Di meja makan yang seharusnya penuh tawa dan cerita tentang seberapa menyebalkannya hari senin, suasana tegang menggantung begitu kental di udara. Suara perlahan dan pandangan yang terhalang menandakan ada yang tidak beres. Piring-piring yang seharusnya berdering saling bertemu kini hanya sesekali terdengar.
Harusnya Daniel lembur malam ini, namun Ana memaksa Daniel agar segera pulang ke rumah menyusulnya.
Ini semua karena permasalahan yang datang, menghantam kondisi perusahaan. Mommy Ana ingin meeting kecil bersama Daniel dan Daddy Nat. Namun obrolan ketiganya tak sampai pada titik terang hingga membuat kerutan-kerutan di kening semakin terlihat jelas.
Di samping piring-piring berisi makanan, laptop terbuka lebar didepan masing-masing, mereka melanjutkan bekerja, mencari solusi dari permasalahan yang datang.
Perusahaan tengah menghadapi masalah keuangan yang signifikan dalam beberapa bulan terakhir, penurunan itu luput dari mata-mata mereka bertiga.
"Sumber masalahnya ada di penurunan tajam laba bersih perusahaan akibat biasa produksi yang meningkat, sementara harga jual produk nggak bisa dinaikqn secara signifikan," Mommy Ana memijat kening, rasa pusing menyerang kepalanya.
"Terjadi persaingan harga yang cukup ketat di pasar, Mom" Daddy Nat menambahi, entah apa yang tengah dilakukan laki-laki itu, kacamata bertengger disana, wajahnya serius. "Besok, agendakan rapat bersama manager keuangan, secepatnya."
"Daniel, besok kamu ke pabrik, ajak Antonio. Temui manager produksi dan warehouse, lakukan evaluasi menyeluruh terhadap semua proses operasional, dari rantai pasokan hingga produksi dan distribusi. Hal ini berguna untuk mengidentifikasi potensi penyusutan biaya dan peningkatan efisiensi"
Daniel mengangguk paham. Dia telah mencatat apa saja yang diminta oleh Daddy Nat, beliau jauh lebih berpengalaman dalam menangani masalah perusahaan.
Kini tatapan Daddy Nat tertuju pada sang istri, siap memberi perintah.
"Mommy temui manager keuangan, minta yang bersangkutan melakukan optimisasi pengeluaran, prioritaskan pengeluaran kritis, kurangi biaya overhead, dan biaya administrasi.." Laki-laki itu terdiam, seperti memberi waktu agar otaknya kembali berpikir cara paling masuk akal untuk mengatasi masalah ini, "Satu lagi, Mom. Lakukan negosiasi dengan kreditur dan pemasok, manager keuangan pasti paham apa yang harus dia lakukan."
"Siap, Dad. Besok mommy ke pabrik juga"
"Besok Daddy akan membuat janji temu dengan Mr. Frank untuk melakukan konsultasi terkait keuangan perusahaan, semoga Mr. Frank bisa memberikan perspektif dan strategi tambahan yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan keuangan perusahaan"
Rapat di meja makan, selesai.
○○○○
Hari-hari berlalu dengan begitu cepat, tidak ada waktu yang Daniel sia-siakan untuk mengurus hal-hal diluar pekerjaan. Permasalahan keuangan itu nyatanya menyita waktu laki-laki berparas tampan bak anime hidup itu, dia bahkan tak sempat memberi kabar pada sosok gadis yang selalu menunggu pesan masuk darinya.
Ditengah kesibukan mahasiswa yang berlalu lalang, sore itu Tavisha duduk sendiri di tepi jendela, memandang keluar dengan tatapan penuh kerinduan. Pikirannya melayang jauh, menuju sosok yang selalu ada di hatinya tetapi sekarang terpisah oleh jarak dan kesibukan yang tak terelakkan.
"Woy!"
Clara datang seraya menyuguhkan cengiran, berharap energi positif yang ia bawa bisa menular ke sahabatnya.
"Galau mulu dari kemarin, kenapa sih?"
Benar, sejak Daniel tidak lagi memberi kabar, Tavisha jadi berubah lebih pendiam. Dia lebih sering melamun, tak peduli di rumah, di resto, atau bahkan di kampus. Tak jarang Clara harus menyadarkan Tavisha saat dosen mereka menunjuk Tavisha untuk menjawab soal atau diskusi.
"Gue kangen mas Daniel"
"Yaelah, tinggal chat atau telepon, susah-susah amat." Clara duduk seraya menopang kepalanya.
"Nggak ada yang dibales, tiap hari gue telepon nggak pernah di angkat, perasaan gue kacau, Ra."
"Nggak mungkin mas Daniel tiba-tiba punya pacar, 'kan? Makanya jauhin lo gini"
"Ish! Jangan bikin gue tambah overthinking dong"
"Ya abis gimana dong, masa lo mau nyamperin ke rumahnya"
"Gila! Nggak mau lah!"
Bagaimana mungkin Tavisha akan mendatangi kediaman Daniel sementara mereka berdua masih belum ada hubungan apapun.
Drrtttt~
Tavisha buru-buru menyambar benda pipih yang tergeletak diatas meja, dia selalu berharap itu dari orang yang dia rindukan. Namun yang ada hanyalah pemberitahuan lain dari dunia yang sibuk.
"SMS operator.." gumam Tavisha lemas, kembali meletakan ponselnya.
"Yah, gue ikut degdegan, Sha. Kirain mas Daniel"
Mencoba untuk bersikap dewasa, Tavisha mengambil napas dalam-dalam, mencoba untuk tidak terlarut dalam kesedihan, tetapi untuk mengumpulkan kekuatan dari rindu itu. Jika waktu dan keadaan memungkinan, dia tahu bahwa dia dan Daniel akan bertemu sesegera mungkin, dengan cerita baru untuk di bagikan.
"Daripada lo sedih-sedih gajelas gini, mending kita karaoke, gimana?"
"Mauuu.."
Clara segera berdiri, dia mengulurkan tangan.
"Yuk! Kalo sama gue gak boleh galau-galau, kita have fun! Kita sewa LC cowok---aww!!"
"Nggak pake LC ya anjir!"
Clara hanya bisa meringis, mengangguk. Dia hanya bercanda tadi. Lagipula, mana ada LC cowok di negeri ini?
○○○○
Seiring berjalannya waktu, Lucas menyelam dalam kesadaran akan masa lalu orang tuanya. Dia belajar untuk melihat mereka tidak hanya sebagai figur otoritatif, tetapi sebagai manusia yang juga mengalami kelemahan dan kesalahan.
"Cas!"
Itu suara Kaisar, kakaknya.
"Masuk, Bang!"
Kaisar membuka pintu, dia tidak masuk, hanya berdiri diambang pintu. Pria berkulit tan itu menatap sang adik yang terlentang diatas ranjang king size seraya bermain ponsel.
“Ini penawaran terakhir gue, lo beneran nggak mau ikut?"
Tanpa berpikir dua kali, Lucas menggelengkan kepala.
"Banyak kerjaan."
“Cas, gue nggak tau keputusan yang lo ambil ini bener atau salah. Gue juga nggak tau apa alasan sebenarnya lo selalu nolak buat ketemu Mama sama Papa”
“Nggak ada alasan khusus selain pekerjaan, Bang”
Masa lalu orang tuanya bukan hanya cerita tentang kesuksesan dan pencapaian, tetapi juga tentang keputusan yang mungkin tidak sempurna, pilihan yang menimbulkan luka. Ada luka yang terpendam, dan ada perasaan kecewa yang mungkin pernah menguasai hatinya.
“Gue juga sama kecewanya sama lo, Cas. Gue bahkan masih inget, susah-senang kita berdua tanpa andil orang tua. Tapi Berlin bilang ke gue, kita nggak pernah tau sampai mana umur mereka. Jangan sampai lo, atau gue menyesal nantinya."
"Rasa kecewa gue mungkin udah selesai, Bang. Tapi buat ketemu sama mereka rasanya masih sulit"
Kaisar tidak memaksa lagi, dia juga mengerti posisi Lucas. Dimulut boleh bilang udah selesai dengan rasa kecewa, tapi di hati, siapa yang tau. Luka yang digoreskan oleh kedua orang tuanya sudah terlalu dalam.
"Ya udah kalau gitu, baik-baik lo dirumah. Gue pergi paling seminggu"
"Hmmm, gue udah gede kali. Safe skies ya, salam buat Mama sama Papa"
"Iya, nanti gue sampaikan."
Pintu kembali ditutup, Lucas meletakan ponsel disampingnya. Dia menutup mata menggunakan lengan, merasakan nyeri di hati karena kenangan masa lalu itu kembali datang.
Sejak dulu, Lucas buta akan kata cinta. Dia tak pernah bisa memahami apa itu cinta sebab dia tidak pernah diberikan kesempatan untuk mencintai atau dicintai.
Untuk hal dasar saja, cinta orang tua, Lucas tidak pernah merasakan hal itu. Jika definisi cinta menurut orang tuanya adalah harta, maka mereka salah total. Lucas dan Kaisar memang membutuhkan uang, tapi mereka juga menginginkan kasih sayang. Bahkan Lucas merasa tak pernah punya kenangan spesial bersama orang tuanya.
Seiring berjalannya waktu, Lucas yang tidak terbiasa menerima cinta, hatinya mengeras. Circle pertemananya sempit, kemungkinan hanya Daniel temannya. Jatuh cinta pada seorang gadis? Sekalipun tidak pernah terlintas, Lucas selalu menganggap gadis-gadis yang menyukainya itu sebagai lalat pengganggu, tidak lebih.
Getaran ponsel membuyarkan lamunan Lucas, pesan dari Daniel masuk. Dia tau Daniel sedang berputar dalam pusaran permasalahan perusahaan.
Daniel bilang, dia butuh teman minum-minum, kepalanya seperti mau pecah. Lucas yang sama-sama suntuk akhirnya setuju. Dia segera bangkit, mencuci wajah, lantas menyambar kunci mobil.
Berkendara dalam keadaan kacau bukanlah pilihan yang baik, setelah melaju sekitar lima belas menit, Lucas tak sengaja menabrak bagian belakang mobil seseorang.
“Dang!" Lucas memundurkan sedikit mobilnya, terlihat seorang wanita keluar dari mobil yang ia tabrak, dengan wajah kesal.
Lucas buru-buru turun, hendak meminta maaf dan menawarkan gantk rugi. Baru saja kakinya menginjak aspal, perempuan itu langsung mencecarnua.
"Woy! Yang bener dong nyetirnya, kalo terjadi tabrakan beruntun gimana? Lo mau tanggung jawab, heh?!"
Kedua netra Lucas menatap lurus, terpaku. Bukan, bukan karena dia takut akan cecaran perempuan itu, tapi karena dia mengenal siapa perempuan itu.
"Tiara?"
Mata Tiara membulat, suara itu, jelas sekali masih tersimpan di dalam memori otaknya. Juga wajah tampan nan matang itu, Tiara mengerjap beberapa kali, bibirnya bergetar hendak menyebut nama laki-laki di hadapannya.
"Lucas?? Beneran Lucas?"
Sumpah, momen mereka adalah momen paling ditunggu, hanya saja situasinya tidak tepat. Karena mereka berdua jalanan jadi macet, banyak pengendara yang menekan klakson.
Lucas butu-buru mengatakan, "Bentar, Ti. Kita harus ngobrol, kita berhenti di depan, okay?"
Antara bingung dan bahagia, Tiara hanya mampu mengangguk, dia kembali masuk ke dalam mobil, kendaraan roda empat itu kembali melaju hingga menemukan tempat yang sekiranya cocok untuk berhenti.
Keduanya segera turun, Tiara tanpa mengonfirmasi terlebih dulu langsung berjalan dan memeluk Lucas.
"Cas, ini beneran lo, 'kan?"
"Kalo bukan gue nggak mungkin gue diem aja lo peluk-peluk kayak gini" ucap Lucas sembari membalas pelukan Tiara.
Di tepi jalan yang ramai dengan lalu lintas dan kebisingan kota, mereka bertemu kembali setelah sekian lama terpisah. Suara klakson dan deru mobil yang melintas seolah menjadi latar belakang yang tak terealakkan dalam pertemuan mereka yang penuh kerinduan.
Mereka duduk di bangku beton di pinggir trotoar, Lucas mendadak lupa akan janjinya untuk bertemu Daniel, sementara Tiara juga lupa dia harus segera kembali ke Proserpine.
"Lo kemana aja sih, Ti??? Sumpah, gue berasa kehilangan jejak lo, secara tiba-tiba."
"Ada sesuatu yang nggak bisa gue ceritain ke lo, Cas. Gue minta maaf karna udah ngilang gitu aja."
"It's okay." Lucas tersenyum, cerah sekali wajahnya. "Masih nggak nyangka gue bisa ketemu lo lagi, Ti"
"Oh ya, kita tukeran nomor kontak lagi ya, sim card gue yang lama udah gue hancurin. Sama nanti gue kasih alamat rumah, oh iya satu lagi, butik."
"Butik?"
"Iya," Tiara mengangguk antusias, "Gue sekarang udah punya butik sendiri, ntar gue kasih alamatnya juga"
"Gila, lo ngilang balik-balik udah punya butik?? Lo selalu keren dimata gue, Ti"
"Harus dong, bangga kan lo pernah di taksir sama gue? Hahaha"
Tangan besar Lucas tak kuasa untuk tidak menyentuh puncak kepala Tiara, gemas. Percakapan mereka terputus-putus oleh suara kendaraan yang melintas cepat, tapi setiap kata yang mereka ucapkan terasa berharga dan penih makna. Ada banyak hal yang ingin mereka ceritakan satu sama lain, mungkin lain kali, dalam rentang waktu lebih lama dibanding sekarang.
"Banyak banget yang pengen gue ceritakan tentang keadaan gue selama lost contact dari kalian semua. Tapi nggak sekarang, Cas. Gue harus balik ke butik secepatnya"
"Gimana kalo besok? Gue bisa dateng ke rumah lo, sekalian ketemu sama bunda. Atau lo yang kerumah gue?"
"Nanti gue kabarin lagi ya, takutnya besok gue banyak kerjaan"
Lucas mengangguk penuh pengertian, Tiara segera pamit undur diri, dia memeluk Lucas sekali lagi, hanya pelukan singkat. Keduanya saling melambaikan tangan, berjanji untuk bertemu lagk setelah ini.
HRV Tiara mulai bergabung dengan kendaraan lain, Lucas meremas jemarinya.
"Niel, Tiara ketemu.." Lucas bermonolog.
Dia kembali masuk ke dalam mobil, membawa kendaraan roda empat berwarna silver itu menuju bar, Daniel bilang dia sudah tiba lima belas menit lalu.
Dalam perjalanan menuju ke bar, Lucas kembali memikirkan, lebih tepatnya mempertimbangkan haruskah dia memberitahu Daniel akan pertemuannya dengan Tiara?
Keadaan Daniel masih belum stabil, dia sibuk membereskan permasalahan yang ada di perusahaan. Takutnya, fokus Daniel justru terpecah, lagipula dia bisa memberitahu sobatnya kapanpun. Tidak harus hari ini, biarkan Daniel menyelesaikan masalahnya lebih dulu.