Rania akhirnya makan bersama dengan Arga siang itu, tapi dia hanya makan sedikit, sebab memang benar adanya dia sudah makan siang itu lebih dahulu bersama Melati sebelumnya.
"Makan yang banyak Rania. Itu makanan kamu masih lebih banyak makanan kucing," komentar Arga menatap tajam Rania.
"Aku sudah makan siang Mas Arga. Berapa kali lagi aku bilang sih, dari tadi nggak percayaan mulu. Udah deh lebih baik Mas aja tuh yang menghabiskan makanannya," balas Rania dengan nada jengkelnya.
Arga menghela nafas, dan memperlihatkan dengan jelas wajahnya yang tak percayaan. Memanggil pelayan lalu memesan minuman yang menurutnya cukup bernutrisi untuk mengantikan nutrisi makanan siang yang tak mau Rania makan.
Melihat itu Rania cuma mendesah kasar dan begitu minumannya jadi dan tiba di meja mereka, dia dengan cepat meminum dalam tiga tegukan.
Gluk-glukk!
"Uhuk-uhuk!!"
Perempuan itu bahkan sampai tersedak karena tak sabaran, hanya untuk memuaskan ego suaminya.
"Pelan-pelan Ran ...."
"Pokoknya kan sudah habis. Sudah puaskan sekarang, Mas. Udah, deh. Sekarang mana racun-racun yang biasa kamu kasih ke aku?!" cerewet Rania menagih sesuatu dengan tak jelas dan membuat Arga bingung.
"Racun apa?" tanya Arga menuntut.
"Itu obat-obatan yang masih rutin Mas kasih walaupun aku sudah sehat walafiat," jelas Rania cepat sudah seperti kereta api yang melaju cepat.
"Oh, itu. Kamu sih, ada-ada saja. Bisa-bisanya mengatai obat sebagai racun," ujar Arga menjelaskan. "Hm, tunggulah di sini, sepertinya ketinggalan di mobil," jelas Arga yang langsung berdiri.
Merepotkan diri, padahal dia belum selesai makan. Sementara itu Rania cuma mengangguk saja, seraya menikmati makanan penutup berupa puding coklat.
Namun baru juga Arga menghilang dari pintu restoran, tiba-tiba dari belakangnya seseorang menghampiri Rania dan byur ... dari atas kepalanya mengalir air yang diguyurkan ke sana.
Rania menoleh dan menemukan Viona ada di sana. Menatapnya tajam dan juga aura penuh permusuhan.
"Kenapa Rania, mau marah hahh? Ckckck, itu pantas buat kamu!" seru Viona dengan keras menarik perhatian pengunjung restoran hingga menatap mereka penasaran. "Jala-ng sepertimu yang bahkan tega-teganya menghianati kakakmu sendiri, kak Salsa. Menggoda Mas Arga dengan naik ke ranjangnya, memperlihatkan seberapa rencananya kamu!" seru Viona menghina.
Namun Rania tentu saja takkan diam saja dihina begitu. Dia tak bisa diam, walaupun di depannya adalah perempuan yang merupakan saudara iparnya.
Berdiri balas menatap tajam Viona, lalu secara tak terduga bunyi keras sehabis menghantam sesuatu langsung terdengar.
Plak!
Rania menampar Viona dengan berani. "Jaga mulutmu. Siapa yang menggoda siapa dan ah, ya, jangan pikir karena aku perempuan, aku terus yang pantas disalahkan selama ini!
Tanya sana sama saudara kamu, Mas Arga. Bagaimana dia bisa masuk ke kamar yang biasanya aku pakai kalau menginap di apartemen kak Salsa, dan ah, ya, laki-laki datang ke apartemen perempuan sekalipun tunangan di malam hari, apakah itu pantas?!" sarkas Rania tegas berusaha untuk menyadarkan Viona.
Dia tak bisa terus-terusan menekannya atau menghinanya rendah demikian, apalagi sekarang seharusnya Viona menghormatinya karena dia merupakan kakak iparnya.
"Dari sana saja kita pasti tahu, laki-laki macam apa kakak kamu. Dia yang sudah menghancurkan hidupku, merenggut kehormatanku, tapi kenapa kamu malah menyalahkan aku dan mengatakanku perebut dan juga jalang?! Kenapa Viona, harusnya aku yang menjadi korban dan bahkan sampai sekarang belum mengerti bagaimana bisa kejadian itu bisa terjadi, tapi kenapa terus-terusan disalahkan begini?!" amuk Rania berbicara dengan menaikkan nada suaranya beberapa oktaf.
"Cih, pandai sekali kamu berkilah, berbicara memutar balikkan fakta. Mas Arga itu pria baik, dan dia datang ke sana pasti karena ulahmu. Kamu pasti melakukan sesuatu padanya. Lagian kamu ini memang tak suka kak Salsa kakakmu sendiri, karena apa-apa dia jauh lebih baik darimu!?" balas Viona masih belum mau kalah.
Viona bahkan hendak membalas dengan menampar balik Rania, tapi keburu Arga datang dan dia melihatnya. Viona pun segera mengurungkan niatnya menampar balik Rania dan memikirkan hal lain. 'Aku harus melakukan sesuatu supaya Mas Arga marah nih, sama jala-ng ini!' batin Rania menyeru.
Kemudian secara tak terduga oleh Rania, tiba-tiba saja Viona menjatuhkan dirinya ke lantai dan segera menjerit dengan kalimat yang membuat Rania bingung. Kebingungan tak berlangsung lama karena tiba-tiba saja Arga sudah kembali dan sekarang menghampiri Viona serta membantunya.
"Kalau kamu tidak mau aku bergabung, tidak usah mendorongku Rania. Sssttt ... sakit sekali Mas. Rania kasar sekali! Dia benar-benar berbeda jauh dengan kak Salsa yang lemah lembut," ujar Viona membandingkan.
"Itu bukan urusanmu!" balas Rania masih terbawa emosi.
Dia bahkan tak perduli Arga sudah di sana dan bagaimana pandangan suaminya nantinya terhadapnya. Kerena sekarang dia benar-benar terpancing emosi.
"Tuh, kan, Mas!" rengek Viona yang masih dibantu Arga.
Pria itu segera membawa adiknya duduk, setelah memastikan kalau hanya bekas luka tamparan yang adi di pipinya. Kemudian melihat Rania dan menatapnya dengan tatapan yang menuntut.
"Aku yang melakukannya, kamu mau marah Mas mau balas memukulku karena sudah lancang menampar adik kesayanganmu?!" ujar Rania memberitahu sambil kemudian menatap suaminya dengan tatapan yang penuh dengan ledakan emosi.
"Diamlah dan jangan bersikap kekanakan seperti ini. Menciptakan kerusuhan dan menampar Viona. Memalukan! Apakah kamu tidak punya rasa malu Rania, atau memang beginilah dirimu yang sesungguhnya. Kasar dan tidak tahu diri!!" bentak Arga marah. "Duduk ditempatmu dan minum obatmu!" lanjutnya sambil kemudian melemparkan obat yang diambilnya ke mobil tadi dengan kasar tepat diwajah Rania.
Tentu saja diperlakukan kasar saat masih terbawa emosi demikian, Rania tak terima. Sehingga dengan perasaan yang masih meledak, obat yang baru saja memukul wajahnya, segera dia tangkap sebelum jatuh. Akan tetapi bukannya dia minum, Rania justru menghempaskannya kelantai lalu menginjaknya dihadapan Arga.
"Makan saja obatmu, aku tidak butuh!!" amuk Rania sebelum kemudian dia pergi dari sana dengan berlari.
Arga tak bisa mengejarnya, karena tentu saja selain ada Viona, dia harus membayar tagihan makanannya.
Mengusap wajahnya kasar kemudian menghela nafasnya panjang. "Kalau kamu sudah tahu Rania tak suka padamu kenapa malah mendekatinya? Pergilah dan berhenti berbuat ulah!!" tegas Arga yang akhirnya tersadar akan sesuatu.
Rambut dan pakaian Rania basah, yang artinya bukan perkelahian penindasan sebelah pihak yang sudah terjadi. Bisa Arga simpulkan dengan baik meskipun dia tak menyaksikannya, kalau istri dan adik kandungnya sebenarnya sudah saling menyerang. Sayang sekali, tapi dia justru karena beberapa saat lalu dia gegabah, Arga malah menyalahkan Rania atas segalanya.
Mengusap wajahnya kasar, kini Arga menyesal sekaligus mencemaskan Rania. "Bahkan karena marah, dia merusak obatnya. Astaga bagaimana jika terjadi sesuatu hal yang buruk padanya?!" ujar Arga yang kemudian tak bisa tenang.
*****