembali popok berbentuk celana pada Xander. “Selesai…” Zoya tersenyum pada Xander setelah berhasil memasangkan celana di luar popok bayi itu. “Makasih ya sudah jadi anak baik.” Zoya pun menggelitik pelan perut Xander, membuat batita itu tertawa senang. “Makasih juga sudah membantu,” ujar Zoya tersenyum tipis pada Leon. Untuk sesaat Leon bingung harus mengatakan apa. Cara Zoya mengucapkan terima kasih sambil menatapnya benar-benar membuat Leon kebingungan. Perempuan ini mengucapkan terima kasih dengan tatapan seolah Leon telah berhasil menyelamatkan dunia. “Semoga ini yang terakhir kali,” ujar Leon, lalu melepas Xander. Batita itu kemudian berjalan dengan cepat menuju pintu kamarnya. “Ah, jangan biarin dia jalan sendiri,” kata Zoya yang hampir berteriak. Leon akhirnya berdiri dan mengejar Xander yang sudah hampir mencapai pintu. “Ayo little Devon, kita kembali ke ruang keluarga,” ajak Leon sambil menggangkat tubuh bocah itu ke dalam gendongannya. “Wuidih… Udah cocok jadi ayah nih,” goda Regas yang kini tengah duduk di sofa sambil memberikan botol s**u pada anaknya. Di sebelahnya duduk Devon yang tertawa. “Selamat ya, perdana Xander buang air besar sama lo,” kata Devon saat Leon menyerahkan putranya ke laki-laki itu. “Ya, mau muntah gue. Anak lo makan apaan sih?” kata Leon sambil bergidik. “Kalian kok bisa tahan buat ganti popok bayi-bayi ini.” “Namanya juga anak sendiri, ya biasa aja lah,” kata Regas. Zoya menahan senyum mendengar obrolan para laki-laki itu, lalu kembali melangkah menuju dapur. Setibanya di dapur, ia hendak kembali mencuci tangan karena tadi mengoles minyak telon ke perut Xander, tapi sebelum ia tiba di wastafel, Dira sudah mencegatnya. “Gimana?” tanya perempuan itu sambil tersenyum lebar. “Leon nggak kabur kan?” tanya Davina yang mendekat dengan suara rendah. “Hhmmm… Leon bantuin sampai selesai, Kak,” jawab Zoya. “Nggak muntah dia?” tanya Dira lagi. Zoya kembali menggeleng. “Awalnya dia kayak jijik gitu, tapi dia bertahan.” “Hebat juga Leon ya,” kata Davina sambil tersenyum. “Padahal kata Devon, paling nggak Leon akan muntah-muntah.” “Iya, ih, nggak seru,” kata Dira sambil tertawa pelan. “Eh, ini sudah direncanakan ya?” tanya Zoya bingung. Dira mengangguk. “Tapi rahasia ya, jangan bilang sama Leon.” Zoya mengangguk setuju. “Kami sudah sepakat, jika salah satu dari bayi itu buang air besar, kami akan bikin Leon yang mengganti popoknya.” “Ya ampun…” Zoya tersenyum tertahan. “Makanya tadi sebenarnya aku nggak setuju pas kamu bantuin,” kata Dira lagi. “Ah, begitu rupanya. Habisnya tadi aku kasihan karena Xander tampak tidak nyaman,” kata Zoya. “Sudahlah, nggak apa-apa,” kata Dira. “Sekarang fokus ke sini aja.” “Sebentar lagi masakan kita selesai. Nanti tinggal ditata di meja dan kita bisa makan malam lebih awal,” jelas Davina saat Zoya melihat makanan yang sudah disajikan di dalam piring dan berjejer di pantry. “Apa ada yang bisa kubantu?” tanya Zoya. Davina menggeleng. “Udah selesai kok, tinggal tungguin yang masih di dalam oven dan yang sedang dimasak si Mbak aja.” Karena tidak ada yang perlu ia lakukan lagi, Zoya pun akhirnya mengangguk. Dira yang sangat ramah kembali membuka obrolan untuk mereka bertiga, hingga akhirnya mereka sambil menunggu masakan siap, mereka bertiga bisa berbincang-bincang dengan santai sambil mengakrabkan diri. *** Keesokan harinya, Leon kembali bersikap seperti tidak melihat keberadaan Zoya di rumahnya. Laki-laki itu bangun dan sarapan, lalu berangkat ke kantor tanpa pamit. Padahal baru semalam mereka tidur bersebelahan di masing-masing sisi tempat tidur yang sama, tapi Leon lagi-lagi bersikap seperti keberadaan Zoya benar-benar tidak ada. Padahal saat makan malam di rumah temannya semalam, Leon masih mau bicara pada Zoya. Sikap Leon membuat Zoya jadi bertanya-tanya kesalahan apa yang telah ia buat hingga laki-laki itu mendiamkannya. “Enak ya bisa santai-santai, ngemil cantik, dan nonton TV.” Tatapan Zoya yang semula terpaku di televisi siang itu seketika teralihkan. Di sisi kanan sofa ruang keluarga, tampak Rizka sudah berdiri sambil membawa kemoceng dan mengenakan celemek di seragam asisten rumah tangganya. “Mana habis dapat pakaian baru yang mahal selemari lagi,” sindir perempuan itu lagi. Zoya mengerutkan dahi hendak menjawab, tapi Rizka langsung mengatakan padanya, “Minggir!” Perempuan itu langsung membersihkan sofa yang ditempati Zoya dengan kemoceng, benar-benar mengganggu hingga Zoya berdiri dari duduknya. Sejujurnya, Zoya mulai jengkel. Kenapa pula perempuan ini membersihkan sofa dengan menggunakan kemoceng? Ke mana vacuum cleaner di rumah ini? Tapi karena malas berdebat, Zoya pun akhirnya memilih menyingkir saja dari sana untuk kembali ke kamar. Tampaknya cuma di sana Rizka tidak akan kembali merecokinya. Kemarin sudah terbukti demikian karena Zoya bisa tidur siang hingga beberapa jam tanpa gangguan. Akan tetapi, ketika Zoya melintasi tengah rumah, ia mendengar pintu lift berdenting yang menandakan bahwa seseorang baru saja tiba di kediaman ini. Zoya pun batal melangkahkan kakinya ke kamar. Ia segera berbalik untuk melihat siapa yang datang. Ternyata, begitu Zoya berbalik, ia melihat Lilia dan Isabela muncul di sana. “Ah, Bu-eh-Mama, Nenek,” ujar Zoya yang langsung menghampiri mereka untuk menyambutnya. Saat ia dan Leon sedang berbulan madu kemarin, Lilia yang meneleponnya untuk mengecek apakah Leon tidak membawa perempuan lain ke tempat bulan madu mereka meminta Zoya untuk mengubah panggilan untuknya. Ia tidak ingin Zoya memanggilnya dengan sebutan “Bu” lagi, melainkan “Mama” agar sama seperti Leon. “Halo, Zoya,” sapa Isabela sambil tersenyum. “Nenek apa kabar?” tanya Zoya sambil menyalami wanita itu. “Nenek baik,” jawab Isabela. “Kamu gimana kabarnya? Udah ada mual-mual belum?” tanya wanita tua itu sambil tersenyum penuh harap. Mata Lilia sempat melotot saat mendengar ibu mertuanya menanyakan hal tersebut, tapi kemudian ekspresinya kembali normal. “Masih belum nih, Nek. Tapi semoga segera ya,” ujar Zoya. Hatinya seperti dicubit saat mengatakan itu. “Kamu sibuk nggak hari ini?” tanya Lilia. “Nggak, Ma,” jawab Zoya sambil menggeleng. Ia kemudian beralih ke ibu mertuanya dan menyalami wanita itu. “Kalau begitu ikut kami yuk, kita ke kantor Leon sebentar. Terus setelahnya kita shopping,” ujar Isabela. “Eh, tapi…” “Sudah, ikut saja,” kata Isabela. “Ganti gih pakaian kamu,” ujar Lilia. “Tapi, Ma…” “Oh, ada Nyonya ya.” Rizka tiba-tiba datang menghampiri Lilia dan Isabela. “Mau minum apa?” “Nggak perlu, kami nggak lama kok,” jawab Isabela. “Ayo, Zoya. Buruan ganti baju, kami tunggu di sini ya,” kata Lilia. Sadar karena dirinya tak bisa menolak, Zoya pun akhirnya berbalik dan melangkah menuju kamar untuk mengganti baju. *** “Leon ada di ruangannya kan?” tanya Lilia pada laki-laki yang duduk di meja luar ruangan yang merupakan asisten Leon. “Eh… Y-Ya, Bu,” jawab laki-laki itu sambil berdiri dengan canggung. “Kamu kenapa gugup sekali?” tanya Lilia. “Dia takut sama kamu kali,” ujar Isabela sambil terkekeh. “Sudah, ayo kita masuk aja biar dia kaget.” Zoya mengekor di belakang para wanita itu, mengikuti mereka melangkah masuk ke ruang kerja Leon yang untuk kali pertama ia datangi ini. “Lho kok nggak ada?” ujar Lilia. Ketika mereka tiba di ruangan itu, meja kerja Leon kosong. Sofa untuk tamu yang ada di sana pun juga tidak ada orang yang menempati. “Coba kamu telepon aja dia.” Isabela memberi saran sembari melangkah menuju sofa untuk duduk. Lilia pun mengeluarkan ponselnya, masih berdiri di dekat meja kerja Leon. Bunyi ponsel seketika terdengar di ruangan tersebut. “Lho, ini ponselnya,” ujar Lilia sambil melirik meja Leon. “Anak ini pergi ke mana sih?” “Ma, Nenek, apa di sini ada toilet? Saya mau buang air kecil,” ujar Zoya tampak malu saat mengatakan hal tersebut. “Itu, kamar mandinya di sana,” jawab Isabela sambil menunjuk pintu di sudut kiri ruangan, sementara Lilia tampak berpikir di samping meja kerja putranya. Zoya pun melangkah menuju tempat yang ditunjuk Isabela, dan membuka pintu yang dimaksud. Akan tetapi, ketika ia membuka pintu tersebut, bukan kamar mandi dan toilet yang ia temukan, melainkan suaminya yang tengah bersama perempuan lain di dalam sana. Leon dan perempuan itu menoleh dengan ekspresi terkejut, sementara Zoya yang sama terkejutnya seketika berteriak di depan pintu tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN