24. Marah Tapi Perhatian

1024 Kata
Rania mengusap pipinya yang basah, bukan karena air mata, tapi air yang diguyur Viona kepadanya. Itu memang sudah hampir mengering, tapi rasanya mengganggu saat sekarang. Mungkin karena sebelumnya terlalu marah. "Bahkan dia tidak mengejarku," ujar Rania lesu dan kecewa. "Adiknya lebih penting, memangnya aku siapanya, hufttt ...." Rania mendesah kasar, rasanya cukup sesak, tapi dia memang tipikal orang sulit menangis. Padahal sekarang dia sangat menginginkan itu supaya bisa merasa lega, tapi apa boleh buat sepertinya dia harus terus merasakan sesaknya itu. Sakit tentu saja, karena tertahan dan tak bisa di lampiaskan ataupun dilepaskan. "Mas Arga tega bangat sih, tapi emang gini ya kalo udah nikah, tapi suami lebih belain adiknya ketimbang istrinya ...." Rania kembali menghela nafas, sembari menatap nanar langit meratapi betapa sakitnya jadi dirinya saat ini. Puas melakukan hal itu dan merasa cukup, Rania memutuskan untuk pulang dan merogoh tasnya untuk memeriksa dompetnya. "Hm, kenapa takdir juga sedang meledekku sih. Huhhh, uang cuma cukup naik ojek ini dan tidak bisa naik taksi, tapi aku juga mau pulang kemana?" tanya Rania pada dirinya sendiri dan tiba-tiba kebingungan akan hal tersebut. "Apa aku ke tempat Melati saja?" Rania menganggukkan kepala dan sepertinya dia akan melakukannya. Berjalan kaki menuju pangkalan ojek terdekat dan memutuskan untuk naik ojek dengan terpaksa. Namun belum sampai pada tujuannya, sebuah klakson berbunyi dari arah belakangnya. Rania menoleh dan menemukan orang yang dia kenali di sana. Gama teman sekelasnya yang sedang menaiki motor kesayangan pemikat ceweknya alias motor gede. "Mau kemana Ran dan abis darimana?" tanya Gama yang heran melihat Rania jalan kaki. "Mau pulang dan aku habis dari restoran sana. Abis makan di sana sampai lupa hampir kehabisan stok uang. Jadi terpaksa deh jalan kaki. Ini mau naik ojek rencananya," jawab Rania. "Tapi karena kamu di sini, kamu mau nggak anterin aku ke tempatnya Melati?" "Boleh, ayo sini naik. Kebetulan aku mau ke arah sana juga," jawab Gama tak keberatan sama sekali. Rania pun spontan tersenyum karena merasa beruntung dan dia sangat bersyukur. "Bagus bangat aku ketemu kamu di sini, jadi nggak perlu naik ojek dan buang-buang duit." "Lah, barusan kamu makan di restoran sampai hampir menghabiskan banyak uang, apa namanya kalau bukan buang-buang duit?" balas Gama. "Senang-senang," jawab Rania dengan tanpa dosa membuat Gama berdecak kesal. "Udahlah. Ayok, jadi ikut nggak nih?" Rania menganggukkan kepala dan menghampiri Gama. Namun ketika sudah akan dipanggil tiba-tiba saja dia mendengar namanya dipanggil. "Rania!!" teriak Arga dengan marah dan membuat Rania segera membulatkan matanya terkejut. Belum pulih dari keterkejutannya, tiba-tiba Arga sudah mendekat padanya dan dengan cepat meraih tangannya. "Mau kemana kamu, hahh?!" bentak Arga terlihat mengeram marah. Hal itu sontak membuat Gama kaget dan bingung di saat yang bersamaan. Kenapa tiba-tiba ada Arga dosennya dan ah ya dia memang tahu Arga kakak iparnya Rania, tapi kenapa pria itu terlihat marah. "Ikut aku!!" paksa Arga yang langsung menarik tangan Rania. Terus menolak dan terus melakukan pemberontakan, membuat Arga tak punya pilihan langsung memanggulnya seperti tengah mengangkat karung beras, dan berkata apapun pada Gama dia membawa Rania ke mobilnya yang terparkir tak jauh. "Pak Arga marah dan Rania apa baik-baik aja kalau kubiarkan?" bingung Gama yang tak tahu harus berbuat apa, tapi kemudian setelah tak ada harapan menyelamatkan Rania atau tepatnya mobil Arga telah berlalu, Gama pun memutuskan untuk pergi juga. ***** Rania terus diam selama perjalanan pulang dan bahkan dia terus buang muka tanpa mau menatap ke arah suaminya. Sementara itu Arga tiba-tiba saja berhenti di apotik, dan langsung keluar tanpa menatap Rania sama sekali. Sekembalinya dia langsung menyodorkan obat dan vitamin yang biasa Rania minum beberapa hari terakhir. Dia menyerahkan, sepaket dengan air mineral dalam kemasan botol. "Kamu pikir, aku mau minum obat itu lagi. Ch, aku tidak sekurang kerjaan itu!" ketus Rania marah, tapi kali ini dengan bola mata yang berkaca-kaca. Arga tidak menjawab, dan malah diam dengan dinginnya. Mereka berhenti kembali disebuah supermarket dan lagi-lagi Arga mengunci mobilnya dengan Rania di dalam. Entah apa yang akan dia beli, tapi kurang dari tiga puluh menit kemudian dia kembali dengan sekantung buah penuh dan juga sekantung yang isinya kemasan kotak, tapi Rania tidak melihat jelas isinya apa. Masih terus diam dan mereka saling mendiamkan bahkan ketika sudah di apartemen. Arga bahkan sibuk sendiri dengan belanjaan yang barusan di beli di supermarket. Sibuk dengan buahnya, mengupas dan memotongnya. Barulah kemudian menghampiri Rania setelah selesai. Meletakkan potongan buah di atas meja, lalu dengan tiba-tiba dan intens mendorong Rania dan menyudutkan istrinya. "Arrrggghhh, lepas. Mas mau ngapain?!" geram Rania yang terkejut dan langsung berteriak. Arga tak menjawab, tapi dengan kejamnya dia malah mencengkram pipi Rania kasar kemudian saat bibirnya terbuka, Arga langsung mencekcokinya dengan obat. Rupanya pria itu sedang mengusahakan istrinya agar minum obat. "Telan!!" tegas Arga memaksa. Rania keras kepala, tapi Arga tidak kehilangan akal. Dia melakukan sesuatu yang tak terduga. Arga segera menyingkir setelah selesai melakukannya. "Bajing-an. Kau brengs-ek Mas. Bisa-bisanya kamu melakukan hal seperti itu padaku?!" geram Rania mengamuk dan langsung balas menyerang Arga karena tak terima. Dia memukul dadanya dan untuk sesaat Arga membiarkannya. Barulah setelah merasa cukup Arga menangkap tangannya dan langsung menatap tajam Rania. "Makan buahnya!" seru Arga dingin. Rania kembali geleng kepala dan justru dengan berani membalas menatap suaminya dengan sama tajamnya. "Makan atau kamu mau menelannya dengan bantuanku? Menggunakan cara yang sama seperti saat minum obat ...." Rania yang akhirnya tak punya pilihan pun langsung memakan buahnya. Namun tentu saja dia seperti biasanya tak bisa langsung diam atau sepenuhnya menurut. "Kamu kejam, pemaksa, jahat dan tak punya hati. Kamu kenapa seperti ini Mas, apa kamu masih dendam karena aku sudah menampar adikmu Viona?" tanya Rania setelah selesai mengunyah satu potong buahnya. "Yasudah, tampar saja aku sekarang. Balaskan dendammu itu!" tantangan Rania. Secara tak terduga Arga mengangkat tangannya, dan menyadari hal itu Rania langsung memejamkan mata bersiap menerima tamparannya. Akan tetapi, yang tidak dia duga adalah Arga malah mengusap pipinya dan naik ke kepalanya. "Aku tidak suka kamu dekat dengan laki-laki lain dan sebagai suamimu aku berhak melarangmu!" tegas Arga, tapi dengan nada rendah dan juga suara lembut. Dia mengucapkan hal itu sambil masih mengusap kepala Rania tanpa berhenti atau menjedanya. "Dan sepertinya bajumu masih basah. Gantilah, jangan sampai sakit seperti kemarin-kemarin," lanjut Arga dengan penuh perhatian. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN