Tiga

726 Kata
Pagi. Di sebuah kamar apartemen yang ada di posisi teratas salah satu gedung pencakar langit ibu kota, seorang laki-laki yang masih bergumul dalam selimut menggeliatkan tubuh. Tirai-tirai kelambu kamar itu belum disingkap. Tangan laki-laki itu bergerak memegangi kepalanya yang terasa berat. Jika biasanya orang bangun pagi dalam keadaan 'segar' dan lebih baik karena selesai mengistirahatkan sel-sel dan organ-organ yang ada dalam tubuh meski barang sejenak, hal yang berbeda terjadi pada Taraka Mahatama. Bukannya merasa segar, laki-laki pemilik surai gelap itu malah merasakan efek pengar yang luar biasa menghantam kepalanya. Sepertinya semalam ia sudah menenggak berkaleng-kaleng bir dan beberapa botol minuman beralkohol lain yang mengakibatkan sakit pada kepalanya itu. "Kak Raka ... jangan! Jangan, Kak! Jangan .... Hiks hiks hiks." "Hentikan, Kak! Jangan ...." "Ah, ah .... Ah~" "ARGHHH~" Ramona. Saat sebuah kilasan ingatan berputar di kepala Taraka, cepat laki-laki itu menolehkan kepalanya ke sisi sebelah kiri ranjang. Napas lega kemudian ia embuskan saat sosok gadis kesayangannya itu tidak ada di sana dengan kondisi yang ia lihat dalam kilasan fantasi liarnya. Semalam, laki-laki itu bermimpi melakukan hal yang tidak seharusnya pada kekasihnya itu. Syukurlah jika itu hanya bunga tidur. Karena jika tidak, Taraka pasti akan mengutuk dirinya sendiri karena telah merusak seorang gadis yang sangat ia cintai. Ramona Prameswari. Mahasiswa semester lima universitas ternama ibu kota yang menjadi bunga di fakultas jurusannya, Fakultas Seni, juga bunga tercantik di hati pria itu sendiri. Taraka tidak tahu mulanya, tapi jujur, laki-laki itu langsung merasa jatuh cinta pada Ramona sejak di pandangan pertama. Gadis bersurai cokelat itulah yang kembali menghidupkan rasa cinta yang sempat hilang dari hati Taraka dulu. Sungguh, akan sangat panjang dan menyakitkan jika mengingat masa lalu pria rupawan dengan kulit tan itu sebelum bertemu Ramona. Masih mengumpulkan nyawa serta kesadarannya yang tercecer di atas tempat tidur berukuran king size apartemen dengan mata yang setengah terpejam dan tangan yang masih setia memegangi kepala, telinga Taraka menangkap suara yang samar dari arah kamar mandi. Bunyi gemericik air. Pasti itu Ramona yang sedang mandi, pikir laki-laki itu. Tapi kemudian, bukan hanya bunyi gemericik air yang telinga Taraka dengar. Saat laki-laki itu berusaha lebih fokus lagi mendengarkan suara-suara yang ada di sekitarnya, pelan, bunyi lain yang berasal dari kamar mandi itu semakin lama semakin jelas terdengar sebagai suara tangis perempuan. Taraka mengernyitkan dahi, "Apa itu Ramona?" lirihnya bermonolog kemudian memaksakan diri untuk duduk. Kenapa bunganya itu menangis? Apakah terjadi sesuatu? Laki-laki itu mencoba beranjak. Saat sebelah tangan Taraka bergerak menyingkap selimut putih tebal yang menutup tubuhnya, Taraka langsung membelakkan kedua mata. Terkejut, laki-laki itu mendapati tubuhnya sedang dalam keadaan tidak tertutup oleh sehelai benang pun. Bola matanya juga terasa mau menggelinding keluar saat melihat pada ujung 'benda' miliknya, terdapat bercak merah darah yang mengering. Sial! Ada apa ini? Apa semua itu bukan mimpi? Ramona?! Taraka langsung melompat turun. Ia memungut celana dalam miliknya yang berserakan di lantai bersama pakaiannya yang lain, kaleng-kaleng bir dan botol minuman keras lantas memakainya cepat-cepat sebelum melangkahkan kakinya yang panjang ke arah kamar mandi. Di dalam hati, Taraka terus menyumpahi dirinya sendiri berkali-kali. Di depan pintu kayu bercat warna putih itu, suara tangis Ramona semakin terdengar jelas. Sial! Lagi-lagi Taraka mengumpati dirinya. Bagaimana bisa ia menyalahi janji yang dibuatnya sendiri pada Ramona-nya? Bunganya. Kekasihnya. Kesayangannya. Bagaimana bisa ia gagal menahan diri dan kelepasan melukai gadisnya itu? Ya, satu tahun ini mereka memang tinggal berdua dan tidur bersama sebagai pasangan kekasih. Namun, sekali saja, Taraka tidak pernah kehilangan kendali atas dirinya sendiri dan menyentuh gadis yang usianya jauh lebih muda dari dirinya itu. Apakah Taraka tidak mencintai Ramona? Jawabannya tentu saja laki-laki itu mencintainya. Alasan kenapa selama ini Taraka tidak menyentuh kekasihnya itu adalah karena rasa cintanya itu sendiri. Taraka mencintai Ramona. Dan karena rasa cintanya itu, ia tidak mau melakukan 'sesuatu' yang bisa merugikan perempuannya dan merusak masa depannya. Ramona masih muda. Gadis itu berhak bahagia dan meraih cita-citanya. Dengan keraguan yang menggelayuti hatinya, Taraka akhirnya menggerakkan tangan untuk mengetuk pintu putih yang menyembunyikan sosok kesayangannya dari dirinya itu di kamar mandi. Satu kali tidak ada sahutan. Dua kali hal yang sama kembali terulang. Saat ketukan yang ketiga kali juga tidak membuahkan hasil, Taraka langsung mengacak surai hitamnya frustasi. Apa yang harus ia lakukan jika sudah seperti ini? Ramona tidak akan membencinya, kan? Salah satu tuan muda pewaris keluarga Mahatama itu tidak bisa membayangkan jika bunganya itu sampai benar-benar membencinya. Sungguh, Taraka tidak akan bisa. Tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN