Pulang bersama adalah hal yang Arga katakan padanya di ruangan, setelah mereka makan bersama. Namun, mereka tak bisa langsung pergi, sebab Arga rupanya masih punya jadwal mengajar beberapa jam lagi. Alhasil, Rania pun terpaksa harus menunggu.
Dia langsung keluar ruangan Arga begitu empunya pergi. Sungkan menunggu di dalam, Rania putuskan menunggu di luar.
"Lama bangat kamu di dalam, ngapain aja sama Pak Arga?"
Tiba-tiba Selvi muncul dan menatapnya sinis. Temannya satu ini memang terlihat tidak suka padanya walaupun pas dia ulang tahun beberapa waktu lalu, tapi tetap saja mengundang Rania. Kebenciannya tidak hilang dan undangan cuma formalitas agar dirinya terlihat baik.
"Dari kapan kamu di sana?" tanya Rania tak mau kalah.
"Cih, ditanya malah balik nanya?" gerutu Selvi terlihat sebal.
"Pertanyaan kamu nggak berbobot. Aku di dalam mau ngapain aja sama Pak Arga, ya ur usan aku dong sama Pak Arga. Kenapa kamu harus tahu juga," jelas Rania agak sedikit sebal.
"Halah!! Palingan cuma dikasih hukuman banyak karena keseringan libur, atau mungkin wajib ngulang di kedua mata kuliahnya. Hahaha, gitu aja songong!" ledek Selvi meremehkan.
Rania cuma bisa geleng-geleng kepala sambil melihat Selvi, tapi sudahlah biarkan saja Selvi bahagia dengan kebahagiaannya sendiri.
"Terserah dan sesenangmu aja," jawab Rania tak mau masalahnya panjang.
Namun, tentu saja walaupun sudah dikatakan begitu Selvi masih saja terus-menerus meledeknya. Itu menjengkelkan, sebab Selvi terus mengikutinya sampai dirinya duduk di kursi tunggu yang ada di depan ruangan Arga.
"Kasihan-kasihan. Makanya Ran, jangan doyan libur. Ingat, kampus ini bukan milik nenek moyangmu!" ledek Selvi yang jujur saja memancing amarah Rania.
'Astaga, yaTuhan. Bisakah perempuan ini menyingkir dari sisiku. Entar kalau aku jambak karena nggak tahan, jadi masalah lagi!' ujar Rania membatin untuk menguatkan diri.
"Aduh kenapa diam aja, Ran. Kerasa ya, omongan aku benar adanya!" seru Selvi sudah seperti setan yang harus dibasmi. Lama-lama kalau sudah begini rasanya Rania tak tahan lagi.
"Ngomong sekali lagi aku--"
"Aku apa Ran? Mau tampar, nih tampar aja pipi aku. Cih, kamu pikir aku takut. Lagian kalau sudah begitu aku untung juga, karena aku bisa menuntut kekerasan fisik yang kamu lakukan pada pihak berwajib dan lagian kasus kekerasan itu biasanya dapat uang," jelas Selvi dengan entengnya.
Rania berdiri dan mengepalkan tangan. "Sini biar aku putuskan urat leher kamu. Sekalian biar kamu dapat banyak, bukan cuma uang kompensasi, tapi juga uang santunan!!" geram Rania sebelum kemudian pergi begitu saja untuk menghindar.
"Cih, sudah gila kamu. Aku belum mau mati Rania!!" balas Selvi sambil setengah berteriak. "Sial gadis aneh itu malah kabur lagi. Kan hiburan aku jadi nggak ada sekarang!" gerutu Selvi terlihat kecewa, tapi kemudian beruntunglah dia tak menyusul Rania.
*****
Brakk!!
"Kenapa Ba-Mas lama bangat sih, sengaja gitu buat aku nunggu, atau jangan-jangan kita pulang bersama itu cuma alibi Mas untuk mengerjai aku?!" gerutu Rania langsung menyerang Arga dengan kalimat bertubi, begitu mereka masuk ke dalam mobil.
Arga bahkan belum memasang sabuk pengamannya dengan baik, tapi sekarang dia sudah menerima keluhan Rania yang mengerocos seperti rel kereta api dan cukup panjang.
"Kalau kamu memang benci sama aku, Mas. Yah, benci aja, tapi nggak gini juga caranya. Pura-pura baik untuk memberiku perhitungan. Ingat loh Mas, kebaikan Mas waktu aku sakit itu bukan balas budi, karena aku sudah membalasnya lebih dahulu saat Mas duluan sakit!!" lanjut Rania keterusan melebar ke mana-mana.
Padahal sebelumnya dia kesal pada Selvi yang sudah mengganggunya, tapi justru Arga yang mendapat dampaknya. Anehnya dia tak merasa takut saat melakukannya dan Rania juga agak heran dengan fakta tersebut.
"Kamu PMS?" tanya Arga singkat, sekaligus langsung merasa bodoh melakukannya.
'Sial. Kenapa jadi PMS, Rania kan hamil jadi mana mungkin PMS. Mungkin ini adalah bawaan bayinya. Biasanya kan begitu kata orang tua!' batin Arga segera meralat ucapannya
Sementara itu Rania langsung terdiam, dan terlihat berpikir keras. Dia ingat dirinya belum pernah kedatangan tamu bulanannya sejak kejadian yang merebut masa lajangnya.
"Sebenarnya apa yang sudah terjadi antara kita malam itu Pak?" tanya Rania tiba-tiba serius dan bahkan dia tak memperdulikan panggilannya pada Arga.
"Seingatku kak Salsa memang tak ada di apartemennya dan karena hal itu aku ke sana untuk menghindari omelan ibu kalau sampai tahu aku mabuk, tapi dari hal itu Bapak sebagai pacar harusnya tahu dong kalau pacar Bapak sedang tidak di apartemennya, lalu kenapa Bapak ke sana?!" tanya Rania setelah sekian lama akhirnya berani mengeluarkan uneg-unegnya.
Arga langsung tertohok dan langsung terdiam karena tersadar kalau sebetulnya serta satu-satunya yang salah itu adalah dirinya. Pengkhianatan menciptakan kebencian, lalu kebencian menciptakan pembalasan dendam, dan hal terakhir itulah yang Arga lakukan malam itu.
"Aku juga mabuk!" ujar Arga pada akhirnya. Hanya itulah yang dia lakukan untuk menutupi kebusukannya dan juga menyelamatkan dirinya dari tuntutan Rania.
"Mabuk juga?" tanya Rania kali ini dengan raut wajah yang sulit diartikan. Dia sudah tak kedatangan tamu bulanannya dan setelah bertahun-tahun lamanya dia baru setenang itu.
Dia memang gadis yang polos, tapi tak begitu polos sampai tak bisa menduga apa yang sudah terjadi malam itu. Rania ingat karena tegang dan terpojok atas segala tuntutan dan perkataan orang tua mereka, dia jadi tak terlalu memperhatikan apapun lagi saat itu.
Namun dia tak bisa lupa, kalau dirinya merasakan keanehan pada tubuhnya sendiri. Bahkan alasan itulah yang membuatnya tak bisa kabur dari pernikahan. Dia takut sudah tak gadis lagi dan Rania pikir mana mungkin ada laki-laki yang mau dengannya jika sudah begitu.
"Jangan terlalu dipikirkan. Lagipula sejauh apapun kita malam itu kamu sudah menjadi istriku," ujar Arga tiba-tiba langsung menarik Rania dari lamunannya. "Memangnya hal buruk apa yang bisa terjadi setelah kita menikah, tidak gadis, bukankah itu wajar karena kamu sudah menikah," lanjut Arga berhasil membuat Rania agak lega. Walaupun sepertinya dia masih terpikirkan hal lain.
"Jangan-jangan kamu bukannya PMS saat ini, tapi telat datang bulan. Eh, tapi setahuku perempuan juga akan lebih mirip singa jika sudah seperti itu. Sudah berapa hari telat Rania, sampai-sampai kamu sudah segalak ini?" tanya Arga mencoba mencairkan suasana dan juga membuat Rania berhenti memikirkan kehamilan yang mungkin perempuan itu belum siap untuk menerimanya.
"Sial. Mas kok nggak ada sungkannya membahas hal seperti itu dengan perempuan?!" gerutu Rania akhirnya bisa lepas dari pikiran buruknya. Tidak sepenuhnya, tapi bisalah setidaknya membuatnya merasa lebih baik.
"Kenapa memangnya, sama istriku sendiri apakah itu salah?" balas Arga tak mau kalah.
"Dasar menyebalkan!" balas Rania.
*****