"Jangan melewati batas!" seru Rania dengan tegas, sambil menaruh guling di tengah tempat tidur.
Sebenarnya dia bisa saja tidur di sofa, tapi setelah memasak tadi, tubuhnya jadi lumayan penat dan juga agak terasa ngilu. Akan tidak akan enak jika di sofa walaupun empuk karena di sana sempit. Sementara kalau meminta suaminya yang tidur di sana Arga pasti menolak karena pria itu pasti tidak mau.
"Jangan melewati batas Mas!" peringat Rania ketika melihat Arga mau melewati batas.
Namun karena diperingati begitu. Arga bukannya menurut dia malah kesal dan menatap Rania tajam. "Aku tidak mau!"
Brukk!!
Arga dengan dingin tiba-tiba saja melemparkan bantal gulingnya secara sembarang.
"Kalau kamu keberatan dengan hal itu, silahkan saja, tapi aku tidak akan melakukannya. Tidak batasan diantara kita Rania dan sadarlah akan posisimu sekarang!" geram Arga yang akhirnya tak tahan lagi.
Dia geram dengan Rania yang terlalu anti padanya, menurutnya walaupun mereka tidak saling mencintai, tapi itu terlalu berlebihan.
"Mas ...." Rania langsung menundukkan kepala. Ketakutan dengan reaksi yang Arga berikan.
"Tidak Rania. Kalau kamu tidak mau seranjang denganku tak masalah, tapi jangan perlakuan aku seperti noda yang harus dijauhi!" ungkap Arga terlihat kecewa.
Rania tak bermaksud seperti itu dan menyesal, tapi dia tak berani meminta maaf. Sehingga malam mereka pun berlalu dengan mencekam.
Namun beruntunglah Rania yang tak sembuh sepenuhnya itu masih mengonsumsi obat dan vitaminnya, sehingga dia tak butuh waktu untuk bisa tertidur dengan pulasnya. Berbeda dengan Arga yang justru kelihatan sulit tidur. Sepertinya dia mulai menyesal melemparkan bantal guling yang menjadi pembatas di antara mereka.
"Ck, harusnya aku tambahi saja gulingnya tadi dan bukannya menyingkirkannya karena ego. Sial. Sekarang aku dalam masalah besar!" geram Arga sambil memutar tubuhnya membelakangi Rania.
Sayangnya semuanya sudah terlambat, dia keburu melihat sesuatu yang membuatnya gerah dan tentu saja sulit untuk dilupakan. Karena tak ada batas, Rania yang sudah pulas dan tak sengaja menyingkap selimut dan gaun tidurnya menciptakan pemandangan berbahaya bagi Arga yang merupakan seorang pria.
"Rania juga. Kenapa dia kurang ajar sekali sih. Selalu menolak, tapi sekarang malah memancing!" geram Arga mendumel kesal dan juga kepala yang berdenyut nyeri.
*****
"Kok ada hitam-hitam disekitar mata Mas?" tanya Rania dengan polosnya.
Saat ini perempuan itu baru saja menyiapkan sarapan sederhana dan juga teh untuk Arga. Suaminya itu baru keluar kamar dan menghampirinya di meja makan. Entah kenapa setelah sekian hari menikah, baru hari ini rasanya Rania merasa menjadi seperti istri, tapi mungkin itu karena mereka baru benar-benar berdua.
"Aku kurang tidur," jawab Arga sepentingnya saja dan Rania mengangguk paham.
"Hari ini kamu pulang pergi sama aku!" tegas Arga kemudian.
Rania sebetulnya kurang setuju, tapi kemudian dia mengangguk saja karena tak mau berdebat pagi-pagi.
"Oh, dan jangan lupa kalau setiap siang kita akan makan siang bersama juga untuk nanti dan seterusnya," jelas Arga dan Rania kembali mengangguk saja, walaupun dia sebetulnya mulai sangat keberatan dengan itu.
'Iyain ajalah. Entar kalau sedang malas atau tidak mau, disaat itulah aku buat alasan!' batin Rania tak sepenuhnya menurut.
"Hari minggu mendatang, kamu ikut aku. Aku ada reunian," beritahu Arga, tapi kali ini Rania langsung berhenti makan dan langsung minum.
"Kenapa? Apa kamu keberatan?" tanya Arga dengan tatapan penuh intimidasi, seperti tak mau mendengar kata tidak dari bibir Rania istrinya.
"Aku akan ikut, Mas," jawab ragu-ragu, tapi kemudian dia malah berpikir keras.
'Ikut reunian Pak Arga? Kira-kira gimana itu ya ... jarak usia kami sembilan tahun, berarti nanti di sana aku ketemu sama om dan tante-tante dong? Hm, ngebosenin nggak ya, secara nanti pasti nggak ada yang aku kenal?' bingung Rania kepikiran.
'Ah, tapi udalah. Kalau nggak kenal, nanti aku diam aja apa susahnya. Terus mepet Pak Arga terus biar aku nggak hilang. Ah, gitu aja terus sepertinya aman deh!' pikir Rania sambil kemudian tak sadar menganggukkan kepalanya dan tersenyum karena mendapatkan penyelesaian untuk masalahnya.
"Kenapa malah tersenyum, Ran? Kamu lupa minum obat?" ujar Arga menegurnya dan membuat Rania yang tersadar dari lamunannya kesal.
"Maksudnya aku gila?!" protes Rania.
"Bukan gitu, kamu kan sudah selesai sarapan, ayo minum obat dan vitamin mu," jelas Arga sambil menatapnya aneh.
'Nyuruh minum obat, tapi seperti ngeledekin. Dasar dosen nyebelin!' batin Rania jengkel.
*****
Di tempat lain tepatnya di rumah Andini, Laura terlihat murung dan sangat menyesali perbuatannya. Dia memang tak di penjara karena hal itu, sebab pencuri yang masuk ke rumah Arga tak ditemukan. Laura aman apalagi setelah mendengar penjelasan darinya yang lumayan masuk akal.
Namun sekarang karena itu, Arga membencinya dan juga mereka tak bisa bertemu lagi. Majikan kesayangannya itu memutuskan untuk pindah dan Laura yang cuma pembantu tak tahu kemana perginya majikannya itu.
'Sial kemana tuan Arga pindahnya sih? Cih, ini semua karena si jala-ng itu. Andai dia tak membuat aku emosi dan memancing amarahku. Mungkin aku tidak akan melakukan kebodohan kemarin dan semuanya jadi kacau balau begini.
Huhh ... sekarang jangankan bertemu, tahu dimana tuan Arga sepertinya aku sulit!' batin Laura meringis kecewa dan terus-terusan menyalahkan Rania atas kesalahannya sendiri.
"Laura!" tegur Andini membuatnya tersadar dan menoleh.
"Iya, Nyonya?" jawab Laura.
"Apa yang kamu pikirkan sampai melamun begitu?" tanya Andini penasaran.
"Tidak ada nyonya. Aku cuma khawatir dengan nyonya Rania, dia masih terlalu muda untuk mengurus tuan Arga sendiri. Bahkan selama beberapa hari membantu membereskan rumah mereka aku lihat nyonya Rania tidak bisa memasak dan juga seringkali disibukkan tugas kuliahnya, sampai untuk sekedar membuat minuman untuk tuan Arga dia pun tak sempat," jelas Laura sengaja menekan kekurangan Rania di dalam kalimatnya.
Siapa saja Andini terpikirkan hal itu dan mengirimnya ke tempat Arga, karena Laura sangat mengharapkannya.
Andini mengangguk setuju, tapi sayang hal itu tak sepenuhnya bisa membuat Laura senang.
"Kamu benar, tapi kalau kamu membantu mereka terus, kapan lagi Rania mandiri. Aku sudah bicara dengan Renita ibunya sahabat dekatku, dan kami putuskan untuk tak ikut campur urusan mereka.
Lagian mereka menikah karena kesalahan mereka sendiri dan ini saat mereka memperbaiki diri sendiri juga membuktikan kalau cinta mereka tak seburuk yang sebelumnya. Walaupun itu terjadi di dalam perselingkuhan," jelas Andini yang jelas itu membuat Laura kecewa, meski dia tak memperlihatkannya.
"Nyonya benar, tapi apa hal itu tidak terlalu dini Nyonya. Bukannya mau ikut campur, tapi saya hanya ingin memberikan saran saja. Nyonya Rania dan tuan Arga memang sudah seharusnya mandiri, tapi mereka sama-sama sibuk, apalagi sepertinya Nyonya Andini sebentar lagi skripsi apakah itu tidak terlalu membebaninya di usianya yang terlalu muda," jelas Laura masih tak menyerah.
Andini mengangguk paham. "Kamu benar juga, nanti akan aku pikirkan lagi dan aku bicarakan dengan Renita," jelas Andini. "Yasudah lanjut saja kerjanya dan jangan melamun lagi. Saya tahu kamu ini orangnya selain telaten memang sangat perhatian, tapi biarlah Arga dan Rania menjadi urusanku saja," lanjut Andini dengan bijak.
*****