"Ibu, udah. Rania pulang aja ya Bu ..." pamit Rania dengan sopan dan ibunya pun menganggukkan kepala, sambil mengusap puncak kepala anaknya.
"Yasudah pulanglah, Nak. Akan tetapi sebelum itu, ingatlah untuk jangan melakukan kesalahan yang sama, jangan kecewakan lagi Ibumu ini, Nak. Jadilah istri yang baik untuk suamimu, Nak Arga," ujar Ibunya Renita menasehati.
Wanita paruh baya itupun mengantarkan putrinya sampai ke depan, lalu meminta sopirnya mengantar pulang anaknya.
Begitu sampai di rumah, Rania meluncur ke sofa favoritnya tempat biasa dijadikan tempat tidurnya. Rania ke sana tanpa memperdulikan Laura atau bahkan menyapa asistennya rumah tangganya.
"Nyonya biasa aja dong. Kalau lewat nggak usah ninggalin jejak, saya kan udah capek ngepel. Walaupun saya pembantu harusnya Nyonya tahu dirilah, kita sesama manusia jangan perlakuan saya seburuk ini!" ujar Laura sedikit berteriak.
Karena kepalanya pusing Rania tak menjawab dan malah berbaring di sofa. Alasannya cepat pulang adalah hal ini sebenarnya, kepalanya pusing dan perutnya terasa kram. Rania semakin sakit dan bahkan dia merintih saat ini. Tak lama Rania jatuh tertidur.
*****
"Kemana perempuan itu?!" geram Arga yang tak bisa tenang sejak tahu Rania membolos.
Dia tak bekerja dengan baik, karena tanpa sadar kepikiran terus kepada istrinya. Kepalanya bahkan berdenyut nyeri, sebab terus menerus memikirkan Rania. Apa yang Rania lakukan dan juga apa maksud istrinya itu melakukannya.
"Laura dimana, Rania. Apakah dia sudah pulang?" tanya Arga menghampiri pembantu rumah tangganya.
Disapa duluan seperti itu, membuat Laura tak membuang kesempatan. Dia sengaja menahan diri untuk menjawab agar menahan kebersamaan mereka cukup lama di sana.
"An-anu, Tuan ...."
Laura berpikir sejenak, tapi tak benar-benar berpikir karena dia melakukan itu untuk mengulur waktu.
"Anu apa Laura. Ngomong yang jelas jangan cuma anu aja?!" peringat Arga dengan tak sabaran.
"Saya nggak tahu Tuan. Soalnya saya sejak tadi membersihkan terus dan tak sempat mengecek nyonya udah pulang atau tidak Tuan," jelas Laura akhirnya menjawab dan memilih berbohong.
Arga setelah mendengar itu terlihat masam dan kemudian pergi begitu saja. Membuat Laura kecewa, tapi tak bisa berbuat banyak untuk mencegah.
"Sial. Kenapa tuan cuma nanya itu doang sih?" gerutu Laura merasa kesal.
*****
"Ch, disini rupanya kamu!" Arga menemukan Rania di sofa dan langsung menghampirinya. Ketika menyentuh untuk membangunkannya, Arga terkejut menemukan suhu tubuh Rania cukup panas.
"Astaga. Dia sakit!" ujar Arga langsung panik dan langsung mengguncangkan bahu Rania untuk membangunkannya. "Bangun Ra, astaga kok kamu bisa sakit?"
"Ugghh, Pa-Pak Arga ...," ujar Rania dengan suara yang cukup serak dan juga lemah.
Tak buang waktu Arga pun menggendongnya ke kamar, lalu memanggil Laura agar segera memanggilkan dokter. Sayangnya bukannya langsung melakukan perintah tuannya, Laura malah tak menurut dan melupakan perintahnya. Membuat Arga marah dan berteriak murka pada Laura.
"Dimana dokternya Laura, kenapa sampai sekarang tidak sampai?!" geram Arga marah.
Laura masih tenang, dia yang seolah tak takut justru berteriak senang karena mengetahui Rania sakit. 'Biar saja tak ada dokter yang memeriksanya, biar jala-ng itu mati sekalian!' batin Laura membatin.
"Anu ... Tu-Tuan ...."
"Anu, kamu masih bilang anu, sialan?! Istriku sedang sakit kamu masih mau main-main hahh? Dasar tidak becus, pergi dari hadapanku!!" geram Arga akhirnya membuat Laura sakit hati.
'Sial. Gara-gara perempuan jala-ng itu, aku dimarahi oleh Tuan!' gerutu Laura membatin.
"Tapi Tuan--"
"Pergi. Saya bilang pergi, saya muak melihat wajahmu. Memanggil dokter untuk kemari saja tidak bisa. Dasar tidak berguna!!" amuk Arga memotong ucapan Laura, sangking murkanya dia.
Namun kemudian dia juga tak bisa mengabaikan keadaan Rania yang semakin panas. Arga kemudian menghubungi sendiri dokter keluarganya. Setelahnya melakukan pertolongan pertama yang sesuai anjuran dokter serta arahan dokter.
"Astaga. Bagaimana sampai dia sakit sepanas itu, dok?" tanya Arga begitu sigap ketika dokternya sudah datang dan juga baru saja memeriksa Rania.
Wajah dokternya terlihat kusut dan juga sepertinya akan menyampaikan kabar yang buruk. Perasaan Arga semakin tak enak menyadari raut wajah dokternya itu.
"Istri anda sepertinya habis mengonsumsi obat pencahar di dalam makanannya dan sepertinya dia sedang tidak sadar saat melakukannya. Atau mungkin seseorang sengaja mencampurnya di dalam makanannya," jelas dokter dengan serius, tapi dia belum selesai bicara dan Arga masih setia mendengarkannya.
"Saya tidak tahu mengapa reaksinya sampai membuat istri anda separah ini, tapi sebaiknya istri anda di bawa ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut menggunakan perlengkapan yang lebih memadai, karena sepertinya bukan hanya karena obat pencahar itu penyebab sakitnya," lanjut dokter menerangkan.
"Maksudnya dok?" tanya Arga mengerutkan dahinya curiga.
"Saya tidak ingin menduga-duga atau memberikan keterangan pasti tentang penyakitnya, tapi sepertinya istri anda sedang hamil muda atau mungkin kandungannya sedang rentan dan juga tidak kuat," kata dokter langsung saja membuat Arga diam di tempat dalam sekejap.
Pria itu mematung sejenak, mencerna ucapan dokter dan memikirkannya dengan serius. Dia sangat terkejut antara percaya dan juga tidak, tapi mengingat apa yang sudah dia lakukan pada istrinya sebelum pernikahan mungkin saja itu terjadi.
"Tapi kami hanya melakukannya sekali, apakah itu mungkin terbentuk walaupun begitu?" tanya Arga reflek dengan kalimat yang begitu saja keluar dari mulutnya.
Membuat sang dokter menatapnya dengan aneh. "Sekali atau seringkali, yang terpenting anda dan istri anda sudah melakukannya. Kalau Tuhan sudah berkehendak, apa yang tidak mungkin. Itu bahkan bisa dikatakan wajar Pak dan bukan hal yang mustahil, apalagi jika ditelaah dari usia kalian yang masih produktif dan juga sehat serta sepertinya pola hidup yang baik. Kehamilan sepertinya cukup wajar jika terjadi," jawab dokternya dengan yakin.
"Namun ini hanya dugaan sementara. Kepastian dan ketentuannya, silahkan periksa dokter yang lebih spesialis, dokter kandungan misalnya," saran dokter melanjutkan dan Arga pun mengangguk menyetujui.
Baru saja dokternya pamit undur diri, maka pria yang diduga akan menjadi calon ayah itupun dengan cepat bersiap membawa istrinya periksa lebih lanjut sesuai saran dokter. Dia membawa Rania ke rumah sakit secepatnya dengan perasaan yang membuncah luar biasa dan juga bercampur aduk. Tak sekalipun bahkan Arga bisa tenang walaupun sedetik, jantungnya bahkan memompa cukup keras dan bahkan dirinya berkeringat hebat karenanya.
Di umurnya yang baru dua puluh sembilan tahun Arga tak bisa menyangka kalau dirinya akan mempunyai anak dan sebentar lagi akan dipanggil ayah. Namun tak bisa tenang karena kemungkinan terburuk bisa saja terjadi. Rania bisa saja keguguran karena efek obat pencahar yang tidak sadar dia konsumsi.
"Sial. Siapa yang sudah berani melakukan ini. Awas saja jika sampai aku tahu. Aku akan menghabisi orang itu!!" geram Arga sambil mengepalkan tangannya erat.
*****