Dua

772 Kata
Jangan lupa subscribe dulu Happy reading ❤ Di mata Ramona, Taraka Mahatama adalah sosok laki-laki dewasa yang kebapakan dan bijaksana. Bukan hanya dewasa usia, laki-laki itu juga benar-benar dewasa dalam segi sikap dan kecakapannya. Ramona bukannya tidak pernah menghadapi laki-laki berkulit tan yang sudah menampungnya tinggal di apartemen miliknya selama satu tahun terakhir ini itu dalam keadaan mabuk. Hanya saja, sikap Taraka ketika mabuk yang biasanya tidak seperti ini. Memang Taraka menjadi lain dari ketika sadar, tapi saat mabuk, biasanya kekasihnya itu akan bersikap manja dan kekanakan padanya. Taraka Mahatama yang seperti ini benar-benar berbeda. "Ke-kenapa Kak Raka bertanya seperti itu? Bukannya kau sudah tahu kalau aku pergi ke apartemen Liana untuk membicarakan rencana pameran seni di kampus." Suara Ramona semakin melirih di akhir kalimat. Gadis itu sedikit menunduk. Mendengar kata-kata Ramona, Taraka mendecih. Laki-laki itu membuang muka ke arah lain sekejap sebelum kembali menatap tajam pada manik cokelat Ramona dengan netra hitamnya. "Bersama laki-laki bergigi kelinci itu?!" Nada bicara Taraka terdengar memburu. Mendengarnya, Ramona mengerutkan dahi. Laki-laki bergigi kelinci? "Januar yang Kakak maksud?" sahutnya lirih. Sebisa mungkin Ramona memang tidak ingin menyulut kemarahan Taraka menjadi lebih besar. Namun, sepertinya usahanya gagal. Tepat setelah nama Januar Ramona sebutkan, rahang Taraka jadi semakin mengeras. Laki-laki itu semakin erat mencengkeram pergelangan tangannya dan Ramona pun tambah meringis kesakitan karenanya. "Akh~ sa-sa-kit! Lepas, Kak! Lepaskan!" Semampunya Ramona mencoba melawan. "Tidak, Sayang. Tidak akan kulepas." Taraka menggelengkan kepala. Sepertinya berkaleng-kaleng bir benar-benar sudah memengaruhi kepala laki-laki itu. Bertingkah dengan memasang wajah seperti anak kecil menatap Ramona selama beberapa saat, Taraka lantas tersenyum miring. "Ramona. Apa Januar sialan itu juga yang mengantarmu selarut ini, hmm?" tanyanya meraih dagu milik Ramona. Dalam mabuknya itu setidaknya Taraka ingat, sore saat laki-laki bernetra jelaga itu datang ke kampus untuk menjemput kekasihnya, Ramona yang terlambat menghampirinya mengatakan kalau gadis kesayangannya itu tidak bisa pulang bersamanya ke apartemen. Ramona bilang kalau mahasiswa jurusannya harus melakukan rapat per angkatan untuk mempersiapkan acara pameran seni yang akan diadakan kampus. Lalu saat Taraka menawarkan diri untuk mengantarkannya, Januar datang dan Ramona malah memilih pergi bersama pemuda itu dengan alasan dirinya dan Januar memiliki tujuan yang sama; apartemen Liana sebagai tempat rapat yang akan diadakan. Ramona diam dengan tubuhnya yang bergetar. "Apa bocah ingusan itu masih mencintaimu? Apa dia mencoba merebutmu dariku? Kunyuk satu itu! Kenapa kalian sangat dekat? Apa ... apa kau juga menyukainya, Mona? Kenapa kau memilih pergi dengannya daripada aku yang mengantarmu ke tempat Liana? Kenapa, Mona? AKU TIDAK PERCAYA JIKA KALIAN TIDAK MEMILIKI HUBUNGAN APA-APA!!!" Taraka berteriak mencengkeram dagunya. Ramona membelakkan mata tidak percaya. Kenapa Taraka bisa meneriakinya begini? Ya, laki-laki itu memang sedang mabuk. Namun, kenapa Taraka terdengar seperti meragukan cintanya? Dia bahkan bersikap kasar! Apakah Taraka cemburu? Tapi sudah berapa kali juga Ramona menjelaskan kalau ia tidak memiliki hubungan spesial seperti yang Taraka kira dengan temannya yang satu itu. Ramona dan Januar hanya berteman baik terlepas dari fakta Januar yang memang pernah menyatakan cinta padanya. Itu pun terjadi saat pemuda itu belum tahu jika Ramona sudah memiliki Taraka sebagai kekasih. Ramona menggelengkan kepala. "Kenapa Kakak bicara begitu?" sahutnya pilu. "Aku hanya menyukaimu saja, Kak Raka. Tidak ada yang lain. Aku dan Januar hanya berteman. Sama seperti aku dengan Liana dan yang lain juga." Gadis bersurai cokelat itu hampir menangis karena selain pergelangan tangannya yang terasa semakin luar biasa sakit akibat cengkeraman Taraka, hatinya pun demikian. Taraka tertawa sumbang. Melepas cengkeramannya, tangan Taraka yang semula berada di pergelangan tangan Ramona pindah ke pinggang ramping gadis itu dengan satu tangannya yang tadinya berada di dagu merambat ke bibir ranum si gadis. "Buktikan kalau begitu," lirih Taraka menyeringai. Tanpa aba-aba dan persetujuan, Taraka kemudian menyambar penuh bibir Ramona dengan miliknya. Bukan ciuman lembut seperti biasanya. Laki-laki itu melumat, mengulum, dan menggigit bibir Ramona kecil-kecil. Ramona tidak bisa melawan. Selain tubuhnya yang langsung terasa lemas, tenaga Taraka jauh lebih besar dari dirinya. Yang bisa gadis bersurai cokelat itu lakukan saat Taraka mulai memonopoli tubuhnya hanya terisak karena pukulan-pukulan yang sebelumnya dilemparnya pada Taraka tidak berarti apa-apa. Yang ada tubuhnyalah yang semakin lemas karena kehabisan tenaga sampai seakan-akan kaki Ramona tidak mampu menapak lagi jika Taraka tidak menahannya luruh ke lantai dengan cengkeramannya. Ramona benar-benar tidak menyangka, orang yang selama ini melindungi dan menjaganya akan melakukan hal seperti ini. Padahal pada dirinya dulu Taraka pernah berjanji, ia tidak akan melakukannya sampai Ramona menyelesaikan pendidikannya dan mereka sah menjadi suami-istri. Gadis itu menangis. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang, yang terakhir kali Ramona ingat adalah Taraka yang melempar tubuhnya kasar ke tempat tidur dan menindihnya. Lalu untuk pertama kalinya, laki-laki yang berstatus kekasihnya itu mengambil kesuciannya, secara brutal, dengan nafsu, amarah, dan kehilang-sadarannya. Ramona benar-benar tidak berdaya. Tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN