10. Alasan Rania

1248 Kata
Melati menyusul Rania ke kantin, setelah jam perkuliahan Pak Argan berakhir. Memesan sesuatu dan segera menghampiri Rania di mejanya. "Kamu kenapa sih, Ran?" tanya Melati langsung ke poin inti tanpa basa-basi. Rania menoleh, tersadar akan kehadirannya dan sedikit mendesah kasar. "Jika maksudmu kenapa aku bisa terlambat, maka jawabannya sudah pasti karena aku telat bangun pagi," jawab Rania seadanya. "Sebenarnya itu juga sih, tapi--" Melati menjeda kalimatnya sebentar kemudian seperti memikirkan sesuatu. "Aku perhatikan sejak kejadian mabuk itu, kamu mulai berubah Ran. Suka bolos kuliah dan itu nggak tanggung-tanggung. Tiga sampai seminggu loh?!" ujar Melati sambil menghitung dengan jarinya. Rania menghela nafasnya kasar. Mengingat bagaimana alasan dirinya bisa libur dia menjadi kesal. 'Kamu saja peka itu Mel. Huhh, tapi kenapa ya orang yang malah membuatku terpaksa libur dan bahkan sudah aku rawat sampai sehat, bisa-bisanya keterlaluan mengusirku dari kelasnya secara tidak hormat. Cih, dosen pencabut nyawa itu mempermalukanku!' gerutu Rania membatin. "Nah!" Suara Melati naik beberapa oktaf, seraya kemudian bergerak mengguncang bahu sahabatnya. "Ini juga. Kita bicara, tapi kamu main melamun aja. Huhh, dasar!" "Maaf. Aku tidak bermaksud," jelas Rania dengan segera. "Hm, baiklah lup--" Tiba-tiba Melati kembali menghentikan kalimatnya melihat sesuatu yang mengejutkannya sekaligus menarik perhatiannya. Meraih telapak tangan Melati dengan segera kemudian mengangkatnya dan menunjukkan sesuatu di sana. "Ini apa?! Degg! Rania membulatkan matanya, menyadari sesuatu yang sedang ditutupinya. 'Gawat. Kok aku bisa lupa ini sih?' batinnya jadi khawatir. "An-anuu ... itu cincinlah. Menurutmu memangnya apa?" tanya balik Rania mencoba dengan nada suara biasa, sambil kemudian menepis tangan Melati dari tangannya. "Iya. Aku tahu itu cincin, tapi bukannya itu cincin nikah ya?" Rania tiba-tiba terkekeh lucu, dan mengangguk-anggukan kepalanya. "Ah, iya ini memang cincin nikah. Cantik tidak?" tanya Rania canggung sambil meremas jari-jemarinya. "Tepatnya cincin nikah aku sama Suga BTS. Aku membelinya di mall minggu lalu. Untuk meresmikan hubungan kami!!" lanjut Rania sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Membuat Melati jadi geleng-geleng kepala. "Dasar halu!" gerutu Melati sambil kemudian terlihat menyesal setelah bertanya. Sebenarnya Rania memang pecinta Idol Korea, tapi tidak begitu fanatik sekedar suka saja dan sewajarnya. Sekarang karena kesukaannya itu dia merasa bersyukur karena sudah menyelamatkannya dari Melati. Rania segera menghela nafas lega, kemudian melirik cincin nikahnya. Bukan nikah dengan Suga BTS, tapi dengan Arga dosen pencabut nyawa baginya dan sebagian besar mahasiswa lainnya. "Huhh, fiuh!!!" ***** Rania tengah berjalan di koridor fakultas. Dia hendak mengikuti kelas berikutnya. Berjalan bersama Melati sambil diam-diaman larut dalam pikiran masing-masing. Melati memikirkan tugas yang menumpuk, sementara Rania dengan beban berat masalah hidupnya yang sekarang berubah seratus delapan puluh derajat. Brak! "Auchhh!!" ringis Rania sambil mengusap dahinya yang terasa sakit setelah tak sengaja menabrak sesuatu. Mengangkat kepala kemudian membulatkan mata sambil meneguk ludahnya kasar. 'Hm, Pak Arga! Kok, aku habis menabrak Pak Arga?!' batin Rania syok dan terkejut. Sementara itu, Melati yang tak sadar Rania ketinggalan. Terus berjalan ke depan tanpa berhenti sama sekali. Dia meninggalkan sahabatnya sendiri dengan masalahnya. "Ikut aku!!" Arga dengan dinginnya langsung menarik pergelangan tangan Rania mengikutinya. Dengan patuh dan tak berdaya, Rania pun melakukannya. Dia mengikuti Arga sampai ke ruangan pria itu berada. "Duduk!" perintah Arga, tapi kemudian dia justru mendorong Rania jatuh ke sofa dengan kasar. "Auchhh ... sakit!" ringis Rania mengeluh. "Keluyuran kemana kamu setelah keluar dari kelas tadi?" tanya Arga membuat Rania teringat sesuatu. 'Kelas? Aaarrgh, aku masih punya kelas. Yaampun. Aku bisa telat!' batin Rania. Gadis itu tiba-tiba berdiri dan mendorong Arga menjauh darinya, kemudian kabur dengan cepat karena takut terlambat. "Ada apa dengannya? Dasar perempuan pembawa bencana!" kesal Arga sambil menatap tajam kepergian Rania. ***** Dengan nafas yang terengah Rania sampai di rumah, dan juga otot tubuh yang terasa letih. Rania segera menyandar ke sofa yang sedang didudukinya, dan menumpukan berat badannya ke sana. Beristirahat sebentar dan berharap lelahnya bisa hilang. "Pijat saja!!" Rania membuka matanya yang sempat memejam dan terkejut menemukan suaminya Arga sudah menjulang tinggi dihadapannya. "Aku merasa letih, jadi apa lagi yang kamu tunggu Rania?!" Brak! Dengan kasar Arga segera mengambil tempat duduk di sebelahnya. Kemudian tanpa bicara lagi, Arga dengan dinginnya menatap Rania tajam untuk melaksanakan kehendaknya. 'Apalagi ini, kenapa dia semakin hari semakin menekanku?!' batin Rania kesal. Namun tak berdaya, gadis itu pun menurut dan melakukan maunya suaminya. Memberikan pijatan dengan tidak sukarela. Dari jarak beberapa meter, rupanya Laura yang belum pulang sore itu karena sengaja untuk menyambut Arga dengan alasan sekalian membuatkan makan malam. Sudah melihat kegiatan Rania-Arga di ruang tengah. 'Sialan! Apa-apaan ini? Bisa-bisanya jala-ng itu bersikap seperti begitu pada Arga. Lagi-lagi dia sok manja dan sok mesra!!' ujar Laura membatin sambil mengepalkan tangannya erat. 'Aku harus melakukan sesuatu untuk memisahkan mereka!' ujar Laura yang kemudian bergerak ke dapur. Bram!! Tak berapa lama setelah bunyi benda jatuh, suara teriakan meringis terdengar dari arah dapur. Akan tetapi Arga sama sekali tak tertanggung dan masih asik dengan kegiatannya. Main HP untuk mengecek email yang berhubungan dengan pekerjaannya dan juga pijatan Rania yang terasa cukup memuaskan untuknya. "Pak ...." "Hm," "Sepertinya ada yang jatuh di dapur atau terjadi sesuatu?!" "Terus kenapa? Aku tak perduli, lanjutkan pijatanmu!" tegas Arga dingin. 'Nggak pedulian bangat sih, Pak Arga? Sial. Mana dia itu suamiku, lagi?!" batin Rania kesal. "Arrrggghhh, sakit!!" teriak Laura dari dapur. Anehnya setelah itu, tanpa diperingatkan lagi Arga tiba-tiba bangkit dan bergerak untuk memeriksanya. "Kamu kenapa?" tanya Arga pada saat menemukan Laura dalam kondisi yang cukup mengenaskan. Terjatuh dengan tangan yang berdarah. Sepertinya mangkuk pecah yang entah bagaimana bisa sudah berhamburan di lantai dan membuatnya melukai tangan Laura. "Saya sakit, Tuan ...," rengek Laura dengan manja. Entah mengapa Rania mual mendengarnya. Bukannya kasihan, Rania bahkan muak dan menyesal sudah memberitahu Arga beberapa saat lalu. "Kalau sakit kamu berdiri dong, terus obati lukamu itu. Cih. Bukannya diam begitu," jawab Rania ketus. "Tap--" "Rania. Ambilkan kotak obat!" perintah Arga dengan tegas memotong ucapan Laura yang akan menjawab Laura. "Ambil sendirilah. Memangnya dia udah lumpuh karena sudah jatuh makanya sampai harus aku?!" jawab Rania dengan sinis entah mengapa. Namun mungkin itu adalah efek dia baru menyadari kalau ternyata Laura ini masih ada walaupun sudah sore. "Lagian kurang kerjaan bangat. Kenapa juga belum pulang dari sini, apa kurang kerjaan gitu?" "Rania!" peringat Arga meliriknya tajam, sambil kemudian berjalan menghampiri Laura dan membantunya berdiri. "Iya-iya. Aku ambil," jawab Rania kemudian pasrah, walaupun tak sepenuhnya pasrah. 'Tapi jangan pikir aku melakukannya karena kasihan. Cih, itu pantas untuk perempuan kejam sepertimu yang sudah tega mengadu domba aku dengan tante Andini!' batin Rania melanjutkan. Beberapa menit kemudian Rania pun kembali dengan kotak obat, tapi kemudian Arga dengan bossy dan memaksanya untuk mengobati Laura. Sementara dirinya malah diam saja, dan juga acuh tak acuh sambil mengawasi. "Arrrggghhh! Ssstt ... Nyonya sakit, tolong pelan-pelan!" protes Laura. Tiba-tiba sebuah ide terbersit dalam kepala Rania, gadis itu segera terpikirkan sesuatu yang membuatnya tertarik untuk mencoba. 'Kalau kapas pembersihnya dibanyakin alkohol bagaimana ya?' batin Rania yang kemudian pun mencobanya. "Arrrggghhh-aaarrggh! Perih, Nya. Perih Nyonya!!" ujar Laura sambil berteriak. Karena kesetanan, Rania pun tanpa sadar meraih botol alkoholnya hendak menyiramkan langsung ke luka Laura. Meski akhirnya tak terjadi, karena Arga dengan sigap menahannya. "Apa yang mau kamu lakukan?" tanya Arga membuat Rania tersadar. "Sudah. Berhenti, biarkan Laura sendiri yang mengobati lukanya. Aku yakin dia bisa sendiri, bukankah begitu Laura?" "Ii-iya, Tuan," jawab Laura pasrah, tapi tak rela. Karena sebetulnya dia ingin Arga yang mengobati lukanya. "Ayo. Kembali pijat bahuku. Itu masih terasa pegal!" Kemudian Arga menyeret Rania dari sana dan meninggalkan Laura dengan segala umpatannya. 'Sial. Kalau begini, ngapain aku melakukan rencana ini. Memecahkan mangkuk kaca kemudian melukai diri sendiri. Pada akhirnya mereka malah kembali saling memijat dan bermesraan!' batin Laura kesal. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN