11. Berhasil menjebak Rania

1011 Kata
"Kamu ada kelas sampai jam berapa hari ini?" tanya Arga pagi ketika saat ini mereka sedang sarapan. "Sore," jawab Rania seadanya. "Hm." Arga berdehem dan mengangguk. 'Cuma hm, doang. Dasar batu es!' gerutu Rania membatin. Sementara itu, seperti biasanya Laura sudah merencanakan sesuatu pagi ini. Dia sudah memasukkan sesuatu ke dalam makanan Rania dan kali ini berhasil karena Rania sudah meminumnya. Perlu diketahui reaksinya tidak akan langsung, tapi bisa sejak satu atau dua jam kemudian. Sehingga Rania tak merasakan apapun dan barulah bereaksi ketika dia sudah di kampus. Rania izin ke toilet pada dosennya dan setelah setengah jam kemudian dia tak kembali. Melati sahabatnya yang khawatir langsung izin juga untuk melihatnya. "Ran, kamu kenapa?" tanya Melati begitu mereka bertemu. "Aku nggak tahu, Mel. Perut aku nyeri dan aku sudah bolak-balik beberapa kali ke dalam sana. Sssttt ... aduh. Mulai lagi nih!" Blam! Rania masuk kembali ke dalam bilik toilet dan Melati yang melihat keadaannya semakin cemas. Tak bisa diam saja, dia segera pergi membeli obat pereda sakit perut dan juga minyak kayu putih. "Nih, kamu minum!" perintah Melati sudah kembali dan Rania keluar dari toilet. "Di sini juga?" tanya Rania bingung. "Ya, iyalah. Minum Ran!" paksa Melati. "Tapi ini kan toilet Ran, gimana sih?" "Udahlah Ran, toilet juga emangnya kenapa, kamu sanggup keluar untuk minum?!" sarkas Melati membuat Rania langsung menurut. Satu kali masuk ke dalam kamar mandi, dan kemudian dia merasa lega, walaupun sangat lemas. Melati segera memapahnya keluar dan membawa Rania ke mobilnya. "Mujarab juga," ujar Rania begitu mereka sudah di dalam mobilnya Melati. "Kamu belinya di mana?" "Entahlah. Ibuku yang membelinya dan dia selalu stok untukku karena aku sering menderita sakit perut," jelas Melati. "Yaiyalah, kamu suka makan pedas sih makanya sakit perut," komentar Rania. "Hm, sekarang kita maunya ke mana, kamu mau cek ke dokter atau aku antarkan pulang?" tanya Melati perhatian. Rania tak langsung menjawab, tapi berpikir terlebih dahulu. 'Kalau ke rumah sakit engga bangat, tapi kalau ke rumah masa iya aku ajak Melati mengantarkan aku ke rumahnya Pak Arga. Lah dia curiga dong?!' "Kita makan bubur dahulu boleh nggak Mel, perutku agak kosong sekarang," jelas Rania yang kemudian diangguk setujui Melati. • • • Sementara itu di kampus, Arga di kampus tidak mendapati Rania di kelasnya, dan mengerutkan dahinya bingung. "Siapa yang tidak absen hari ini?" tanya Arga dingin khas dengan kebiasaannya. "Rania, Pak," jawab Silvi dengan lantang. "Dia sudah bolos sejak jam pertama kuliah tadi pagi. Pergi bersama sahabat karibnya Melati dan aku yakin mereka pasti mau pergi main-main seperti biasanya!" serunya melanjutkan dengan bersungguh-sungguh. Silvia ini memang paling tidak suka dengan Rania. Dia membenci, dan hal inilah yang kemudian dia jadikan kesempatan untuk menjatuhkannya. "Sssttt ... Kamu jangan bilang begitu. Siapa tahu aja mereka ada kepentingan," bisik Gama di sebelahnya. "Kepentingan apa? Dia masih gadis loh, apa yang lebih penting baginya ketimbang masuk di jam kuliah?" balas Silvia sengit. "Bisa kita kembali fokus pada materinya?" tanya Arga di depan saja dengan wajah datarnya. Semua mahasiswa mengangguk paham, tapi Silvia terus saja mencoba mendebat Gama. Padahal Arga di depan sana keliatan tak perduli dengan penjelasannya, dan bahkan dosennya itu mulai kelihatan terganggu serta mulai marah. "Silvia!" panggil Arga dengan cukup kuat. "Keluar dari kelas saya!!" lanjutnya dengan kejam dan juga tentu saja tak memberikan pengampunan. "Berapa kali lagi saya harus jelaskan, kalau saya paling tidak suka kelas yang bising dengan mahasiswa yang suka berulah di dalamnya. Kalian tidak suka aturan saya, silahkan angkat kaki dari kelas saya. Setelah itu jangan harap bisa lulus di dua mata kuliah saya!" Lanjut Arga mulai mengomel. Disaat seperti sekarang dia memang terdengar lebih cerewet, tapi sekaligus kejam. ***** Sementara itu setelah makan bubur, Rania membiarkan Melati mengantarnya pulang ke rumah orang tuanya. Hal itu Rania lakukan supaya sahabatnya itu tak curiga dan banyak bertanya kepadanya. Namun baru juga masuk, Salsa sudah menghadangnya di depan pintu. "Ngapain kemari, masih belum puas menghancurkan hidupku, hah?" tuding Salsa dalam seketika. "Kak bukan aku yang--" "Cih, masih mengelak terus. Sebenarnya apa maumu sih? Mau aku lebih hancur lagi iya?" tanya Salsabila dengan galak. Dari rumah rupanya ada sang ibu yang mendengarkan suara pertengkaran itu. Menghampiri dan langsung melerai keduanya. "Apa-apaan yang kalian lakukan di sana. Masuk Rania dan kamu kenapa menghadang adikmu di sana?" "Aku benci dengan penghianat!" gumam Salsa dengan lantangnya, kemudian karena sudah ada ibunya di sana, gadis itu langsung pergi begitu saja. Rania menundukkan kepala sementara ibunya Renita langsung mendesah kasar. "Kamu yang membuat semua ini. Mau menjadi selingkuhan kakak ipar mu terlepas apapun alasannya, dipaksa atau suka rela. Kamu harus kuat menghadapi risikonya. Salsa sangat membencimu!" tegas Ibunya dengan serius. Perempuan paruh baya itu, sebagai ibu tidak mau memihak siapapun. Mau Rania ataupun Salsa. Untuk kesalahan Rania dia juga tak diam saja, karena seperti yang sudah diketahui jemarinya sudah pernah mendarat di pipi putrinya itu tempo waktu. "Kamu tidak kuliah?" tanya Renita kemudian mengalihkan pembicaraan. "Kuliah, Bu. Tapi perut Rania tiba-tiba jadi sakit dan Melati yang sudah mengantarkan Rania kemari," jelas Rania. "Baiklah. Tunggu di sini, ibu akan buatkan ramuan herbal untuk kamu," jelas Ibunya yang tentu saja tak bisa mengabaikan sakit anaknya. Mau gimana pun buruknya Rania dimatanya, tetap saja sebagai seorang ibu dia tak bisa membenci atau bahkan berhenti untuk perduli. Lain lagi dengan Salsa yang ternyata masih di sana dan mengintip interaksi ibu dan adiknya secara diam-diam. "Sial. Bahkan Ibu masih saja perduli dengan perempuan j*****m itu, setelah apa yang sudah dia lakukan kepadaku. Cih, ibu memang pilih kasih!" geram Salsa tak terima. "Awas kamu Rania. Berani-beraninya melakukan hal serendah ini padaku. Aku bersumpah tidak akan membiarkanmu bahagia. Enak saja, setelah merebut calon suamiku kamu malah enak-enakan. Aku bahkan akan pastikan kalau bukan hanya Arga yang akan menyiksamu, tapi juga keluarganya, dan juga ibu secepatnya akan kubuat dia tak sudi melihat wajah penghianatmu itu!" geram Salsa sambil mengepalkan tangan. Kebencian sepertinya sudah berhasil tumbuh dan memupuk di hatinya. Sampai-sampai gadis itu lupa, bahwa bagaimana pun juga Rania adalah adik kandungnya sendiri. Darah yang sama mengalir di nadi mereka, tapi mungkin hubungan persaudaraan sudah tak berarti lagi ketika dendam di hati sudah memuncak sebesar gunung. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN