"Tan, Pak Arga sudah baikan," beritahu Rania ketika Ibu mertuanya masuk ke rumah begitu saja.
"Saya ke sini bukan untuk itu, tapi Laura!" tegas Andini wanita paruh baya langsung melipat tangan di depan d**a. Menatap tajam Laura dengan penuh intimidasinya.
"Laura?" bingung Rania langsung mengerutkan dahi. "Ada apa dengannya? Selama ini pekerjaannya bagus kok, Tan," jelas Rania sama sekali tak ada niatan untuk menjatuhkan Laura, sekalipun gadis itu sudah pernah bersikap lancang dan keterlaluan.
Rania masih bisa memaafkan dan mentolerirnya dan dia pikir mertuanya tak perlu tahu. Siapa tahu saja kejadian dia masuk ke kamar Arga cuma kebiasaan di masa lalu saja, dan Rania tidak mau salah paham atau setidaknya dia harus punya bukti yang akurat dulu.
"Itu dia. Kamu sendiri mengakui bagaimana bagusnya Laura bekerja, lalu kenapa memecatnya?!" sarkas Andini dengan geram.
Rania semakin mengerutkan dahinya dan semakin kebingungan. "Maksudnya, Tan?"
Andini tak menjawab, dia mendengus kasar sambil kemudian memanggil Laura. "Kemarilah Laura, jangan takut. Saya ada di sini, Rania tidak mungkin melukaimu!" panggil Andini dengan sedikit teriakan.
Alangkah terkejutnya Rania, begitu melihat cap lima jari di pipi Laura. Dia bingung, tapi belum puas dengan kebingungan Andini kembali angkat bicara.
"Bisa kamu jelaskan ini, Rania? Bagaimana bisa kamu membuat pipi Laura memerah, hanya karena cemburu buta dan bahkan memecatnya?!" tanya Andini dengan serius.
Rania tersentak, syok dalam seketika, tapi kemudian dia langsung menatap Laura dengan penuh pertanyaan dan juga tuntutan penjelasan. Laura langsung menundukkan kepala dan bersikap seperti perempuan yang tak berdaya.
"Kamu lihat, dia bahkan sampai sangat begitu ketakutan kepadamu, Rania?!" tegur Andini kembali menyuarakan pendapatnya. "Dia menangis-nangis pulang dari sini, dan bahkan enggan bercerita sebelum dibujuk. Padahal kamu lebih muda darinya, walaupun dia pembantu, tapi tak seharusnya kamu memperlakukannya hina dan juga kejam. Rania pembantu itu juga manusia!" nasehat Andini sambil masih menatap menantunya. Perempuan paruh baya itu pun langsung menghela nafas begitu dia selesai bicara.
"Katakan, apa yang kesalahan besar yang sudah dia lakukan sampai membuatmu begitu marah dan bersikap keterlaluan?!" tuntut Andini kemudian.
"Su-sudah, Nya ... saya sudah baik-baik saja kok, Nyonya," cicit Laura dengan nafas yang sesegukan. Entahlah bagaimana caranya melakukan itu. Hampiri sempurna dengan air matanya.
Sampai Rania bukan hanya tertekan dengan ucapan mertuanya, tapi juga kagum dengan apa yang di lakukan Laura sekarang ini.
'Apa perempuan ini sedang mencoba memfitnahku?' batin Rania menebak-nebak.
"Tapi Rania tidak melakukan semua itu, Tan. Rania tidak tahu bagaimana bisa pipi Laura jadi begitu dan Rania juga tidak memecatnya. Seperti yang Tante dengar sebelumnya, Rania bahkan sangat mengapresiasi pekerjaannya," jawab Rania akhirnya membela diri.
"Jadi kamu pikir Laura memfitnah kamu? Dia bohong dan berkata asal untuk menjatuhkan kamu?!" sarkas Andini tajam. "Terus kamu pikir saya akan percaya omongan kamu? Dengar Rania, selama dia bekerja gadis ini nyaris tak pernah melakukan kesalahan, sementara kamu? Ckckck, jalan untuk mendapatkan anak saya saja, kamu rela jadi jala-ng!" kejam Andini dengan kejam, kali ini hal itu membuat hati Rania serasa tertikam.
Urusan perkataan terakhir mertuanya, dia tak bisa menyangkal karena belum jelas kebenarannya. Saat itu Rania mabuk dan sampai sekarang dia tak mengingat apa-apa. Semuanya kosong dan tak jelas, tapi tentu saja karena hal itu Rania tak punya pembelaan untuk dirinya sendiri.
"Mulai sekarang, saya tidak akan diam saja. Jika sampai Laura lecet sedikitpun saat pulang dari sini dan juga kamu berani memecatnya. Maka jangan salahkan saya, bukan dia yang akan menghadapimu, tapi aku mertuamu!!" peringkat Andini dengan kejam dan juga tajam.
Rania merasa air matanya timbul dan seolah mendorong jatuh, sayangnya dia bertahan sampai akhir karena seorang Rania memang sulit menangis di depan umum, jadi jangan heran.
*****
Senin pagi. Dimana kelas pertama di mata kuliah Arga ada pada SKS pertama pagi itu. Rania bangun terlambat, karena terpikirkan sikap ibu mertuanya yang sampai saat ini masih tak menyukainya, dan juga Arga yang antara menganggapnya ada dan tiada.
"Padahal aku udah capek-capek ngurusin dia beberapa hari ini, tapi malah keterlaluan. Buat bangunin aku aja biar nggak telat nggak mau, atau setidaknya nawarin tumpangan ke kampus kek? Huhh, ini malah cuek dan pergi gitu aja!" gerutu Rania kesal.
Mendadak hari senin yang merupakan hari menyebalkan bagi sejuta umat, juga menjadi hari sial bagi Rania. Setelah ditinggal suami pergi kerja, Laura yang baru saja datang mendadak izin ke supermarket dan belanja bulanan.
Dia memang tak mengerti maksud suami yang begitu, tapi maksud Laura pasti sudah jelas. Sedikit banyaknya setelah kejadian tempo waktu dimana Andini ibu mertuanya menegurnya karena masalah Laura. Rania sudah menebak kalau Laura ini tak menyukainya dan dia yakin dia belanja untuk mengerjai Rania.
Apalagi coba maksudnya, seharusnya Laura bisa ke supermarket dengan sopir dari rumah ibu mertuanya, tapi dia tak mau dan menyuruhnya pulang. Kemudian dengan sengaja meminta bantuan sopir di rumah Arga untuk mengantarkannya. Sehingga di sinilah Rania. Di halte bus dan berjuang untuk ke kampusnya.
Kurang dari satu jam kemudian dia memang sampai di Universitas tempatnya menimba ilmu, sayangnya Rania telat hampir setengah jam. Walaupun sebenarnya begitu sampai di langsung berlari ke kencang, tapi sepertinya itu percuma.
"Siapa yang menyuruhmu duduk di sana. Lancang sekali kamu. Berani telat, tapi masih saja berani memasuki kelas saya!" omel Arga dengan kejam.
Rania terkejut dan langsung tertohok, tapi walaupun begitu dia mempunyai pembelaan untuk dirinya sendiri. Sebelumnya dia sudah mengetuk Arga bahkan membiarkannya masuk, tapi dia tak tahu kalau dia tak dibiarkan duduk.
"Saya terlambat dua puluh lima menit, Pak, dan bukankah kompensasi keterlambatan di kelas Bapak tiga puluh menit, Pak?" pada akhirnya hanya kalimat itu yang bisa Rania lontarkan dan berharap Arga memaafkannya.
"Oh, ya?!" jawab Arga terdengar seperti mengejek.
Rania sadar nada suaranya sudah tidak baik, dan dia menjadi waspada sekaligus sangat menyesali tindakannya.
"Maaf Pak, sa-saya tidak bermaksud." Rania mengalah dan berdiri. Dia bersiap keluar kelas, karena tak mau berhadapan masalah yang lebih besar dengan sosok Arga dosen pencabut nyawa baginya itu.
"Duduk saja. Bukannya kamu mau duduk di sana nona. Ikut perkuliahan pada hari ini, tapi jatah absen kamu mulai detik ini habis dsn juga pemotongan poin untuk nilai semester kamu lima puluh persen berlaku mulai hari ini!" tegas Arga dengan bossynya.
"Kalau begitu lebih baik saya mengulang mata kuliah Bapak di semester depan!" geram Rania terbawa kesal setelah mendengar penuturan dosennya itu, yang terasa sudah kelewat batas.
"Oh, ya? Coba saja jika bisa. Kamu sekalian mengulang dua mata kuliah yang saya bawakan sekaligus!" ancam Arga.
Mau tak mau, Rania yang tak berdaya pun menghela nafasnya pasrah, dan kemudian dengan patuh duduk di kursinya kembali.
'Dasar dosen rese. Awas kamu kalau sampai di rumah!!' geram Rania membatin, tapi tentu saja dia mana berani melakukannya.
*****