Taraka mengepalkan kedua tangannya di kiri-kanan tubuh.
Pada Ramona, ia pernah berjanji sebelumnya bahwa ia akan menghajar siapa pun laki-laki yang berani menyakiti bunganya itu. Tapi siapa sangka, setelah sosok Cakra Pradipta yang pernah berusaha memanfaatkan keluguan Ramona dulu saat masih baru di ibu kota, ternyata dirinya sendiri yang sekarang malah menyebabkan kekasihnya itu terluka. Bahkan, Taraka sendiri yang secara tidak langsung menghancurkan Ramona-nya.
Apakah sekarang ia harus menghajar dirinya sendiri?
Taraka menelan pahit air ludahnya sendiri.
"Mona .... Maafkan aku," pintanya lirih pada Ramona yang sejak tadi hanya menangis dalam diam.
Taraka tahu, teramat tahu malah jika permintaan maafnya tidak berguna apa-apa. Tapi apa lagi yang bisa dilakukannya selain mengucapkan itu?! Kesalahannya terlalu besar dan adalah tidak mungkin baginya bisa memperbaiki segalanya. Laki-laki itu bukan Tuhan. Dan sekarang, istilah 'nasi sudah menjadi bubur' benar-benar telah menimpa dirinya dan gadis yang ia sayangi.
"Tolong maafkan aku, Mona. Maaf."
Taraka kembali menggumamkan permintaan maaf dengan suara lirih yang benar-benar menunjukkan seberapa menyesalnya laki-laki itu.
Ramona yang mendengar itu pun semakin menjadi tangisnya. Pertahanan dirinya makin runtuh.
Bagaimanapun, laki-laki dari keluarga Mahatama yang telah merenggut mahkotanya itu adalah pria yang selama ini Ramona cintai. Gadis itu tidak mungkin bisa membencinya walaupun Taraka telah melakukan kesalahan besar kepadanya, semarah apa pun itu Ramona.
Ya, Ramona Prameswari adalah seseorang yang berdarah lokal. Nyaris seluruh hidupnya saja yang sejak masa kecil hingga remaja ia habiskan di negara liberal seperti Australia. Namun, bagi gadis dengan manik cokelat itu 'menjaga kesuciaannya untuk suaminya kelak' adalah prinsip hidup yang ingin Ramona jalani. Semua anggota keluarganya pun memegang prinsip hidup yang serupa entah itu laki-laki atau perempuan, karena dari merekalah Ramona belajar.
Bohong jika Ramona mengatakan tidak pernah menginginkan hubungan yang lebih serius dengan Taraka daripada kekasih. Dia memang masih muda, tapi pikiran untuk hidup berumah tangga dan berkeluarga juga pernah hinggap pada pikirannya sama seperti yang dipikirkan oleh gadis-gadis lain pada umumnya.
Tapi Taraka, Ramona tidak pernah membayangkan jika laki-laki itu akan menyalahi janji yang dibuat Taraka sendiri padanya untuk tidak menyentuhnya selama mereka belum menikah, terlebih dengan kasar dan dalam keadaan laki-laki itu yang mabuk.
Ramona harap semua ini hanya mimpi. Tapi presensi Taraka yang berada di depannya hanya memakai celana dalam dengan tubuh bagian atas yang terbuka, menampilkan luka cakaran kuku Ramona yang memanjang dari bahu ke dadanya itu terlalu nyata jika hanya ia anggap ilusi. Apalagi dengan fakta bahwa ada rasa perih dan sakit yang ia rasakan pada inti tubuhnya sejak pagi tadi.
Sungguh Ramona tidak ingin percaya bahwa Taraka seberengs*k itu.
Gadis cantik itu pun memilih membenturkan kepalanya ke dinding berbahan porselen kamar mandi yang berwarna putih. Berharap dengan begitu rasa sakit yang menjalari dadanya akan segera hilang dan reda sekalian kesadarannya, atau jika perlu sekalian nyawanya.
Taraka yang melihat itu pun tentu tidak diam saja. Panik, laki-laki itu langsung menghentikan aksi gadisnya dan membawa tubuh ringkih itu ke dalam pelukan. Tidak peduli dengan Ramona yang meronta-ronta dan menyerangnya dengan pukulan, Taraka semakin mempererat dekapan.
"Maaf, Sayang. Maaf ...."
Laki-laki itu mengusup punggung Ramona yang bergetar. Meraih puncak kepala gadisnya dengan salah satu tangan lalu mengecupnya dalam. Matanya yang memanas sejak tadi akhirnya mengeluarkan cairan beningnya. Taraka menangis.
"Kau jahat, Kak!"
Ramona semakin kuat memukulkan tangannya ke d**a Taraka. Setelah lama tak bersuara, gadis itu akhirnya mengungkapkan kekecewaannya dengan suaranya yang sengau, "Ka-kau jah-hat hiks hiks hiks," ulangnya sembari terus memukul.
Taraka tidak melawan.
Laki-laki itu juga tidak mencegah ataupun menahan apa yang dilakukan Ramona padanya. Meskipun seandainya gadis itu menghabisi nyawanya detik itu juga, rasanya itu pun tidak akan cukup untuk membayar kesalahan yang telah diperbuat Taraka.
"Kau jahat, Kak! Kau jahat ...."
"Jahat! Kau jahat!"
Di bawah guyuran air shower yang sedari awal terus mengucur itu lama kelamaan Ramona yang lelah menghentikan pukulannya. Gadis itu memilih diam menerima pelukan Taraka dan balas memeluknya. Kuat Ramona pun menangis sembari mencengkeram erat lengan kekasihnya.
"Maaf, Sayang ...." Taraka menggumamkan permintaan maafnya lagi.
Laki-laki itu kemudian memejamkan mata berharap hal itu akan berhasil menghentikan aliran air matanya. Ia tidak mau Ramona melihat kelemahannya meskipun dirinya menangis di bawah guyuran air sekalipun.
"Aku mencintaimu," bisik Taraka tepat di telinga gadis bersurai cokelat itu.
Taraka kembali mencium puncak kepala Ramona. Setelah bunganya itu jauh lebih tenang dari sebelumnya, Taraka kemudian mengajak gadis itu berdiri bersamanya.
Shower yang tadinya mengucurkan air dingin oleh laki-laki itu setel ganti mengeluarkan air hangat.
Di bawah guyuran air itu, Taraka kemudian memandikan tubuh Ramona dan tubuhnya dalam diam. Setelah sabunan gadisnya selesai ia beralih menyabun tubuh penuh dosanya sendiri.
Pagi itu kedua anak manusia itu mandi bersama di bawah guyuran air hangat shower apartemen si pria. Belum tahu akan konsekuensi apa yang akan segera dihadapi oleh masing-masing dari mereka.
- End of flashback -
Tbc.