BAB 4: Memberitahu Cayra

2117 Kata
Cayra berdiri di pandang rumput, mengenakan sebuah gaun berwarna merah muda dengan rambut terurai. Wajah Cayra terangkat, melihat cerahnya langit, menciptakan kehangatan yang menyapu permukaan kulitnya. Rambut Cayra bergerak tidak beraturan di terpa angin, gaun indah yang dia kenakan bergerak menyapu beberapa helai rumput yang ada di sekitarnya. Cayra tersenyum lebar terlihat senang, pandangan gadis itu mengedar melihat ke sekitar dan berakhir pada sebuah pohon black Eyed Susan yang tumbuh indah. Cayra membungkuk untuk mengambil setangkai bunga liar itu dan memetiknya. Cayra terpaku bingung, melihat tangkai bunga black Eyed Susan yang indah di tangannya tiba-tiba layu, dan setiap kelopak bunga yang indah itu berjatuhan. Tangkai bunga di tangan Cayra melepuh, melayang berhamburan menjadi abu, lalu menghilang di udara. Cayra berdiri melihat ke sekitarnya, dia mulai tersadar jika langit yang cerah di atasnya menjadi kelabu dan rerumputan yang telah dipijaknya mulai layu. Cayra menarik napasnya dalam-dalam, merasakan kegelapan mulai datang bersama badai yang dingin mencekam. Samar Cayra melihat kedua orang tuanya yang berdiri jauh dari posisinya, mereka berdua terlihat tertawa bahagia dengan seorang anak perempuan yang tidak Cayra kenal. Cayra ingin memanggil, namun lidahnya membeku dan mulutnya terkunci tidak bisa bergerak. Ketika Cayra hendak berlari menghamiri kedua orang tuanya, tubuh Cayra terpaku di tempat, tersadar jika kini kakinya sulit untuk di gerakan,hal itu memaksa Cayra untuk diam dan melihat sebuah pemandangan yang tidak biasa di hadapannya. Wajah Cayra kembali terangkat, melihat jika kini langit yang gelap dan badai yang datang hanya datang kepadanya saja, berbeda jauh dengan orang tuanya, dan seorang anak perempuan berambut hitam legam begitu mirip dingin Hezberg. Pupil mata Cayra bergetar, merasakan sesuatu yang begitu menyakitkan tanpa sebuah alasan yang dia ketahui. Tidak berapa lama, kegelapan di sekitar Cayra berubah menjadi semakin pekat, membuat Cayra tidak bisa melihat apapun di sekitarnya. Tubuh Cayra terhempas seperti sebuah daun yang jatuh dari tangkainya dan dihempas jauh oleh angin, tidak berapa lama tubuh itu terbanting dan terjatuh keras menimbulkan rasa sakit. Cayra tersentak, terbangun dari tidur dan mimpi buruknya yang menakutkan. Peluh keringat membasahi wajah Cayra bersamaan dengan suara napasnya yang kasar dan terasa sesak. Pandangan Cayra mengedar mencoba mengumpulkan kesadarannya kembali. Cayra melihat samar kegelapan langit di balik gorden kamarnya, dengan lemah Cayra bergerak ke sisi untuk melihat jam yang kini sudah menunjukan pukul lima pagi dan sebentar lagi pagi akan datang. Cayra mengusap wajahnya yang basah oleh keringat dingin, tidak pernah sekalipun dia bermimpi buruk dan menakutkan seperti ini dalam hidupnya. Mimpi itu terasa begitu kuat dan jelas seakan apa yang telah terjadi barusan bukan bunga mimpi semata. Hati Cayra mendadak gelisah, dilanda kekhawatiran, takut terjadi sesuatu yang buruk kepadanya. Cayra berguling ke sisi, bergeser pelan dan melihat keberadaan Javier yang kini terlelap tertidur di sebuah kursi panjang. Cayra menarik napasnya dalam-dalam, gadis itu tersentuh dengan kebaikan Javier dan semua perhatiannya yang telah dia tunjukan kepada Cayra. Keberadaan Javier di sisi Cayra yang saat ini sedang menghadapi banyak masalah sudah membuat Cayra merasa sedikit lebih tenang karena merasa ada yang menjaganya. Perlahan Cayra bangkit dan duduk, dia harus pulang sendiri dan tidak boleh membuat Javier kerepotan lagi karena terus membantunya. Cayra memutuskan untuk turun dari ranjang dan mengambil selimut yang sudah terpakai, dengan hati-hati gadis itu mendekati Javier dan menyelimutinya. Sejenak Cayra terdiam hanya untuk memperhatikan wajahnya di antara remang cahaya. Tubuh Cayra membungkuk, terdorong sebuah keberanian yang tidak dapat dia hentikan, Cayra mengecup kening Javier dan segera bangkit lagi, dengan terburu-buru Cayra pergi keluar kamar sebelum Javier menyadari apa yang sudah dia lakukan. “Apa yang sudah kulakukan?” bisik Cayra bertanya pada kesunyian. “Aku sudah kurang ajar pada Javier, bodoh! Apa sudah kurang ajar!” bisik Cayra merutuki dirinya sendiri karena bertindak gegabah. Dengan lemas Cayra berlari menuruni beberapa anak tangga, sebelum memutuskan pulang, dia menyempatkan diri pergi ke dapur. Cayra akan membuatkan sarapan pagi untuk Javier sebagai tanda terima kasih dan rasa bersalahnya. *** Cayra melihat layar handponenya, memeriksa pesan yang dia kirimkan kepada Ariana hanya dibaca dan tidak mendapatkan jawaban, sejak kemarin Ariana tidak memberi kabar apapun tentang keadaan Hezberg sekarang. Cayra tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada orang tuanya, namun sikap mereka terasa berbeda dari biasanya. Meskipun sibuk, biasanya Ariana akan memberinya kabar. Tapi kali ini berbeda, padahal Cayra sangat ingin tahu perkembangan ayahnya. Cayra membalikan handponenya dan melihat keluar jendela, memperhatikan daun-daun pohon oak berguguran di halaman sekolah. Sebentar lagi memasuki musim dingin, Cayra tidak sabar menunggu salju turun dan dia bisa berlatih lebih bebas di atas danau-danau dan sungai yang membeku. Suara derakan kursi yang ditarik mengalihkan perhatian Cayra, bibir Cayra langsung menyunggingkan senyuman begitu melihat Javier yang datang. “Kau memakan sarapan yang kubuat?” tanya Cayra. Javier mengangguk dan tersenyum, pria itu segera duduk dan membuka buku untuk diberikan kepada Cayra yang membutuhkan banyak catatan untuk di ingat. Ketika Javier terbangun tadi pagi, dia sempat panik karena Cayra tidak ada di kamar, namun begitu menemukan memo yang ditinggal dengan sepiring sarapan pagi yang keasinan, Javier cukup tenang. *** “Tuan Muda, presdir meminta Anda untuk lanjut sekolah mulai hari ini,” kata Han memberitahu. Victor mengayunkan tongkat golf dan memukul bola, pemuda itu tidak menjawab dan terlihat serius dengan dirinya sendiri. “Setelah belajar, Anda harus melakukan kegiatan social dengan membantu membagikan food truck selama dua minggu dimulai dari hari ini,” kata Han lagi untuk mengingatkan. Victor tidak bergeming, dia sibuk dengan bola golfnya. “Guru baru akan datang satu jam lagi, bersiap-siaplah,” kata Han lagi sebelum undur diri dan pergi meninggalkan Victor seorang diri. Victor mengangkat wajahnya, melihat langit hari ini yang cerah, berbanding balik dengan kesuraman yang terlukis di wajahnya. Victor benci sekolah dan dia benci dengan keramaian, sejak empat tahun yang lalu dia melakukan home schooling dan menutup diri, dia hanya mau berinteraksi dengan beberapa orang yang bisa dipercaya. Dulu Victor tidak seperti ini, dia adalah seorang remaja yang normal. Namun semuanya berubah sejak dia takut dengan sentuhan dari orang lain. Bibir Victor sedikit terbuka, pria itu menghela napasnya dengan berat, dengan kasar dia melempar stick golfnya dan pergi melewati luasnya rumput hijau yang terawat. Victor pergi memasuki sebuah gedung hotel milik keluarganya yang sudah dia tempati sejak empat tahun lalu. *** Pagi telah berlalu, siang telah datang, sepulang sekolah Cayra datang ke rumah sakit untuk menjenguk ayahnya yang kini sudah dipindahkan ke ruangan lain. Ketika Cayra datang, pada saat itu Ariana dan Hezberg terlihat sedang mengobrol serius, namun keduanya berhenti berbicara begitu tersadar Cayra yang datang. Canggung, itulah yang Cayra rasakan, dia sampai harus melihat Ariana dan Hezberg bergantian untuk memastikan jika tidak terjadi apa-apa dengan keluarganya saat ini. “Apa aku mengganggu?” tanya Cayra pelan. Hezberg tersenyum dengan tatapan sendu, satu tangannya bergerak memberi isyarat Cayra agar mendekat. “Bagaimana kabar Ayah?” tanya Cayra mendekat. “Ayah sudah merasa lebih baik,” jawab Hezberg terlihat ragu dengan jawabannya sendiri. Memang kondisi fisiknya sudah terasa lebih baik dari hari kemarin, namun kini giliran hati Hezberg yang tengah terluka sampai-sampai dia merasa seperti sedang sekarat disetiap hembusan napasnya. Hati Hezberg terluka parah usai berbicara dengan dokter dan menanyakan lebih lanjut masalah DNA Cayra, bahkan pihak rumah sakit sampai membantu Hezberg untuk bisa menghubungi rumah sakit yang dulu pernah menjadi tempat melahirkannya Ariana, untuk memastikan bahwa kemungkinan ada bayi perempuan lain yang lahir di waktu yang sama dengan Cayra. Butuh waktu beberapa jam untuk menunggu dan secara mengejutkan sebuah kebenaran akhirnya terjawab. Memang ada anak perempuan lain yang pada saat itu dilahirkan. Hati Hezberg hancur, begitu berat untuk dia menerima semua ini, namun apa daya jika semuanya telah terjadi. Ariana dan Hezberg tidak bisa lagi menutup mata mengenai apa yang terjadi, mau tidak mau mereka harus berkata jujur kepada Cayra dan meminta dia untuk bersedia melakukan tes DNA melalui rambut, untuk memastikan sekali lagi mengai statusnya. Ini mungkin akan sangat menyakiti Cayra, namun kebenaran harus tetap di ungkapkan karena Cayra juga berhak tahu. Tidak hanya Hezberg yang ingin tahu siapa anak kandungnya yang sebenarnya, Cayra juga berhak tahu siapa orang tua kandungnya yang sebenarnya. Hezberg mengusap lembut kepala Cayra, pria paruh baya itu menahan desakan tangisannya melihat kelegaan di mata Cayra karena kini ayahnya sudah membaik. “Cayra, kau sudah makan?” tanya Ariana angkat suara. Cayra menjawabnya dengan gelengan samar. “Ayo ikut ibu, kita makan siang bersama di luar.” “Tapi Bu, bagaimana dengan Ayah? Ayah kesepian bila ditinggal sendirian.” “Tidak apa-apa Cayra, Ayah baik-baik saja, lagipula Ayah akan tidur selagi kalian pergi,” hibur Hezberg menanangkan. Cayra menarik napasnya dalam-dalam, sikap kedua orang tuanya semakin membuat Cayra penasaran, tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Dengan berat hati Cayra beranjak, gadis itu membungkuk mengecup kening Hezberg. “Ayah tidurlah, jika butuh sesuatu, cepat panggil dokter.” “Ayah mengerti.” *** Suasana restaurant terlihat sepi ketika Cayra dan ibunya datang, keduanya makan dengan tenang hingga makanan yang mereka pesan habis. Cayra memperhatikan ibunya yang kembali memesan minuman segar sehingga mereka tidak bisa segera pulang kembali ke rumah sakit. Ariana terlihat merenung, menempatkan kedua tangannya di atas meja dan saling bertautan dengan kuat, bibirnya menekan kuat diserang kegelisahan yang membuatnya tidak bisa tenang. “Ibu kenapa? Jika kuperhatikan, sepertinya Ibu sedang memiliki masalah, apa memang ada masalah?” tanya Cayra yang menyadari kegelisahan Ariana. “Ada sesuatu yang ingin ibu katakan kepadamu Cayra,” jawab Ariana terdengar menggantung. Ariana sempat mengusap keningnya mencoba mengumpulkan banyak kekuatan agar bisa membicarakan masalah yang terjadi. Waiters datang membawa minuman yang dipesan dan meletakannya di atas meja, tidak berapa lama dia pergi. “Minumlah,” titah Ariana, dengan patuh Cayra meminumnya dan mencoba untuk tetap diam, menunggu apa yang sebenarnya ingin Ariana katakan kepadanya. “Cayra,” panggil Ariana pelan. “Ibu telah berbicara dengan dokter yang sudah melakukan tes pada darahmu,” Ariana kembali berhenti berbicara karena terlalu berat mengatakannya. Diam-diam Ariana mengepalkan tangannya kuat dan menarik napas dalam-dalam, Ariana kembali berkata, “Cayra, dokter itu memberitahu ibu mengenai hasil tes dari sample darah yang dia ambil darimu, dan dari hasil itu, dokter mengatakan bahwa golongan darahmu dengan ibu dan ayahmu berbeda.” Wajah Cayra berubah pucat pasi, seluruh permukaan kulitnya meremang dan tubuhnya gemetar. “A-a-apa maksud Ibu?” tanya Cayra terbata. Ariana tertunduk, air mata yang sudah dia tahan sejak tadi, kini luruh berjatuhan membasahi wajahnya. Dengan berat hati Ariana kembali berkata, “Kemungkinan besar kau bukan anak kandung ibu dan ayah, dan kemungkinan besar, saat bayi, kau tertukar saat ibu melahirkan di rumah sakit.” Napas Cayra tertahan di d**a, gadis itu menggeleng pelan tidak percaya dengan kata-kata menyakitkan Ariana. “Ibu jangan bercanda.” “Cayra maafkan ibu, ini juga sangat sulit untuk ibu.” “Tidak, ibu bohong,” bisik Cayra menggeleng, menolak untuk tetap tidak percaya kata-kata Ariana. Cayra tidak percaya, mana mungkin orang yang sudah merawatnya sejak kecil dan membesarkannya bukan orang tua kandungnya. Ini tidak mungkin! Lelehan air mata berjatuhan membasahi pipi, rasa perih langsung menggerogoti hati Cayra, gadis itu hanya bisa menggeleng menyangkal semua yang telah Ariana katakan kepadanya. “Cayra.” “Tidak!” “Cayra!” Ariana menaikan nada suaranya meminta Cayra untuk mendengarkan kata-katanya. Cayra tetap menggeleng dan mulai terisak menangis, enggan mendengarkan apapun yang Ariana katakan padanya. “Cayra, lihat ibu! Cayra!” Panggil Ariana menggenggamnya dengan kuat, meminta Cayra untuk sedikit tenang dan melihatnya. Dengan berat Cayra mengangkat wajahnya, melihat Ariana dengan tatapan penuh luka yang tidak bisa dia ungkapkan melalui kata-kata. “Cayra, ayo kita lakukan tes DNA lagi, ini untuk memastikan siapa kau sebenarnya. Ibu berjanji, apapun hasilnya nanti, ibu akan tetap menjadi orang tuamu.” Cayra menggeleng tidak mau, gadis itu menggigit bibirnya dengan kuat tidak mampu berkata-kata. “Cayra, ibu mohon. Ibu berjanji, sampai kapanpun kau anak ibu dan ayah, ibu janji Cayra. Ibu janji,” Ariana terus berusaha meyakinkan. Cayra menarik kedua tangannya dari genggaman Ariana. “Beri aku waktu sendiri,” jawab Cayra dengan terbata, tanpa berkata apapun lagi Cayra langsung beranjak dan pergi berlari keluar meninggalkan Ariana seorang diri. Cayra menangis dalam pelariannya, melewati orang-orang yang berada di sekitarnya, tidak jarang dia menubruk karena tidak melihat kesekitar. Hati Cayra hancur sampai-sampai membuat dia berpikir apa yang telah terjadi kepadanya saat ini adalah sebuah mimpi yang panjang. Cayra tidak percaya, bagaimana bisa dia bukan anak kandung Ariana dan Hezberg? Jika Cayra bukan anak kandung mereka berdua, lantas Cayra anak siapa? Mengapa kebenaran ini harus terungkap sekarang setelah belasan tahun lamanya terjadi? Cayra berlari semakin kencang, pergi membawa luka di dalam hatinya dan penyangkalan-penyangkalannya yang tidak terima, jika dia bukan anak kandung Ariana dan Hezberg. Jauh Cayra melangkah dan tanpa sadar kini gadis itu masuk ke dalam gedung latihan es skating, tempat di mana Cayra merasa sedikit lebih tenang. Cayra terduduk di antara bangku-bangku kosong dan menangis dengan keras, menumpahkan kesakitan yang dirasakan oleh jiwanya. To Be Continued..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN