Rania keluar dari kamar mandi yang ada di ruang dosen Arga, sambil mengusap telapak tangannya dengan tisu untuk mengeringkan. Dia berjalan melangkah sambil setengah melamun, sampai tak menyadari kalau Arga tepat dihadapannya.
"Arrrggghhh!" teriak Rania spontan karena kaget dan sudah menabrak Arga. Hampir saja tubuh mungil itu terjatuh kalau saja Arga tidak menahan pinggangnya. "Kenapa sih, menghalangi jalan aku segala. Apa tidak ada tempat lain untuk berdiri. Mas itu jadi orang kok menyebalkan sekali!" cerewet Rania sambil mendengus kasar.
Namun bukannya menanggapi ucapan Rania Arga malah menariknya supaya berdiri dengan benar, dan memperhatikan Rania dengan aneh.
"Ch, apa-apaan ini Mas. Aduh, kamu kesempatan dalam kesempitan. Udah ah, jangan pegang-pegang kita buka mu--"
"Kamu istri ku. Dasar cerewet!" potong Arga dengan tajam. "Ada yang sakit atau terasa keram?" tanyanya melanjutkan.
Rania tak langsung menjawab, tapi malah mendorong dan memberi jarak diantara mereka.
"Kesempatan terus!" gerutunya rewel. "Dasar me-sum, kalau ginian nomor satu. Giliran mau kasih nilai dengan benar nomor kesekian!" cibir Rania yang kemudian kabur dari sana secepatnya.
*****
Beberapa hari kemudian, kabar tentang sakitnya Andini membuat Rania dan Arga khawatir. Mereka menjenguk ke rumah sakit untuk melihat kondisinya.
Tiga hari kemudian setelah diperbolehkan pulang, mereka terpaksa menginap di rumah orang tuanya itu untuk memastikan kondisi Andini baik-baik saja.
Laura merasa puas dan tersenyum menang karena akhirnya rencananya berhasil, tapi Arga kondisinya menurun. Tiba-tiba saja pria itu menderita sakit, tapi hanya tiap pagi.
"Sejak menikah dengan perempuan rendahan ini, Mas Arga jadi sakit-sakitan. Dasar istri yang tidak becus. Tahunya cuma merebut bukan merawat!" gumam Viona tak pernah melewatkan kesempatan untuk menghina Rania.
Seperti sekarang saat mereka sedang berpapasan. Viona langsung menghadangnya dan mengatakan hal yang tak mengenakkan.
"Sekalinya jadi sampah mana mungkin bisa jadi berlian. Mau gimana lagi memang begitulah kodratnya kotoran!" lanjut Viona mencibir.
Rania diam saja dan tak mau menanggapi. Dia pikir percuma saja membela diri di hadapan Viona yang sudah terlalu dalam membencinya.
Pada akhirnya setelah lelah bicara, Viona berhenti dan Rania menggunakan kesempatan itu untuk pergi. Dia kabur ke dapur untuk mengemil sesuatu, tapi sayangnya lepas dari nenek sihir dia justru ketemu mak lampir di dapur.
"Mau saya buatkan sesuatu nyonya?? " tanya Laura sopan dan manis sekali.
Namun tentu kemanisan tersebut takkan membuat Rania kagum atau melupakan bagaimana liciknya perempuan itu, serta perasaannya pada Arga suaminya.
"Tidak perlu. Saya bisa sendiri," jelas Rania bersikap biasa. Mencoba mengabaikan dan tidak menganggap ada Laura.
"Tidak usah sungkan begitu nyonya. Saya bisa memasak segalanya dan tidak meracuni anda jika itu yang nyonya takutkan," jelas Laura terang-terangan mencibir.
"Jangan memaksa, jika mau kamu yang kerajinan silahkan saja masak apapun yang kamu mau, tapi maaf saya cuma memakan masakan saya sendiri!" balas Rania dengan sengit.
Meski belum mencintai suaminya, tapi dia bukanlah tipikal orang yang bisa biasa saja pada orang yang menyukai suaminya. Dia bahkan anti dengan Laura dan apapun tentangnya.
'Huuhhh, dasar sombong! Awas saja kalau kamu sudah bercerai dengan tuan Arga. Kamu pasti tidak akan punya apa-apa!' batin Lau melirik tajam sebelum kemudian pergi dari dapur melakukan hal lain.
*****
Mengingat Rania ada di dapur, Laura sengaja naik ke atas di mana ada kamar Arga dan masuk ke sana untuk menggoda majikannya. Dia terpikirkan cara kotor untuk mendapatkannya.
'Apa aku coba saja seperti cara jala-ng itu. Tidur dengan tuan Arga, supaya kami bisa bersama selamanya?' batin Laura tersenyum miring.
Belum sampai ke atas, Laura tiba-tiba turun dan kembali ke dapur, tapi dia tak masuk. Hanya mengintip Rania memastikan majikannya itu masih lama. Setelahnya Laura ke kamarnya untuk mengambil sesuatu di kamarnya. Semprotan berupa obat tidur dan sebuah suntikan yang dia simpan di sana.
Dengan hati-hati dia kembali ke atas. Malam hari dan cukup larut dimana mungkin semua orang sudah dikamarnya masing-masing dan Rania masih di dapur asik dengan camilan yang dibuatnya. Laura pikir itu waktu yang tepat untuk menjalankan rencananya.
Pertama dia membuka sedikit kamar Arga dan menyemprot obat tidur untuk meracuni udara di dalam kamar itu. Sehingga siapapun yang menghirupnya akan tertidur.
Setelah itu dia menutupnya rapat, begitu berlalu sepuluh menit Laura masuk dan menatap tubuh Arga yang tak sadarkan diri sambil memangku laptopnya. Sepertinya sebelumnya dia sedang bekerja dan duduk di atas tempat tidur sambil memangku laptopnya.
Laura segera menyingkirkan laptop itu ke atas meja dan naik ke atas tempat tidur untuk membuka pakaian Arga, baru setelah itu dirinya.
Namun sebelum sampai pada bagian membuka pakaiannya sendiri, Laura tiba-tiba teringat sesuatu. "Tidak. Jangan begini. Tuan Arga harus bangun dan ikut melakukan walaupun tidak sadar!" serunya melanjutkan.
Laura pun menyuntikkan obat yang membuat Arga tiba-tiba terbangun dan kepanasan.
Dia menatap Laura dan berpikir itu Rania, tapi belum juga dia menariknya untuk melakukan sesuatu, bunyi piring jatuh terdengar keras.
Brakk!!
"Berani-beraninya kamu!!" Rania mendekat tanpa perduli dia menginjak pecahan piring yang sudah tanpa sengaja dia jatuhkan karena terkejut. "Bagaimana bisa kamu kemari dan membuka baju suamiku?!"
Laura kaget dan spontan mundur. Agak ngeri melihat kilatan penuh kemarahan di mata Rania.
Namun Rania tentu saja tak melepaskannya dia terus mendekat untuk melakukan sesuatu hal untuk memperingatkan Laura. Melihat alat suntikan di nakas dan juga benda aneh lainnya membuat Rania lebih murka lagi.
"Jangan pikir saya takut sama kamu, dan karena kamu sudah melihatku yang sebenarnya seperti apa, maka aku tidak akan menutupi apapun lagi. Aku suka tuan Arga dan asal kamu tahu aku tak suka kalian yang justru menikah. Di saat aku sudah susah payah mengungkapkan perselingkuhan kakakmu si Salsa yang jala-ng itu, kenapa kamu yang malah mendapatkan tuan Arga dan bukannya aku?!" teriak Laura di depan mata Rania.
Plakk!!
Tamparan kencang langsung mendarat tepat di pipi Laura, tapi bukan hanya itu tarikan keras pada rambutnya langsung terasa seolah-olah akan mencabut rambutnya saja.
Sejujurnya Rania kaget dengan ucapan Laura mengenai kakaknya, tapi sekarang bukan hal itu yang harus dia pikirkan melainkan Arga.
"Jangan pikir karena aku lebih tubuhku lebih kecil darimu, aku tak bisa melakukan apapun!" ujar Rania diselimuti oleh kibaran amarah. Dia segera mengunci pergerakan Laura lalu menyeretnya keluar kamar.
Ternyata di sana sudah ramai. Teriakannya memancing semua anggota keluarga keluar tanpa terkecuali. Bahkan Andini yang sedang sakit.
"Apa yang terjadi, kenapa kamu menjambak Laura seperti itu. Lepaskan dia Rania!" tegur Viona heran, tapi agak ngeri juga dengan kakak iparnya itu.
Terbayang bagaimana beberapa menit lalu di sudah membuatnya marah, Viona jadi merinding membayangkan dia yang akan diperlakukan demikian oleh Rania.
"Nak, lepaskan dia," ujar Nugraha. Sementara istrinya Andini cuma bisa diam karena merasa lemas karena masih sakit. Dia tak mood untuk bicara dan hanya menonton saja.
Beda dengan majikannya, di sana juga ada Bi Asi ibunya Laura, terlihat ngeri dan menatap sedih putrinya. "Nyonya saya mohon jangan seperti ini pada putri saya. Hiks-hiks sebenarnya apa yang sudah terjadi?"
Laura sudah pucat, jambakan yang menyakitkan di kepalanya dan juga di tatap aneh beberapa orang membuatnya malu.
Blam!!
Rania langsung mendorong Laura kasar kemudian memijat kepalanya yang tiba-tiba pusing. Berbalik ke kamarnya di ikuti Nugraha yang ingin melihat dan memastikan suatu.
Namun tak perlu lama, hanya menghitung detik. Pria paruh baya itu segera berbalik dan menutup rapat pintu kamar anak dan menantunya itu. Mengepalkan tangan dan menghampiri Laura yang mencoba bangkit.
Plak!!
Sebuah tamparan langsung mendarat di pipi asisten rumah tangga itu. Tak perlu dijelaskan, melihat piring pecah, barang aneh dan juga Arga yang sulit dijelaskan di dalam kamar, Nugraha bisa menebak dengan benar apa yang sudah terjadi.
"Saya tidak menyangka kalau kamu sebusuk ini!" serunya membuat orang penasaran.
Viona mengerutkan dahinya heran dan berniat ke kamar Arga, tapi tangannya segera di sentak oleh sang ayah.
"Jangan masuk. Bawa kembali Mommy ke kamar dan beristirahat. Biar Daddy yang akan mengurus semua ini!" tegas pria paruh baya itu.
Viona yang dasarnya pembangkang tak langsung menurut. "Tapi Dad--"
"Pergi Viona!!" bentak Nugraha.
Andini yang sakit ngilu mendengar suara suami, dan karena tak tahan walaupun penasaran dengan apa yang sudah terjadi, akhirnya diapun memaksa Viona untuk membawanya ke kamar.
"Urus anakmu Bi Asi, karena dia sudah sangat keterlaluan. Dia mencoba melecehkan putraku!" ujar Nugraha marah.
"Hiks-hiks, aku tidak seperti itu Tuan. Aku dijebak!" seru Laura sambil menangis.
"Bagaimana bisa kamu dijebak, Arga di dalam tidak mengenakan apapun dan piring serta benda lainnya sangat menjelaskan apa yang sudah terjadi! Kamu mau fitnah?!" sarkas Nugraha tak bodoh.
"Tapi Tuan, bukan aku yang melakukan ataupun Tuan Arga. Nyonya Andien yang sudah melakukannya!" seru Laura membela diri.
Nugraha langsung membuang nafasnya dengan kasar. "Saya sudah tahu kamu sudah lama menyukai anak saya dan saya juga sudah tahu masalah kerampokan waktu itu di rumah Arga itu adalah ulahmu. Sampai saat itu saya masih menahan diri karena menghormati ibumu Bi Asi yang sudah lama mengabdikan diri di rumah ini, tapi sekarang tidak lagi!"
Nugraha menatap perempuan tua asisten rumah tangganya yang terlihat syok dan terus menatapnya seolah meminta pengampunan. Nugraha menggelengkan kepala.
"Kemasi barang-barang kalian, karena mulai hari ini saya tidak butuh pembantu kurang ajar seperti kamu Laura. Pergi dari sini secepatnya, atau jika tidak saya akan mengusut kasus ini ke polisi secepatnya!" seru Nugraha tak main-main.
*****