"Mona. Buka pintunya, Sayang!"
Taraka berusaha memanggil Ramona yang ada di dalam kamar mandi.
Tangan laki-laki itu kembali mengetuk pintu yang ada di depannya dengan kepala yang ia hadapkan ke bawah dan dahi yang ia tempelkan pada kayu bercat putih persegi panjang itu.
Kepala Taraka masih sakit. Namun, hal itu coba tak dipedulikannya karena sekarang hanya Ramonalah yang menjadi fokusnya.
Di sisi lain, di dalam kamar mandi, suara tangis gadis bersurai cokelat itu masih terdengar bersama guyuran deras air shower.
"Ramona .... Buka pintunya, Sayang!"
Taraka yang merasa benar-benar khawatir menyuarakan kalimatnya sekali lagi. Berharap Ramona akhirnya mau menyahutinya kemudian membukakan pintu dan keluar dari bilik kamar mandi itu.
Menunggu cukup lama, Taraka tidak mendapat respons apa-apa. Ramona masih diam dengan tangisannya di dalam dan hanya suara isakannya yang terdengar semakin memilukan ke luar.
"Buka, Mona! Jangan seperti ini!" Untuk ke sekian kali, laki-laki itu menjambak rambutnya frustasi.
"Buka, Sayang! Aku ingin bicara. Jangan mengurung diri di kamar mandi seperti ini, Ramona!" Taraka mencoba membujuk kekasihnya.
Tangan laki-laki itu terus bergerak mengetuk permukaan pintu yang ada di hadapannya, berharap dengan begitu, kayu persegi panjang itu akan tersingkap dan segera menampakkan sosok gadis yang menjadi kesayangannya itu.
Laki-laki pemilik netra hitam itu tidak habis pikir, bagaimana bisa Ramona 'menghukum' dirinya sendiri karena kesalahan yang diperbuatnya. Gadis itu bisa jatuh sakit jika terus menangis di bawah guyuran air shower kamar mandi. Terlebih Taraka tidak tahu, sudah berapa lama Ramona mengurung dirinya di dalam sana. Ia pasti sudah sangat basah kuyup di dalam.
"Mona ... buka pintunya, Mona! Kalau kau tidak mau membukanya, aku akan masuk secara paksa ke dalam," seru Taraka yang kali ini menggedor-gedor pintu dengan kasar.
Taraka bertambah cemas sekarang. Pasalnya, di dalam kamar mandi yang telinganya dengar suara isakan tangis Ramona menjadi semakin lirih dari sebelumnya. Laki-laki berkulit tan itu takut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada bunganya.
Bagaimana jika kekasihnya itu tengah pingsan di dalam? Atau, bagaimana jika gadis itu mencoba melukai dirinya sendiri? Menyayat pergelangan tangan dengan pecahan kaca semisal---meski sedari tadi telinga Taraka tidak mendengar ada suara benda pecah sama sekali. Namun, tidak ada yang tahu, bukan, apa yang bisa dilakukan seseorang yang sedang berada dalam keadaan kalut seperti Ramona?
"Arghh ...."
Taraka mengerang karena pikiran-pikiran negatif yang terus datang memenuhi batok kepalanya.
Tanpa membuang-buang waktu lebih lama lagi, laki-laki itu segera berlari ke salah satu meja yang ada di sudut ruangan kamarnya kemudian membuka lacinya yang merupakan tempat Taraka menyimpan kunci cadangan setiap pintu ruang yang ada di unit apartemennya.
Kalap ia kemudian mencari kunci yang diperlukannya itu di antara tumpukan map-map dokumen yang ada di dalam laci.
Setelah benda itu sudah berada di genggaman tangannya, Taraka segera kembali ke depan pintu yang memisahkan raganya dengan Ramona kemudain berusaha membuka pintu kamar mandi itu dengan mencoba kunci yang ada di tangannya satu per satu.
Bibir Taraka tidak berhenti merapalkan nama Ramona, perempuan kesayangannya itu.
Cklek!
Setelah entah mencoba kunci yang ke berapa, pintu berbahan kayu itu pun terbuka pada akhirnya.
Dengan segala kepanikan yang dimilikinya, Taraka kemudian langsung menghambur ke dalam.
"Ramona!"
Laki-laki itu tercekat saat mendapati gadisnya yang mendekam di sudut kamar mandi dengan tubuh yang benar-benar basah di bawah guyusan shower---seperti salah satu dugaannya.
Ramona tampak terduduk lemas di lantai marmer dengan kemeja putih kebesaran milik Taraka yang melekat pada tubuhnya. Kulit putihnya keriput dan pucat dengan bibir membiru dan wajah sayu.
Gadis itu menatap Taraka dengan tatapan penuh luka yang sukses membuat laki-laki yang masih berdiri di bibir pintu kamar mandi itu merasa hampir meregang nyawa saja karena tatapan nanarnya yang membuat Taraka merasa sesak secara tiba-tiba. Padahal, Taraka bukanlah seorang yang memiliki riwayat sakit asma atau gangguang pernapasan lain.
Tatapan yang Ramona berikan itu begitu sarat akan rasa takut, kecewa, dan marah.
Tangisnya yang dari luar tidak begitu jelas terdengar pun menjadi bekali-kali lipat memilukan di telinga Taraka.
Sempat meghela napas, laki-laki itu beringsut mendekat. Berjongkok di depan Ramona lalu mencoba menyentuh lengan gadis itu dengan tangannya. Namun, sebelum tangan Taraka berhasil menyentuhnya, Ramona langsung menepis tangan laki-laki itu kasar.
Hanya dalam hitunga detik, tubuh Taraka yang hanya bertelanjang d**a sudah ikut kuyup.
Segera Ramona pun memalingkan muka darinya.
Dalam diam laki-laki itu kemudian menatap lekat kekasihnya.
Sakit.
Taraka semakin merasakan perih di hati kala manik hitamnya menangkap banyak ruam berupa kiss-mark yang tanpa sadar pasti telah ia tinggalan pada tubuh gadis tersayangnya itu semalam, di beberapa bagian yang tidak tertutupi kemeja, d**a bagian atas dan leher.
Dasar brengs*k kau, Raka! Amarahnya pada diri sendiri di dalam hati.
Tbc.