Sepertinya ada yang aneh dengan Daniel. Dia tidak tau kegelisahan yang menghantui dirinya akhir-akhir ini disebabkan oleh apa. Jika di ibaratkan, seperti hujan yang mendadak turun padahal langit tampak cerah dan matahari masih menunjukan eksistensinya.
Apa ini karena perasaannya pada Tiara yang semakin hari semakin tumbuh subur? Atau karena merasa rindu meski beberapa jam yang lalu mereka bertemu?
Ngomong-ngomong, hubungan Daniel dengan Tiara baik-baik saja, mereka sering bertemu di jam setelah pulang kantor, saling bertanya how's ur day, u did well today, atau sekedar bernostalgia tentang bagaimana mereka saat masih SMA.
"Almost every day we talk about it." kata Tiara pada suatu hari di pertemuan mereka yang entah ke berapa.
"Anehnya kita gak pernah bosen bahas itu, Ti. Kayak, seru aja. Even gue berharap bisa kembali ke masa lalu cuma buat feel those memories again."
"Gue juga sih, kehidupan orang dewasa nggak recommended, hahaha"
Dan mereka akan tertawa untuk hal-hal sederhana seperti ini.
Lantas apa yang membuat seorang Daniel Dirgantara gelisah?
Jika itu terkait pekerjaan, Daniel rasa bukan, sebab kondisi perusahaan juga sangat bagus. Meski memiliki kesibukan masing-masing dengan jam terbang tinggi, Daniel masih bisa memiliki quality time bersama Mommy dan Daddy di rumah. Atau pas weekend mereka akan pergi main golf bareng.
“Mending lo ke kamar mandi sekarang,” Antonio yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik tak nyaman Daniel akhirnya angkat bicara, “Muka lo kek orang nahan b***k tau nggak.”
Daniel yang semula menutup wajah menggunakan kedua telapak tangan, menoleh. Tatapan sayu ditambah wajah kusut membuat Antonio menghela napas.
“Emang iya? Gue lagi galau, tapi gue juga gak tau galau karena apa"
“Masalah kerjaan? Need some help?"
"Bukan,"
"Cerita aja, Niel. Mana tau gue bisa bantu cari solusi atas kegalauan lo"
Daniel menyangga kepala menggunakan salah satu tangan, dia menatap kosong ke arah layar komputer yang menampimpilkan worksheet. Sebenarnya, kerjaan Daniel masih banyak, tapi dia lagi nggak fokus, daripada salah Daniel memutuskan untuk break sejenak.
“Masalahnya gue nggak yakin lo akan paham sama apa yang lagi gue rasain"
"Ya makanya cerita dulu, b**o! Baru lo bisa nilai gue paham apa enggak. Daripada lo depresi sendirian terus mendadak lompat dari jendela? Kan gue yang repot ngurus asuransinya"
"Nggak lucu, Gus" sungut Daniel, meski dalam hati ia sedikit ingin tertawa.
“Oke, oke, jadi... apa yang bikin lo galau, Daniel?"
"Gue gak tau"
Wajah Antonio berubah masam dalam sekejap, laki-laki menghela napas berkali-kali sebelum akhirnya mulai mematikan layar komputer, otak dan tubuhnya udah lelah, stok kesabaran Antonio tidak sebanyak itu.
"Tega banget lo ninggalin gue disini sendiri pas lagi galau gini"
Gerakan tangan Antonio terhenti, sekali lagi, dengan tampang yang paling sabar, laki-laki itu menoleh ke arah anak dari atasannya itu
“Akhir-akhir ini gue jarang liat lo jalan sama anak kuliahan itu, mungkin sumber galau lo dari sana."
Tavisha!
"Apa iya?"
Feeling Daniel membenarkan tebakan Antonio, hubungannya dengan Tavisha memburuk akhir-akhir ini, sejak insiden terakhir kali dimana Tavisha mendadak datang ke rumah Daniel tanpa memberi tahu laki-laki itu terlebih dahulu.
Hal itu memancing kekesalan Daniel, sebab sejak dulu dia tidak pernah mengizinkan perempuan manapun datang dan berkenalan dengan orang tuanya jika Daniel tidak benar-benar yakin dan serius mencintai perempuan itu.
Tiara satu-satunya perempuan yang pernah Daniel bawa ke rumah dan kenalan dengan Mommy Ana.
Karena rasa kesal itu, Daniel mengusir Tavisha secara tidak langsung, mungkin hal itu membuat Tavisha tersinggung sebab dia juga tidak pernah mencoba menghubungi Daniel.
“Gue sih maklum. Meskipun gue gak pernah menjalin hubungan dengan perempuan, tapi sebagai laki-laki gue paham, mungkin lo harus meluangkan waktu buat ngobrol sama dia, memperbaiki hubungan kalo emang lagi ada masalah"
"Kenapa gue nggak kepikiran ke arah Tavisha," gumam Daniel.
"Takutnya, kalo berlarut-larut, keadaan kayak gini bikin kinerja lo memburuk"
"Bener, Gus. Sekarang gue tau sumber kegalauan ini, Tavisha. Gue udah melakukan kesalahan kemarin, dan gue baru menyadari hal itu sekarang."
Daniel memutar kursi menghadap ke arah Antonio.
"Hm, minta maaf gih"
"Gak bisa! Maksudnya, gak cukup. Gue harus melakukan sesuatu buat bujuk dia dan minta maaf, lo ada ide gak?"
“Biasanya cewek suka diajak liburan, staycation, adegan selanjutnya lo lanjutin sendiri--"
"Yang ada di otak lo cuma m***m doang ya?"
Antonio terbahak, dia memperbaiki posisi duduknya.
"Kirim banyak makanan, atau beliin dia tiket konser"
"Kayaknya lebih make sense liburan aja sih"
“Naah, kan! Emang iya! Dia seneng, lo enak."
"b*****t! Pergi lo."
"Padahal gue mau nawarin booking tiket pesawat sama hotel, biar gampang lo tinggal berangkat, malah di usir"
“Seriusan??"
"Yo'i, tapi gak gratis"
"Aelah perhitungan amat lo sama temen"
“Take it or leave it.”
“Oke, oke, kali ini gue udah buntu banget. Gue bakal ikutin saran lo, untuk tanggalnya gue info ke lo setelah dapet persetujuan Tavisha”
“Nah! Gitu dong!” Antonio tersenyum, “Balik duluan gue, see you!”
Setelah Antonio menghilang dibalik pintu, Daniel menyandarkan punggung pada kursi, menatap ke luar jendela seraya memutar bolpoin di antara sela jari-jarinya.
Laki-laki itu mulai menyadari, sifat brengseknya telah kembali.
Dia tidak berniat menyakiti siapapun, sungguh. Tapi, melepas Tavisha secara tiba-tiba pasti akan menyakiti hati gadis itu. Daniel bukan pria polos, dia tau Tavisha tertarik padanya. Demi menghargai perasaan Tavisha, dia tidak pergi begitu saja meskipun Tiara telah kembali.
Berbicara tentang Tiara, Daniel juga tidak ingin melukai perempuan itu untuk kesekian kalinya, cintanya, semuanya tumpah ruah ke Tiara. Mereka baru saja baikan setelah perpisahan panjang itu.
Tapi, biarlah. Daniel akan mengurus semuanya.
Pertama, dia akan mengajak Tavisha ke Bali untuk liburan sekaligus minta maaf atas perkataan yang kurang mengenakan tempo hari. Lalu dia akan mengatakan secara hati-hati bahwa hatinya telah dimiliki perempuan lain, yaitu Tiara.
Kedua, setelah urusannya dengan Tavisha selesai, Daniel akan memulai mendekati Tiara lagi, dia akan mengusahakan segala cara agar bisa mendapatkan perempuan itu seutuhnya, tak peduli halang rintang yang menghadang. Kali ini Daniel benar-benar akan berjuang.
Tetapi, akankah jalan Daniel semulus planning tersebut?
○○○○○
“Bali???”
Rasa terkejut Tavisha tidak bisa disembunyikan ketika Daniel mengutarakan keinginan untuk mengajaknya berlibur ke Bali. Telinganya tidak salah dengar, kan?
Seharian ini Tavisha amat sangat sibuk, selain sibuk menyelesaikan urusan administrasi di kampus setelah ujian selesai, dia harus segera pergi ke SummerX sebab Mama bilang kewalahan melayani pengunjung sendirian. Tidak sempat Tavisha memikirkan perihal Daniel, hingga SummerX menjelang tutup, mendadak Daniel muncul di sana.
Mama Shinta pamit pulang duluan, Daniel yang akan mengantar Tavisha ke rumah.
“Mas Daniel nggak lagi mabuk, ‘kan?” kedua mata Tavisha mengerjap, bagi Daniel Tavisha kadang seperti remaja, masih lugu dan lucu. Membuat Daniel di landa rasa bersalah karena pada kenyataannya, dialah yang jadi alasan gadis ini merasakan patah hati.
“Nggak lah, Sha. Gue serius, mau nggak ke Bali? Bentar lagi lo libur semester, ‘kan?”
“I-iya, sih..”
“Jadi??”
“Ya..yaudah, ayo deh.”
Seketika wajah Daniel tampak berseri-seri, lelah seharian langsung menghilang digantikan oleh senyum lebar. Tavisha yang disuguhi senyum semanis dan setampan itu, mau tak mau ikut menerbitkan senyum termanisnya juga.
Awalnya, Tavisha berniat move on, mengingat kembalinya Tiara sedikit banyak nyatanya membuat sikap Daniel berubah. Dia kehilangan rasa percaya diri untuk mendapatkan Daniel. Setelah beberapa hari dia dan Daniel tidak saling berkabar, kini laki-laki itu datang membawa kabar yang begitu menyenangkan. Tavisha sampai terkejut dibuatnya. Bali? Benar-benar tidak pernah terpikir oleh Tavisha, Daniel akan mengajaknya liburan bareng.
“Untung aja aku belum mengiyakan ajakan Clara ke Dieng, Mas”
“Oh, ada rencana ke sana?”
Tavisha mengangguk, “Iya, tapi Clara sama pacarnya, alias aku bakal jadi obat nyamuk.”
“Yaudah sama gue aja kalo gitu,”
“Oke, pertama kita mau kemana aja? Udah lama banget aku gak liburan ke sana,”
“Gampang, lo terima beres aja, biar gue yang siapkan semuanya”
“Eh, serius, Mas??”
Daniel mengangguk, laki-laki itu meraih tangan Tavisha, menggenggamnya lembut, ditambah tatapan mata laki-laki berkemeja kotak-kotak itu membuat jantung Tavisha berdetak lebih cepat. Dia masih belum bisa melupakan Daniel, apalagi merelakan laki-laki itu untuk perempuan lain, tak peduli jika itu Tiara sekalipun.
Keduanya masih mengobrol beberapa hal sampai pukul sebelas malam, Daniel menepati janjinya untuk mengantar Tavisha hingga ke rumah dengan aman.
○○○○○
Pagi-pagi sekali, Daniel sudah duduk manis di kursi kerjanya. Dia menunggu Antonio dengan wajah tak sabar. Jarum jam menunjukan pukul sembilan pagi.
Tok. Tok.
Itu pasti Antonio.
Daniel segera bangkit dari tempat duduknya bersamaan dengan munculnya Antonio.
“Gus!!”
“Anj! Santai, Niel. Lo bikin jantung gue yang cuma satu ini mau copot”
“Gus!! Tavisha setuju buat ke Bali!!” kata Daniel, bersemangat. Dia bahkan tak peduli akan tatapan tajam Antonio yang masih belum selesai dengan rasa terkejutnya.
“Terus??”
Laki-laki yang masih menggendong backpack itu menatap kesal ke arah Daniel, dia berjalan menuju meja, lantas meletakan backpack ke mejanya.
“Bantuin gue ngurus semuanya, please. Tiket pesawat, hotel, destinasi wisata, gue percaya sama lo, please..”
Kali ini, Antonio benar-benar melemparkan tatapan super tajam ke arah Daniel. Benar itu tugasnya, tapi untuk urusan kerja! Bukan untuk urusan pribadi atau pacaran! Sabar, ini masih pagi. Antonio tidak ingin mood paginya jadi rusak gara-gara bocah k*****t satu ini.
“Gue dapet apa kalo bantuin lo? Fyi, ini bukan urusan kantor.”
“Apa ajalah! Gue kasih. Tapi yang ngotak dikit ya, gaji gue sama punya lo nggak jauh beda”
“Gue lagi butuh iPad—”
“Deal!”
Sudut bibir Antonio berkedut, “Oke! Beres.” untuk selanjutnya laki-laki itu mengangkat jempol. Urusan pesan-pesan seperti ini sudah menjadi makanan sehari-harinya. Dia harus mengurus semua keperluan perjalanan dinas Ana. Jadi, bukan masalah besar. Antonio bahkan tau di jam-jam tertentu, dan di hari-hari tertentu, tiket pesawat lagi diskon.
Juga, dia tau hotel mana yang paling dekat dengan destinasi wisata paling populer, fasilitasnya mantap, apalagi untuk pra-honeymoon seperti ini.
Tak lupa Antonio juga menyediakan mobil untuk mereka jalan-jalan selama di bali.
“Oh ya, Niel. Lo udah izin ke Bu Ana? Minggu depan ada meeting komersial, dan lo! harus hadir.”
“Minggu depan, ya… jadi, gue cuma punya waktu tiga hari?”
Antonio mengangguk, jemarinya berhenti sejenak sebelum kembali memeriksa akomodasi perhotelan.
Setelah menimbang sejenak, Daniel mengangguk.
“Oke, tiga hari cukup. Lagian gue bawa anak orang lama-lama bisa-bisa pas pulang langsung di suruh nikah.”
“Lah? Ya gak apa-apa dong?”
Daniel hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. Pernikahan? Dia memang menginginkannya, tapi dengan siapa dia akan menikah, masih menjadi tanda tanya.
Tiara? Atau justru Tavisha?
Tok. Tok.
Obrolan mereka terhenti, Ana muncul dari balik pintu membawa dua cup kopi.
“Pagi, Bu..”
“Pagi,” Ana berjalan ke arah Daniel, meletakan kopi di mejanya, satu lagi untuk Antonio. “Ngopi dulu, biar pada semangat kerjanya”
“Ibu beli sendiri? Kenapa nggak nyuruh saya aja?”
“Cuma pesen kopi doang, Anton. Ntar deh, siangan tolong beliin saya makan ya. Lagi pengen Salmon sama Sushi deh.”
“Siap! Di toko yang biasa kan, Bu?”
“Iya, disitu aja” Ana melambai, “Balik kerja gih, kerjaan kalian pasti numpuk”
“Siap, Mom!”
“Siap, Bu!”
Antonio membiarkan kopinya tanpa tersentuh, dia menoleh kembali ke arah Daniel yang bersiap membuka komputer.
“Gue punya kenalan WO, Niel. Temen kuliah di Singapura dulu, tenang aja lo terima beres kayak biasa”
“Kejauhan! Gue belum mau nikah dalam waktu dekat”
Laki-laki yang beberapa tahun lebih tua dari Daniel itu mengangguk-angguk, tidak menodong rekan kerjanya lebih jauh. Antonio mengesampingkan dulu urusan akomodasi perhotelan, dia harus mengerjakan pekerjaannya lebih dulu, baru nanti mengurus keperluan Daniel.
“Jujur aja, dimana usia gue bertambah, gue juga makin takut buat nikah. Bukan takut sih, lebih ke merasa belum siap aja” sembari mata dan tangannya fokus ke pekerjaan, Antonio melanjutkan obrolan. “Tuntutan orang banyak banget sekarang”
“Apalagi buat penganut standar sosial media, carinya yang gak ngotak” Daniel pun tau, beberapa tahun belakangan, angka pernikahan juga menurun. Dia baca berita.
“Bukannya gimana-gimana, gue makin takut nggak bisa memenuhi standar pasangan gue, ujungnya gue di viralin dengan cerita sepihak. Bayangin aja serem gue di hujat se-indonesia.”
“Menurut lo nih, Gus. Persiapan finansial sama mental, mana yang lebih penting?”
“Both. Persiapan mental penting menurut gue, karena itu yang bakal menentukan sikap pas ada masalah. Juga, pas gue dan pasangan punya anak. Kita juga harus satu prinsip, berbeda emang indah, tapi kalo soal prinsip ada baiknya kita sama.”
“Kalo finansial?”
“Itu juga sama pentingnya. Gue nggak mau, pas setelah nikah pasangan gue grade nya turun kepentok sama kebutuhan. Bayangin aja, misal sebelum nikah dia bisa pake skincare jutaan, pas nikah sama gue, skincare yang dia pake cuma seratus ribuan. Kalo gue udah berani ambil alih tanggung jawab orang tuanya, ya gue harus siap menafkahi dia tanpa harus menurunkan grade-nya.” Antonio menyeruput sedikit kopi yang dibelikan oleh Ana.
“Cara lo berpikir, mungkin bagi sebagian orang terdengar ribet.”
“Gue nggak peduli,” gustomi meletakan kembali gelas kopinya, “Sama satu lagi, finansial juga menentukan kualitas pendidikan yang bisa gue berikan ke anak gue nanti. Makin kesini biaya pendidikan semakin mahal, Niel. Dan gue nggak bisa nuntut anak gue buat punya otak cemerlang, dapetin beasiswa, dan sebagainya. Jadi, udah tugas gue menyiapkan dana untuk pendidikannya”
“Sumpah, bahkan lo udah mikir jauh kedepan. Sementara gue belum kepikiran apa-apa, pernikahan, anak, pendidikan, masa depan.”
“Santai aja, Niel. Nggak perlu buru-buru, siapapun yang nanti jadi pasangan lo, pastikan kalian setara”
“Agak kejam, tapi faktanya emang harus kayak gitu”
Daniel terkekeh, obrolannya bersama Antonio bahkan lebih jauh dari yang ia pikirkan. Jadi, seperti ini rasanya ngobrol dengan orang yang pemikirannya jauh lebih matang dan jauh kedepan. Jika bersama Lucas, Daniel tidak mungkin membahas sampai sejauh ini.
Dia bersyukur di pertemukan dengan Antonio Gustomi. Rekan kerja sekaligus PA Mommy Ana.
“Lebih dari itu, lo udah punya calon pasangan belum, Gus?”
“Kambing lo!”
Pada akhirnya, mereka berdua sama-sama tertawa sebelum akhirnya fokus ke pekerjaan masing-masing.