Arga tak bisa tenang sekalipun dokter sudah mendiagnosa keadaan Rania sudah stabil. Perasaan Arga masih cemas walaupun dia tahu kehamilan Rania benar adanya dan juga tidak ada yang perlu dikhawatirkan, selain beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Dia takut kalau Rania tidak bisa menerima keadaannya. Mengingat bagaimana istrinya itu menolak tidur sekamar dengannya dan karena semua kamar lainnya tidak bisa dibuka, Rania bersikeras memilih di sofa yang di ruang tengah. Kenyataan tersebut membuat Arga takut. Perempuan itu mungkin saja berbuat sesuatu hal yang buruk dan melukai calon anak mereka.
Menggenggam telapak tangan Rania lalu mengusapnya halus, Arga tak ada hentinya menatap Rania yang masih tak sadarkan diri.
"Apa kamu sebaiknya tidak tahu Rania?" tanya Arga yang tentu saja tidak akan mendapatkan jawaban apapun.
"Ya, kamu sepertinya memang tidak perlu tahu, Ran. Setidaknya sampai kandunganmu baik-baik saja atau lebih kuat!" putus Arga sambil kemudian menggenggam erat telapak tangan Rania.
*****
Tiga hari berlalu dan Rania sudah diperbolehkan pulang. Arga dengan setia disisinya meski tak bicara banyak dan juga bersikap dingin. Hanya mengucapkan sepatah kata yang penting, lain daripada itu pria itu lebih sering diam.
"Seharusnya Bapak tidak usah ikut cuti, pergi saja kerja. Aku bisa sendiri kok di rumah sakit karena ada dokter di sana, dan sekarang sudah di rumah. Aku juga tak masalah ditinggal, aku juga sudah bisa melakukan apapun yang aku ingin lakukan," kata Rania lebih cerewet sejak di rumah sakit.
"Ah, tapi aku sudah sering kali cuti apalagi di dua mata kuliah Bapak. Andaikan Bapak tidak ikut cuti, mungkin aku sudah harus mengulang. Bagus juga sih, Pak, kamu ikut cuti. Setidaknya aku bisa mengikuti perkuliahan meskipun dalam bentuk tugas sebagai penggantinya," lanjut Rania masih bicara.
Namun beberapa detik kemudian dia menyadari bahwa Arga tidak menanggapi sedikitpun ucapannya dan Rania mendengus kasar karenanya.
"Kamu kenapa?"
'Sial. Setelah aku begini kesal baru dia ngomong sesuatu, tapi itupun cuma bertanya kamu kenapa? Ch, dasar dosen rese!' batin Rania kesal.
"Kok tiba-tiba diam?" tanya Arga dengan wajah tanpa dosanya, tapi jelas saja hal itu membuat Rania kesal.
"Aku kehabisan stok suara!" jawab Rania dengan ketusnya.
Arga mengerutkan dahi kemudian melihat Rania dan menemukan wajah tak mengenakkan dari istrinya itu. Anehnya hal itu malah membuat Arga terpikirkan sesuatu.
"Mau aku berikan stok suara milikku?" tawarnya malah mengikuti cara mainnya Rania.
"Memangnya orang seperti Bapak punya sebanyak apa? Selama ini saja ngomongnya diirit doang!" cibir Rania.
"Banyak," jawab Arga singkat dan tepat.
"Ck, sudahlah. Lebih baik Bapak keluar. Aku mau istirahat!" jelas Rania masih dengan nada kesalnya.
Ah, ya. Karena sedang hamil, Arga beralibi untuk memaksa Rania tidur di kamar lain selain kamarnya. Akhirnya dia buka satu kamar lainnya untuk istrinya, sebab Arga tak punya pilihan lain selain itu. Tak mungkin dia masih terus membiarkan Rania tidur di sofa.
"Baiklah. Aku keluar, tapi jika kamu butuh jangan lupa memanggilku," kata Arga memperingatkan. Rania pun mengangguk malas dan Arga benar-benar keluar setelahnya.
*****
'Sial. Setelah sakit bukannya mati, dia malah semakin membuat tuan Arga dekat dengannya. Benar-benar jala-ng penggoda, bisa sekali dia melakukan hal konyol itu!' Laura membatin geram.
"Laura!" panggil Arga tiba-tiba saja membuat Laura kaget, tapi saat yang bersamaan merasa senang.
"Iya Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Laura setelah dengan cepat menghampiri Arga karena tak mau pria kesayangannya itu menunggu.
"Apa kamu tahu apa saja yang sudah Rania konsumsi beberapa hari terakhir ini?" tanya Arga.
Tiba-tiba Laura memucat, mengingat bagaimana pagi itu dia sudah mencampurkan obat pencahar di sarapan Rania dan ketika pulang nyonya itu terlihat lemah serta tak bersemangat. Tak mau tertuduh atau Arga sampai curiga. Laura pun segera memutar otak dan mencari cara untuk mengelak.
"Ada apa Laura, kenapa kamu tiba-tiba jadi gugup begitu?" tanya Arga yang sadar dengan perubahan raut wajah pembantunya itu.
"Anu Tuan. Hm ... Nyonya tiga hari lalu mengeluhkan perutnya. Susah buang air besar dan mungkin sedang sembelit, tapi saya tak tahu apa yang dia makan untuk meredakannya," jawab Laura dengan cerdasnya.
Kalau sudah begitu, mau Rania katakan kalau ada yang mencampurkan obat pencahar di makannya, Laura yakin Arga pasti takkan percaya. Jelas-jelas dari ucapannya itu Arga pasti menduga Rania sengaja meminumnya untuk mengatasi masalah buang air besarnya itu.
"Apa kamu yakin?" tanya Arga lagi untuk memastikan.
"Tentu saja Tuan, sebab pagi itu ketika saya baru datang saya sendiri yang memastikan itu pada nyonya dan dia sendiri yang sudah mengakuinya," jelas Laura menambahkan untuk lebih meyakinkan Arga.
Namun setelah berkata cukup panjang demikian, tetap saja seperti biasanya Arga tiba-tiba pergi tanpa sekata patah pun lagi. Sudah dibilang bukan, kalau pria satu itu cukup irit bicara dan bicara kalau penting saja. Jadi wajarlah dia begitu.
"Tuan Arga sejak menikah dengan si Jala-ng perebut itu. Sudah berubah dan menjadi lebih menyebalkan. Dasar Jala-ng memang perempuan sialan itu. Awas saja kamu, lain kali bukan cuma obat mencret, tapi racun sekalian biar kamu mati!!" ujar Laura kesal.
*****
Sementara itu Andini yang tahu kabar Rania dari pembantunya, rupanya diam-diam mencemaskan menantunya. Setelah menghubungi Arga dan mengetahui Rania pulang dari rumah sakit, dia buru-buru untuk menjenguk dan membawakan ramuan herbal dan lain semacamnya untuk Rania supaya cepat pulih.
"Makanya lain kali, jangan makan sembarangan. Ini akibatnya kamu makan sembarangan jadi sakit kan. Ckck, sudah tahu mau acara resepsi kalian sebentar lagi, kamu masih sakit segala!" omel Andini galak.
"Mom, Rania masih sakit," ujar Arga mencoba menengahi dan mengingatkan.
"Kalau dia sakit memangnya kenapa?!" sarkas Ibunya Arga dengan geram. "Dia harus pulih secepatnya dan tidak boleh sakit lagi setelahnya. Berikan semua itu pada istrimu dan pastikan dia jangan pernah jajan sembarangan lagi!" tegas Andini yang sebetulnya memang mencemaskan Rania, cuma dia masih kecewa saja dengan aksi Rania yang merebut Arga dengan cara mau jadi selingkuhan putranya.
Ah, ya. Andini juga masih sangat marah pada Arga. Dia bukan cuma galak, tapi juga belakangan ini menghindari berbicara dengan putranya itu karena masih kecewa.
"Kalau sudah begini, kamu mau bagaimana akan mengurus putra saya? Sakit begini kamu bisa apa?" ujar Andini dengan keras, sambil kemudian meraih tasnya hendak pulang dari sana.
Beralih pada Arga, dia menatap penuh peringatan pada putranya. "Urus dengan baik Rania, sebagaimana baiknya kamu selama ini menyembunyikan perselingkuhan kalian!" cibirnya sebelum kemudian benar-benar pergi dari sana.
Arga cuma bisa mengangguk, tapi ikut berdiri ikut mengantarkan ibunya sampai ke depan.
"Jaga istri dan tolong jangan membuatku malu lagi dengan kelakuan kurang ajarmu!" ujar Andini kembali ketika sudah di dalam mobil. Perempuan paruh baya itu masih sempat-sempatnya memberikan peringatan terakhirnya sebelum mobilnya berjalan dan membawanya pulang.
"Jaga dia!!" teriak Andini ketika mobil yang membawanya sudah dikemudikan sopirnya dan bergerak pergi.
Arga yang melihat kelakuan ibunya yang demikian cuma bisa geleng-geleng kepala tak habis pikir. Galak, tapi masih saja tak bisa berhenti untuk tidak perduli.
*****