Menyelimuti Keraguan

2210 Kata
Di antara deretan toko pakaian, aksesori, fnb, gym, dan masih banyak lagi, sebuah bangunan butik dengan warna putihnya yang bersih dan menyegarkan tampak menonjol, bangunan itu memiliki dua lantai, dikelilingi oleh deretan jendela kaca besar yang memantulkan cahaya matahari, butik itu juga menampilkan arsitektur minimalis yang elegan. Pintu masuknya yang terbuka lebar menawarkan sambutan hangat kepada para pengunjung yang memasuki ruangan ber-AC yang cerah. Di dalam, rak-rak penuh dengan pakaian dan aksesori mode terpajang rapi, dengan pencahayaan yang lembut menyoroti setiap detail desain. Inilah, Proserpine. Di suatu pagi, langit terbuka cerah setelah mendung beberapa hari terakhir. Di dalam sebuah ruangan yang terpisah dari deretan rak penuh pakaian, terdapat sebuah meja kerja dipenuhi dengan kertas sketsa, pensil berwarna, dan laptop yang terbuka dengan gambar desain sebuah hanbok. Bunda Intan masuk ke dalam ruangan Tiara, meletakan secangkir kopi di ruang kosong meja kerja Tiara. "Ngopi dulu, Ti. Daritadi bunda lihat kamu nggak berhenti sama sekali, sibuk sama potongan kain, pensil, kertas.." Tiara mengangguk tanpa menoleh ke arah Bunda Intan, perempuan berusia seperempat abad itu tengah fokus, dia sedang berkutat dengan imajinasinya. "Nda," panggil Tiara kemudian, mengambil sampel dua potongan kain, menyodorkan potongan itu ke depan bunda Intan, "Kalo #EABCAC dipadukan sama #874E4C cocok nggak?" Bunda Intan mengamati dua warna yang kodenya disebutkan oleh Tiara barusan. Kedua netra Bunda Intan bergerak, meniti warna-warna yang berserakan diatas meja. "Coba kamu kasih sentuhan #E2B091, biar ada kesan classic nya" "Oke, noted. Thank you, Bundaaa" "Sama-sama sayang, ada yang bisa bunda bantu lagi?" "Kayaknya nggak ada, abis ini aku mau ke toko kain" "Oke, biar Proserpine bunda yang jaga" Harusnya Bunda Intan sudah pensiun, tidak setiap hari beliau datang ke butik, hanya saat-saat Tiara membutuhkan bantuan seperti ini. Dia harus mengerjakan pesanan hanbok untuk lamaran anak dari teman bunda Intan, jadi butik akan dijaga oleh Bundanya. Sebagai seorang designer, mengerjakan pesanan khusus membutuhkan perhatian ekstra, setiap jahitan, setiap lipatan, setiap detail kecil memiliki arti penting dalam menciptakan keindangan hanbok yang sempurna. Tiara tidak ingin asal-asalan membuatnya. Setelah menemukan perpaduan warna yang cocok, Tiara mulai membereskan meja kerjanya, dia memasukan sampel, kertas sketsa, beberapa pensil ke dalam satu box, perempuan itu meraih tablet yang biasanya digunakan untuk mendesign pakaian, memasukannya ke dalam tas. "Saatnya hunting kain!" ada beberapa showroom yang menawarkan kain-kain berkualitas, kesanalah tujuan Tiara. "Nda, aku pergi dulu ya, mau ke showroom, cari kain sama keperluan lain" "Iya, hati-hati ya. Kalo butuh bantuan kabarin bunda" "Siap! Bye, Bundaaa!" Tiara melambai, lantas berjalan keluar butik dan segera masuk ke dalam mobilnya. Musik pop yang sedang trend akhir-akhir ini menemani perjalanan Tiara menuju showroom, suasana hatinya sedang sangat baik hari ini, semua berjalan dengan lancar. Kehidupan setelah jadi b***k korporat lebih bebas dan menyenangkan. Sekitar satu jam kendaraan roda empat milik Tiara melenggang di jalan raya, HRV putih itu akhirnya berbelok ke sebuah showroom kain paling terkenal di kota. Tiara bergegas turun dan masuk ke dalam. "Selamat pagi!" Tiara menyapa salah seorang pegawai showroom yang cekatan menyambutnya. "Pagii, wah sudah lama ya nggak lihat kak Tiara datang ke showroom, ada yang bisa Maria bantu, kak?" Tiara mengangguk, kebetulan dia sudah mengenal Maria salah satu pegawai showroom, jadi selama beberapa jam kedepan Maria yang akan membantu Tiara menemukan kain yang cocok. "Aku lagi cari kain buat hanbok. Mau lihat beberapa koleksi kain sutra yang ada disini, bisa?" "Tentu saja, apa kak Tiara punya preferensi tertentu untuk warna atau tekstur kain sutra yang dicari?" "Ah, tunggu sebentar," Tiara mengeluarkan tiga sampel warna yang ia bawa, dia menunjukan warna-warna tersebut ke Maria. "Aku lagi cari warna yang bisa menampilkan kesan classic, mungkin chocolat, Nude, sama Blush. Kalau ada yang punya tekstur halus untuk chima (rok) dan jogori (atasan)" Maria membawa Tiara ke salah satu rak penuh gulungan kain, Maria menunjuk beberapa yang ada disana. "Kami punya beberapa pilihan kain sutra yang mungkin sesuai sama preferensi kak Tiara. Ini contoh kain sutra dengan warna nude dan blush yang halus. Kak Tiara mau coba pegang?" "Ini sutra murbei, ya?" "Betul sekali, kain ini terbuat dari sutra ulat murbei, yang terkenal akan kehalusan dan kilau yang indah. Kain ini sangat cocok untuk hanbok elegan dan anggun" "Okay, boleh lihat koleksi lain?" "Tentu, silakan.." ○○○○ Siapa sangka, memilih kain akan membutuhkan waktu selama itu. Tiara bahkan mendatangi tiga showroom sekaligus, menandai beberapa hal sampai akhirnya dia memutuskan untuk membelinya. Perbandingan kualitas dan harga menjadi penentu Tiara dalam membeli kain. Dia baru menyelesaikan kesibukannya sekitar pukul setengah lima sore. Langit senja berwarna jingga mulai merangkak menuju sisi barat, mobil Tiara menepi dan terparkir di depan pagar sebuah tempat pemakaman. Tiara menatap seikat bunga yang ia beli saat perjalanan menuju ke tempat ini, perempuan cantik itu segera turun. Mata almond berwarna coklat itu menatap ke arah depan, disini, ditempat peristirahatan terakhir sahabatnya. Sudah lama sekali Tiara tidak datang ke tempat ini, mungkin semenjak pindah rumah. Selain karena jarak yang lumayan jauh, dulu Tiara juga sangat sibuk. Baru sekarang dia menyempatkan untuk datang. "Gue dateng, Bim" Tiara melangkahkan kaki masuk ke dalam, menuju salah satu batu nisan yang bersih dan terawat. Nama sosoknya masih terukir untuh diatas nisan. BIMA AGA DIRGANTARA "Hai, it's been a long time ya, Bim" Tiara berjongkok, dia meletakan buket bunga tersebut di depan nisan. "Kalo boleh jujur, gue kangen sama lo, Bima." Ah, Tiara membenci situasi seperti ini, dimana matanya terasa panas, Tiara yakin sebentar lagi air matanya akan lolos. "Setiap kali gue dateng kesini, kenangan-kenangan kita yang indah jadi kebayang. Bim, banyak hal yang udah gue lewati setelah kepergian lo. Padahal dulu, setiap kali gue ada masalah lo yang selalu denger curhatan gue, dan kasih saran, menghibur gue.. gue kangen, Bim.." Benar saja, air mata Tiara lolos begitu saja dari pelupuknya. Bagaimana bisa dia menahan kerinduan terhadap sahabatnya? Saudara dari mantan kekasihnya? "Lo tau, Bim. Gue sekarang udah punya butik sendiri, bangunannya cantik banget, Bim. Namanya Proserpine, seandainya lo masih hidup, pasti lo bakalan bangga sama gue, 'kan?" Tiara menghapus pelan air matanya. "Lo juga nggak akan ninggalin gue sama seperti yang dilakuin sama Daniel, kan, Bim?" Meskipun Bima sudah tidak ada di dunia ini, setiap kali Tiara datang ke tempat ini, dia merasa dekat. Dia merasa Bima tengah duduk di hadapannya, mendengarkan apapun yang dia ucapkan tanpa memotong. "Untuk sekarang, gue lagi mencoba membuka hati buat orang baru. Usia gue udah dua lima, Bim. Bunda udah nyuruh gue nikah, andai aja lo ada disini... aduh, kayaknya bunda bakal jodohin kita deh, iya nggak sih?" Kekehan Tiara terasa amat sangat getir, lagi, air matanya lolos begitu saja. "Susah buat gue move on dari Daniel, tapi gue juga gak bisa nunggu dia lebih lama lagi. Kehidupan gue harus terus berjalan dengan atau tanpa Daniel" "Makasih ya, Bim, udah mau dengerin keluh kesah gue. Kalo bukan sama lo, gue curhat sama siapa lagi?" Setelah dirasa cukup, Tiara menadahkan kedua tangan, menunduk seraya merapalkan doa untuk sahabatnya saat masih SMA. "Nanti, gue akan sering-sering datang kesini, jadi nggak usah khawatir" Tiara berdiri untuk pergi, tetapi hatinya tetap tinggal di tempat itu untuk beberapa saat. Tiara telah melupakan rasa sakit dan kecewanya pada Dirgantara bersaudara yang telah menancapkan rasa sakit itu tepat di ulu hati saat mereka masih SMA. Kini, dia telah melupakan rasa sakit itu, sebagai gantinya dia justru akan mengingat kenangan indah bersama Dirgantara bersaudara. "See you, Bim" ○○○○ Pertemuan tak terduga saat di masjid, saat di mall, dan bincang singkat di SummerX membawa Tiara dan Tavisha ke dalam pertemanan yang lebih dekat. Mereka sudah bertukar nomor telepon, dan malam ini Tavisha memutuskan untuk menghubungi Tiara. Ditengah kesibukan Tiara nonton drakor, sebuah telepon dari Tavisha menginterupsi, Tiara segera menekan tombol hijau, seketika suara Tavisha terdengar. "Malam, Mbak. Aduh, maaf ya aku ganggu" "Eh, ada apa, Sha?" "Ini, kebetulan tadi aku lagi antar pesanan ke komplek deket rumah mbak Tiara, jadi aku pengen sekalian mampir, boleh?" Tiara terkekeh di seberang sana, "Tentu aja boleh, nanti gue share location ya, rumah gue ada di tikungan, gampang lah" "Wah, makasih banyak ya mbak, aku meluncur" "Iyaaa" Senyum di bibir Tavisha terbit, jaraknya hanya tujuh menit dari posisi gadis itu. Mengendarai motornya, Tavisha segera meluncur, lantas tiba kurang dari sepuluh menit. "Mbak!!" Tavisha melambai antusias saat melihat siluet Tiara keluar dari balik pintu. Perempuan itu menggelung rambut panjangnya, dia hanya mengenakan celana pendek dan kaos oversize. "Hai, cerah banget muka lo, Sha. Ayo masuk, kenalan sama Bunda" "Motorku disini aman kan, Mbak?" "Amaaan, udah ayo" "Mbak, aku bawain sop iga buat mbak Tiara sama bundanya." "Aduh, repot-repot amat, Sha. Lain kali nggak perlu bawa makanan, ya. Kalo mau main, main aja" "Ehehe, nggak masalah, Mbak" Keduanya masuk ke dalam rumah, "Duduk dulu, Sha. Btw, makasih ya sop iga-nya, gue buatin minum dulu" Setelah mendapatkan anggukan kepala dari Tavisha, Tiara berlalu untuk menyiapkan minuman dan beberapa camilan. Tak lupa dia memanggil Bunda Intan yang masih fokus menonton drama korea. "Nda, di depan ada tamu. Kedepan bentar yuk" "Pacar kamu??" "Bukaaan, temen. Cewek dia, ayo, bentaran aja" "Yaahh, kirain pacar kamu." Menanggapi hal itu Tiara hanya mengembangkan senyum mirisnya. Selalu saja tentang pasangan. Tiara sampai lelah sendiri mendengarnya. "Halooo," Bunda Intan menyapa Tavisha dengan wajah riang, "Ya ampun cantik banget, nama kamu siapa?" "Ah, makasih, Tante. Aku Tavisha" "Kapan hari Tiara pernah ngomong ke tante, kalo dia punya temen yang pinter masak, punya restoran lagi, hebat banget" "Hehehe, nggak sehebat itu kok, Te. Kapan-kapan tante mampir ke resto aku, nanti aku kasih diskon" "Aduh, Sha. Bunda nih kalo denger kata diskon udah pasti langsung semangat" "Alamatnya dimana sayang? Nanti tante kesana, secepatnya kalo ada waktu luang" "Nah, kan. Liat" Tavisha hanya tertawa mendengarnya, dia menyebutkan nama resto beserta alamatnya. "Tavisha masih kuliah ya?" "Iya, Te." "Bagus itu, kuliah sambil kerja. Dulu Tiara juga kayak gitu pas di London sana, kuliah sambil kerja. Pulang-pulang alhamdulillah langsung dapat kerja di multinasional company," Biasa, jiwa emak-emaknya muncul. Tiara hanya tersenyum kikuk, berbeda dengan Tavisha yang mendengar dengan raut antusias. "Udah kelihatan ya, Te. Kalo mbak Tiara ini punya karakter yang kuat, cantik, pintar, baik" "Bagi tante, Tiara ini udah mendekati sempurna, Sha. Dia pinter cari duit, pinter ngurus diri sendiri, cuma sayang aja.." "Sayang kenapa, Te?" "Sayang, dia nggak pinter cari pasangan. Liat, sampai umurnya dua-lima, masih single, sibuk kerja, liburan, shopping" "Bunda..." tegur Tiara saat di rasa Bunda Intan sudah terlalu jauh menceritakan sesuatu tentang dirinya. "Oh iya, Sha. Makasih ya buat sop iga-nya. Kalian lanjut ngobrol aja, tante mau lanjut nonton drakor" "Ah, iya tante" Akhirnya Bunda Intan pergi. Tiara sedikit menyesal membiarkan Bunda Intan bertemu dengan Tavisha. Tiara akhirnya meminta maaf, "Maaf ya, Sha. Bunda emang gitu orangnya" "Santai aja, Mbak." Tavisha mengibaskan tangannya sembari terkekeh, dia kembali melanjutkan obrolan. "Tante Intan mah nggak ada apa-apanya dibanding mama-ku" "Oh ya?" Tavisha mengangguk, "Mama pernah diem-diem daftarin aku ke apps kencan. Pasang fotoku disana, aduh itu pas banget aku lagi ujian, jadi banyak notif yang masuk... sumpah sih." "Kalo bunda suka nawar-nawarin gue ke anak temen-temennya gitu. Temen arisan lah, temen ini lah, itu lah, sampai pusing gue." Tiba-tiba saja mereka saling membagikan cerita tentang pengalaman kencan aneh dan lucu yang pernah mereka alami. Karena sebelum ini, mereka memang pernah pergi nge-date dengan beberapa laki-laki, namun tidak pernah ada yang cocok. "Target nikah mbak Tiara emang umur berapa?" "Ntah ya, Sha. Gue nggak pernah kasih target, hanya saja... gue lagi nunggu seseorang" "Ah, seseorang dari masa lalu ya, Mbak?" Meski ragu, Tiara mengangguk saja sebagai jawaban. "Selama gue nunggu, yang gue lakuin cuma terus upgrade skill, kerja, mempercantik diri, menambah ilmu. Entah kapan hari itu datang, ketika dia kembali, gue udah siap dengan versi lebih baik, dan bisa seimbang sama dia" "Gini ya kalo ngobrol sama perempuan yang pemikirannya udah dewasa. Nggak ada aku lihat keraguan, atau insecure dari mata mbak Tiara. Justru yang ada adalah rasa percaya diri" "Cinta dan hubungan itu rumit, Sha." Iya, Tavisha setuju dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Tiara. Cinta dan hubungan memang rumit. Ada saat-saat ketika kita seperti dua orang asing yang saling mencari, tersesat di antara kata yang tak terucapkan dan perasaan yang terpendam. Komunikasi yang salah, kekhawatiran yang tak terucapkan, dan perbedaan pendapat yang kadang menimbulkan gesekan diantara sepasang kekasih. Menjalin hubungan harus dibarengi dengan pemikiran yang matang. "Kamu sendiri, udah punya pacar atau belum? Biasanya cinlok di kampus gitu" Kepala Tavisha menggeleng lemah, "Belum mbak. Tapi.." "Ada orang yang kamu taksir?" Entah bagaimana bisa, seolah terhipnotis oleh pertanyaan Tiara, gadis itu mengangguk polos. "Ada, Mbak. Tapi aku nggak tau dia naksir aku juga atau enggak" "Kok gitu? Bukannya orang kalo naksir pasti keliatan ya?" "Iya sih, gimana ya mbak aku jelasinnya. Bingung juga. Intinya dia kayak masih ragu gitu, ini sih cuma tebakanku aja, dia masih belum selesai sama masa lalunya" Tiara spontan memegang kedua bahu Tavisha, dia menggeleng tegas, menatap intens gadis polos di depannya. "Jauhin! Cowok yang belum selesai sama masa lalunya nggak akan pernah beres kalo menjalin hubungan baru. Demi kebaikan lo sendiri, jauhin." Tiara mampu menangkap keraguan Tavisha. Di dalam tatapannya, ada cerita yang masih belum diceritakan, Tiara tidak akan memaksa untuk hal itu. Kebingungan yang tak pernah diucapkan juga terlihat jelas dari sorot matanya yang gelap. Tavisha mencoba menemukan arah di antara garis-garus yang tak jelas. Mengejar bayang-bayang yang terus berubah dalam benaknya. Kegelisahan yang tak pernah terdengar. "Jatuh cinta kadang bikin kita nggak bisa berpikir jernih, Sha."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN