16. Ngidam Pertama

1113 Kata
"Tuh, kan. Kamu libur lagi, tapi kali ini memang jelas sih. Kamu habis sakit bukan?" tanya Melati menebak. "Ya, tapi bukankah aku sudah mengatakan itu waktu kemarin. Kamu chat aku loh, dan aku beritahu kamu lewat pesan chat itu. Jangan lupa," jawab Kania mengingatkan. "Yah, tapi kamu aneh bangat. Walaupun begitu tetap aja ada yang terasa ganjil dari kamu. Apa ada yang kamu sembunyikan?" tanya Melati penasaran. Rania menundukkan kepala sambil memikirkan masalahnya, dan juga memikirkan apakah dia sudah siap memberitahu Melati sahabatnya tentang hal itu. Tak lama berselang dia segera mengangkat kepalanya dan menatap sahabatnya. "Aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun, tapi kamu benar memang sudah terjadi sesuatu denganku dan itu berhubungan dengan malam saat aku mabuk, dan pulang dari pesta ulang tahunnya Selvi," ujar Rania sambil kemudian geleng-geleng kepala. "Tapi maaf sekali Mel, aku belum siap bercerita sekarang. Aku harap kamu bisa mengerti," lanjut Rania tak enak hati. "Tidak apa Rania. Kamu jujur begini saja sudah lebih dari cukup, karena itu masih menganggap ku sahabatmu," jawab Melati sambil meraih telapak tangan Rania lalu mengusapnya seraya memberi dukungan penuh. "Aku janji akan bercerita jika suatu saat nanti aku sudah siap. Percayalah, karena sungguh aku tidak bermaksud untuk menyembunyikan apapun darimu," jelas Rania lagi dengan sungguh-sungguh. Melati segera mengangguk dan tersenyum untuk memperlihatkan bahwa hal itu tak masalah untuknya. "Aku akan selalu ada jika kamu sudah siap bercerita, jadi jangan pernah sungkan suatu saat nanti!" terang Melati meyakinkan. ***** Siang hari ketika Rania baru saja menyelesaikan jam perkuliahannya yang terakhir, dia diberitahu oleh seorang mahasiswa agar segera menjumpai Arga di ruang dosennya. Rania menyetujuinya dan melakukannya. Disinilah dia sekarang berdua dengan Arga di dalam ruangannya. Pria itu tanpa banyak bicara sedang menyiapkan sesuatu di atas meja yang ada di depan sofa yang ada di ruangannya. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Arga dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. Entah bagaimana mau dikatakan, tapi pria itu memang terdengar mengkhawatirkan, namun entah mengapa wajahnya malah bisa sangat datar dan terdengar biasa saja. "Ayo, duduklah. Kenapa malah terus berdiri di sana. Apa kamu tidak lelah berdiri Rania?" tanya Arga yang kemudian tidak diam saja. Dia langsung menyeret Rania agar duduk di sofa. "Ak-aku seperti yang Bapak lihat baik-baik saja. Bapak yang kenapa, aneh sekali tahu tidak biasanya memanggilku kemari secara pribadi dan juga bahkan menanyakan kabarku," jelas Rania yang awalnya gugup berubah menjadi sangat cerewet. "Baiklah, kalau begitu. Bisa kamu jawab apakah kamu pernah merasa mual sejak pagi tadi?" tanya Arga. "Formal sekali. Aku tahu ini memang di kampus Pak Arga, tapi kita sedang berdua dan sedang di dalam ruangan Bapak. Tidak siapapun di sini dan juga jangan lupa kita suami-istri loh," ujar Rania yang langsung saja protes lagi-lagi dengan nada cerewetnya. Arga menghela nafasnya, mencoba untuk sabar untuk menghadapi istrinya. 'Tahan Arga, namanya juga perempuan kurang umur, jadi wajar saja dia se menjengkelkan ini!' seru Arga membatin pada dirinya sendiri. "Tuh, kan. Kok malah Bapak yang diam sih, mau dijawab nggak pertanyaannya? Ayo bicara yang sederhana dulu ...," ujar Rania merengek. "Baiklah. Rania sayang bisa kamu kamu bilang apakah kamu ada merasa mual sejak pagi sampai saat ini?" tanya Arga pasrah, tapi dia sepertinya tak bisa melepaskan Rania begitu saja. Buktinya pria itu sengaja memanggil sayang, supaya membuat Rania jadi gugup sekarang, dan juga merasa canggung. "Ayo dijawab, bukannya aku sudah melakukan maumu?" tambah Arga. Anehnya melihat Rania gugup demikian dia malah terbersit untuk menggoda istrinya. Rania sontak saja menelan ludahnya susah payah. "Tapi nggak gitu juga dong, Pak ...," cicitnya ragu-ragu. "Eits!" Arga tiba-tiba tersenyum miring memikirkan sesuatu. "Kita sedang berdua Rania dan ingatlah kita sudah menikah. Tidak seharusnya kamu berbicara formal begitu?!" tuntut Arga, balas mengembalikan ucapan Rania. "Siapa yang formal?" tanya Rania tak mengerti. "Kamulah. Kan kamu yang memanggil aku, Pak. Padahal seharusnya Mas, Sayang atau bahkan Honey, mungkin?" jelas Arga membuat Rania gugup sampai pipinya memerah bagaikan tomat busuk. "Aku nggak mual, Pa-Mas ... cuma emang rasanya tubuhku masih kurang enakan dan juga masih mudah merasa penat dan juga lelah. Mungkin karena efek sakit kali," jelas Rania mengalihkan pembicaraan dengan pasrah menjawab pertanyaan Arga dan menuruti maunya suaminya dengan segera mengubah panggilannya. Arga langsung tersenyum mendengar itu dan cukup puas. Karena sepertinya dia mendapatkan dua hal sekaligus, panggilan baru dan juga jawaban yang dia butuhkan. "Baguslah. Sepertinya itu tak masalah, tapi kapanpun kamu merasa mual tolong beritahu aku!" seru Arga terdengar tak mau dibantah. "Kenapa, itu cuma mual aja kok?" tanya Rania akhirnya merasa agak aneh dengan perkataan Arga. 'Karena kamu sedang mengandung anakku. Biasanya perempuan hamil pasti mual dan jika sudah begitu aku bisa membawamu periksa lagi atau setidaknya kamu bisa segera mendapatkan obat pereda mual,' jawab Arga membatin. Dia belum bisa mengatakannya langsung, karena merasa waktunya belum cukup dan juga merasa Rania belum siap untuk merasakannya. "Karena kamu sakit memangnya apalagi. Kamu habis menderita diare berlebihan sampai pingsan tak sadarkan diri. Dokter bilang kemarin aku harus mewaspadai hal itu untuk jaga-jaga tentang kondisimu," jelas Arga mengelak, tapi tak sepenuhnya berbohong. "Oh, tapi kok bisa gitu ya? Padahal pas kemarin Bapa-eh maksudnya Mas yang sakit nggak separah itu kok," ujar Rania sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Itu karena aku laki-laki dan kamu perempuan, Rania," jawab Arga. "Iyalah tuh. Mentang-mentang tenaganya lebih kuat. Huh, tapi sekarang Mas bisa jawab alasan apalagi sampai memanggilku ke sini?" tanya Rania yang lagi-lagi cerewet. "Waktunya sekarang makan," jawab Arga singkat dan padat. Kemudian mereka pun makan tanpa basabasi lagi. Makan dengan diam dan seperti biasa, Arga selalu dengan porsi banyaknya, tapi Rania masih suka heran melihat itu sampai sekarang. 'Nggak nyangka, badan se berotot itu masih bisa terbentuk, walaupun porsi makanan kuli. Mau heran, tapi ini Pak Arga, ups maksudnya Mas Arga!' seru Rania membatin, tidak mengatakannya langsung karena masih sayang diri sendiri. Bisa habis jika Arga mendengarnya. Selesai makan Arga terlihat mengeluarkan sesuatu, dan Rania mengenalinya sebagai obat dan juga vitamin yang selalu dicekoki Arga kepadanya saat sakit. Tak perlu diperintah, saat sudah diberikan Rania langsung sigap meminumnya. Tidak sulit, karena dia tipikal orang yang mudah minum obat. "Makan buahnya juga, supaya rasa pahit obatnya tidak kerasa, " beritahu Arga menyarankan. "Mas pikir aku anak kecil. Makan obat saja tidak bisa?" gerutu Rania langsung protes, tapi kemudian dia tiba-tiba saja berubah karena terpikirkan sesuatu. "Tapi sebetulnya air liurku sedikit terasa kelu dan aneh. Ingin sesuatu yang pedas dan juga segar. Hm, ngomong-ngomong apa makanan seperti itu ada Mas?" lanjutnya kemudian. Arga mendengus kasar. "Bilang saja kamu mau rujak," jawab Arga agak ketus, tapi sesaat kemudian dia terpikirkan sesuatu dan tiba-tiba saja tersenyum aneh. 'Rujak. Rania menginginkan itu, apakah ini artinya dia sedang mengidam?' batin Arga. Sementara itu Rania yang melihatnya tersenyum tiba-tiba, terheran dan kebingungan melihatnya, lantas menggarukkan kepala karenanya. 'Mas Arga kenapa?' batin Rania bertanya-tanya. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN