Arga bangun dengan rasa pusing dan mual yang sudah biasa setiap paginya. Membuka mata dan spontan memegang bagian kepalanya yang sakit.
"Sstttt, Argghhh!" ringis Arga langsung mengerang, tapi begitu menoleh dia tiba-tiba saja terlonjak kaget.
"Rania!"
Blam!
Bukannya dijawab istrinya itu malah melemparkan bantal padanya dengan tatapan yang sangat sulit untuk dimengerti Arga. Dia bingung, karena Rania terlihat sangat marah, tapi sekaligus menatapnya aneh.
Menarik selimut, lalu tanpa kata dia bangkit setelah membungkus tubuhnya dan pergi ke kamar mandi tanpa sekata patah pun.
Arga bingung dan kepalanya semakin pusing. Menyadari kalau kamar mereka berantakan. Akan tetapi saat dirinya menyadari tak mengenakan apapun, Arga langsung kaget begitu saja.
Tak bisa berpikir, rasa mual kembali menyerang. Arga meraih pakaiannya dan cepat menggunakannya, kemudian berlari ke kamar mandi.
"Mas Arga apa-apaan sih? Udah tahu aku di dalam masih--"
"Huekk!"
Rania tak melanjutkan ucapannya, dia bahkan dengan terpaksa malah mendekati suaminya. Reflek memijat tengkuknya untuk memudahkan Arga memuntahkan isi perutnya.
Tanpa sadar Rania begitu perhatian dan melupakan emosinya untuk sesaat. Dia bahkan lupa kalau dirinya hanya dibalut selimut. Melihat suaminya sudah agak baikan dan berhenti muntah, dia membantu membasuh mulutnya dan mengusap bibirnya dengan selimut yang dia pakai.
Dengan kesulitan, Rania dengan sabar kembali memapah Arga keluar lalu ke kamar mandi. Dia bahkan membantu Arga supaya berbaring kembali. Barulah tersadar ketika tak sengaja telapak tangannya yang tadinya memapah sang suaminya, tanpa sengaja mengusap da-da suaminya.
"Mas dari tadi tidak pakai baju?!" tanya Rania menaikkan nada suara dengan tak percaya.
"Kamu apakan aku semalam?!" balas Arga malah membahas hal lain.
Sebetulnya dengan melihat kamar dan kondisi mereka, dia tanpa bertanya sudah tahu apa yang sudah terjadi. Akan tetapi dia merasa kecewa karena tak mengingat apapun. Arga bahkan berpikir Rania sedang balas dendam karena membuatnya tak sadar tempo waktu, dimana hari itu mereka terpaksa menikah. Akan tetapi, setelah dipikir lagi, sepertinya bukanlah itu jawabannya.
"Apakan? Mas yang sudah apa-apain aku semalaman. Nggak usah sok lupa, orang me-sum dan pemaksa seperti Mas benar-benar keterlaluan!!" omel Rania marah.
Sebenarnya Rania tak tega melihat bagaimana kondisi suaminya, akan tetapi mau bagaimana lagi. Kejadian malam itu benar-benar seperti kaset rusak. Memutar terus tanpa bisa dihentikan.
Pertama kali dia tak ingat apapun, kedua kalinya dia tak bisa melupakannya. Ah, bahkan rasa sentuhan Arga masih sangat jelas dan membuat Rania memerah, juga merinding disko.
"Aku tidak ingat apa-apa, kamu jangan fitnah. Jelas-jelas kamu sudah melecehkan ku, sampai sakit begini!" balas Arga cukup sengit.
Rania mendengus kasar, sebetulnya itu tak salah apalagi Arga dalam keadaan tak sadar semalam, tapi Rania belum siap dan dia merasa terpaksa.
"Mana ada perempuan yang melecehkan laki-laki, yang ada itu sebaliknya Mas!" geram Rania membalas.
"Oh, ya? Kalau begitu bisa kamu jelaskan bagaimana aku bisa lupa?!" sarkas Arga.
"Laura menjebakmu dan dia mencoba untuk tidur denganmu!" jelas Rania serius.
"Apa?!" kaget Arga. "Tidak mungkin!"
"Jadi kamu lebih percaya perempuan itu daripada istrimu?!" sarkas Rania sengit dengan tanpa sadar mengakui dirinya istrinya Arga.
Untuk sesaat keduanya terdiam. Saling menatap tajam dan larut dalam pikiran masing-masing. Sampai kemudian Rania jengah karena tak mendapatkan jawaban. Perempuan itu dengan tak sabaran, segera berbalik dan dengan cepat melangkahkan kakinya ke kamar mandi.
*****
"Aku sudah menyiapkan air hangat, mandilah supaya segar, Mas," ujar Rania perhatian.
Entah mengapa walupun marah dan juga kesal, dia masih saja tak bisa untuk tidak perhatian. Apalagi saat menyadari kondisi suaminya yang kurang enak badan.
Arga mengangguk setuju, dia setelah baikan segera menurut. Sementara Rania segera turun ke bawah, karena tak mau di cap menantu tak tahu diri akibat bangun siang.
Tak tahu apa yang sudah terjadi setelah semalam dia mengamuk dan menyeret Laura keluar. Akan tetapi saat sudah di lantai satu, keadaan sunyi tanpa adanya Bi Asi atau Laura yang bersih-bersih.
Tak mau ambil pusing dia segera ke dapur. Seperti biasa walaupun ada asisten rumah tangga, untuk makanannya sendiri Rania selalu membuatnya sendiri.
"Tidak biasanya di dapur, apa yang kamu lakukan disini?" sapa Rania pada Viona dengan nada biasa.
Rupanya karena tak terlihat dimanapun keberadaan asisten rumah tangga, Viona turun tangan dan terlihat kewalahan membuat sarapan.
"Urus saja urusanmu, jangan campuri aku. Cih, perempuan rendahan yang bahkan tega memfitnah asisten rumah tangga. Dasar tak punya hati!" geram Viona membalas.
Rania mendengus kasar, mulai menyesal sudah menyapa duluan.
"Terserahmu saja," jawab Rania akhirnya dengan acuh.
Keduanya pun memasak, tapi dalam wajan yang berbeda dan masakan yang tak sama pula. Rania membuat bubur karena teringat suaminya pagi ini lebih pucat dari biasanya, sementara Viona membuatkan nasi goreng.
Entah bagaimana caranya keduanya selesai bersamaan dan menghidangkan masakan masing-masing di meja yang sama. Tak lama anggota keluarga yang lain pun turun. Mommy -Daddy dan Arga tiba di sana.
Viona dengan keji sengaja menyingkirkan hidangan yang Rania buat dan memberikan masakannya sendiri pada semua orang. Membuat Rania agak kesal, tapi tak protes. Setelah saudara iparnya itu menghidangkan nasi goreng pada Arga, Barulah Rania angkat bicara.
"Mas Arga belakang ini kurang sehat dia suka sakit di pagi hari dan tak jarang muntah. Jadi nasi goreng sepertinya sedang tidak cocok untuknya," ujar Rania memberitahu.
"Sok tahu kamu. Makan ya makan aja. Tidak mungkin nasi goreng yang aku buat bisa membuat Mas Arga celaka, dan ah, ya ... apa tao cukup gara-gara fitnahanmu Laura dan Bi Asi dipecat Daddy?" sinis Viona. "Cukup, Rania. Urus saja urusanmu, dan jangan urus kakakku Mas Arga!"
"Dia suamiku!" balas Rania dengan sengit. "Terlepas dari siapa dia bagimu, dia bagiku adalah seseorang yang berbagi segalanya denganku!" tegas Rania penuh peringatan, kemudian tanpa sungkan dihadapan kedua mertuanya, Rania menyingkirkan nasi goreng Viona dan menggantikannya dengan bubur.
Andini memang sejak tadi masih diam saja, karena tidak berdaya untuk mengomel. Dia masih sakit walaupun masih bisa bangkit, tapi setelah kejadian semalam yang membuatnya cukup syok, Andini cuma bisa diam dan tak melerai keduanya.
Sementara Nugraha, dia tak mau pilih kasih antara anak dan menantunya dan Arga, dia sebetulnya bisa makan keduanya karena lambungnya sepertinya lebar untuk menampung banyak makanan. Meski tubuhnya tetap atletis dan berroti sobek.
"Jangan lupa vitamin dan obatmu, Ran," ujar Arga mengingatkan.
Andini dan Viona terlihat heran, tapi tidak dengan Nugraha yang terlihat biasa. Sepertinya dia tahu sesuatu, atau mungkin sudah tahu kabar kehamilan Rania.
"Sebenarnya Rania kenapa, Mom perhatikan sejak kalian disini, dia bahkan lebih sering minum obat ketimbang Mommy yang sakit," tanya Andini penasaran.
"Tidak kenapa-napa, Rania cuma kurang nutrisi saja. Mom lihat bagaimana dia cukup kecil dan mungil. Minum obat dan vitamin hanya agar dia tumbuh lebih besar," jelas Arga berbohong.
Andini tak percaya itu, tapi saat suaminya Nugraha menjawab dan seperti sedang mengodenya dia tak bertanya lagi.
*****