Rendra tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Sejak tadi ia merasa tidak tenang. Inka baru saja dipindahkan ke ruang rawat biasa. Inka ngotot ingin istirahat dahulu, baru nanti sore pulang ke rumahnya.
Inka yang sadar akan raut wajah Rendra, langsung meletakkan ponselnya.
"Kamu pasti capek ya, Ren? Maaf banget, ya, aku jadi gangguin weekend kamu. Tapi aku seneng kamu di sini. Berkat kamu, aku jadi nggak ngerasa kesepian lagi," ujar Inka, suaranya lemah tapi penuh rasa terima kasih.
"Yang penting kamu cepat pulih," balas Rendra singkat.
Namun, pikirannya tidak ada di sana. Bayangan Ilona terus muncul di kepalanya. Ia teringat janjinya untuk mengajari wanita itu berenang hari ini, tapi ia malah meninggalkan Ilona tanpa penjelasan apapun pagi tadi.
"Ren," panggil Inka, menyadarkannya.
"Hmm?" Rendra menghela napas panjang. "Kamu sudah nggak papa, kan?"
Inka seolah tahu alasan kenapa Rendra berkata demikian. Pria itu sepertinya punya niat untuk meninggalkannya.
"Kalau nggak keberatan, temani aku sampai makan siangku datang, ya? Aku belum sanggup sendiri. Biar nanti, seandainya aku ngerasa sakit, ada orang yang bisa aku mintai tolong."
Rendra melirik jam tangannya. "Makan siangmu masih lama sampai. Nggak mau makan di luar aja?"
Inka menggeleng. "Aku masih mau make sure kalau aku udah nggak papa. Jadi, nanti aja sekalian tunggu makanan dari dapur."
Rendra mendengus. Ia benar-benar tidak tenang. Semakin lama, perasaannya semakin tidak enak.
"Akan aku pesankan makanan sekarang," putus Rendra.
"Tapi, Ren-"
"Hari ini aku ada janji sama Ilona, tapi aku tinggalin dia begitu saja," ujar Rendra. "Ilona sama sekali nggak mempermasalahkan itu. Bahkan sampai sekarang dia nggak ngehubungin aku. Tapi, justru karena itu aku jadi semakin merasa bersalah."
Inka kesal mendengar ucapan Rendra. Ternyata, Rendra buru-buru hanya untuk Ilona?
Namun, Inka tetap berusaha menyembunyikan kekesalannya.
"Nggak papa kan aku tinggal? Kamu bisa kabarin aku lagi kalau butuh sesuatu. Soal kepulanganmu nanti, aku akan minta Mama kirim sopir buat jemput kamu," lanjut Rendra.
Inka merasa kehabisan kata-kata, tidak bisa mengelak dari apa yang telah Rendra putuskan.
"Oke. Kamu hati-hati di jalan, ya! Dan salam buat Ilona."
Rendra tersenyum tipis. Setelah itu, ia berpamitan. Sembari berjalan menuju parkiran, ia memesan makanan untuk Inka. Tak lupa, ia juga mengirim pesan pada ibunya untuk mengirim sopir ke rumah sakit jam tiga sore nanti.
Baru saja Rendra masuk ke mobil, ponselnya berdering. Rendra mengernyit mendapati panggilan dari ibunya.
"Halo, Ma?"
"Ren, Ilona masuk rumah sakit? Sakitnya serius beneran?"
"Bukan Ilona, Ma. Inka yang sakit. Dia habis operasi gigi bungsu yang gagal tumbuh, tapi Rendra nggak bisa nemenin dia sampai pulang nanti," jelas Rendra.
Namun, ia merasa ada yang janggal.
"Jadi bukan Ilona, kan? Syukurlah. Mama udah cemas banget waktu kamu bilang rumah sakit. Soalnya tadi Bi Marni juga minta kontak Dokter Budi untuk Ilona," ujar Bu Mira.
"Apa?!" pekik Rendra.
"Kamu kenapa, sih? Bener, kan, Ilona-"
"Tunggu, Ma! Bi Marni minta kontak Dokter Budi?" potong Rendra.
"Iya. Kayaknya Ilona mengalami morning sickness yang lebih parah dari biasanya, makanya Bi Marni panik. Tapi Mama sudah-"
"Ma, maaf, tapi sudah dulu, ya! Rendra mau buru-buru pulang buat cek keadaan Ilona," potong Rendra.
"Loh, kamu nggak tahu kalau istri kamu sampai panggil dokter ke rumah? Dia nggak ngabarin kamu?"
"Enggak, Ma. Makanya ini Rendra mau langsung pulang," jawab Rendra.
"Ya udah, kamu hati-hati di jalan!"
Rendra melempar ponselnya ke kursi samping. Setelah itu, ia langsung menyalakan mesin mobil dan memacunya dengan kecepatan di atas rata-rata.
Perasaan Rendra sangat tidak menentu. Ada perasaan bersalah tersisip di hatinya. Saat di lampu merah, ia memukul kemudi dengan keras, bibirnya memekik emosi.
"Aaarrgh! Kenapa aku bisa nggak tahu apa-apa kalau dia sakit? Kenapa nggak ada yang kasih tahu aku?"
Rendra tidak tahu, amarah itu harusnya ia luapkan untuk siapa. Pikirannya begitu kacau, dan perasaan takut melingkupi hatinya.
"Tolong marahi aku kali ini, Ilona! Jangan diam saja! Pukul aku, marahi aku! Aku bersalah."
***
Saat mobilnya berbelok memasuki halaman rumah, matanya langsung menangkap mobil dokter keluarganya yang terparkir rapi di depan rumah. Ternyata benar, Bi Marni benar-benar menghubungi Dokter Budi.
Rendra segera turun dari mobil, berjalan cepat menuju pintu depan. Sebelum ia sempat mengetuk, Bi Marni sudah membukakan pintu dengan wajah cemas.
"Pak, syukurlah sudah pulang," ujar Bi Marni buru-buru.
"Dokter Budi masih di dalam? Ilona bagaimana?" Rendra bertanya dengan nada tegang.
"Mbak Ilona tadi pingsan, Pak. Saya langsung panggil dokter seperti yang Bu Mira sarankan."
Napas Rendra tercekat. "Ilona pingsan? Bagaimana bisa?"
"Tadi pagi Mbak Ilona nggak mau makan apa-apa, cuma bikin roti, tapi muntah lagi. Sepertinya beliau juga lemas sekali karena kurang istirahat. Tadi saat mau mengambil minum sendiri, gelasnya jatuh, terus kena pecahan kaca. Tangan beliau berdarah," jelas Bi Marni dengan suara bergetar.
Rendra tidak menunggu penjelasan lebih lanjut. Ia segera melangkah masuk ke kamar. Saat pintu kamar terbuka, ia melihat Ilona terbaring dengan tangan kanan terbalut perban. Wajahnya pucat, dengan kantong infus menggantung di samping tempat tidur. Dokter keluarga mereka sedang merapikan peralatan medisnya.
"Dok, gimana keadaannya?" tanya Rendra, suaranya penuh kekhawatiran.
Dokter itu menoleh, tersenyum tipis untuk menenangkan. "Keadaannya sudah lebih baik, Pak Rendra. Hanya kelelahan dan kurang asupan nutrisi. Morning sickness juga memperparah kondisinya. Saya beri infus untuk membantu memulihkan tenaganya. Luka di tangannya juga sudah saya bersihkan dan jahit sedikit, tidak terlalu parah."
Rendra mengangguk pelan, tetapi matanya tidak lepas dari Ilona. Ia duduk di sisi tempat tidur, meraih tangan Ilona yang tidak terluka.
"Kenapa kamu nggak bilang kalau merasa seburuk ini?" gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Ilona membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, tetapi ia mengenali suara itu. "Kamu sudah pulang?" tanyanya lemah.
"Iya, aku sudah di sini." Suara Rendra terdengar lembut, meski ada rasa bersalah yang menusuk di dalamnya. "Kenapa nggak bilang kamu sakit? Kamu juga nggak mau makan?"
Ilona tersenyum tipis. "Kamu lagi sibuk. Aku nggak mau ganggu. Ini bukan hal serius. Maaf kalau jadi bikin kamu buru-buru."
Mendengar jawaban itu, Rendra hanya bisa menghela napas panjang. Ia tidak tahu harus berkata apa. Namun, hatinya terasa seperti ditampar. Apakah selama ini ia memberi kesan bahwa Ilona tidak boleh mengganggunya?
Dokter menyelesaikan pekerjaannya dan berkemas untuk pergi. "Pastikan beliau banyak istirahat dan makan, Pak Rendra. Jangan lupa cek luka di tangannya agar tidak infeksi."
"Terima kasih, Dok," balas Rendra, mengantarkan dokter keluar sejenak sebelum kembali ke kamar Ilona.
"Pak Rendra," panggil Dokter Budi saat mereka sampai di teras.
"Untuk ke depannya, Bapak bisa lebih memantau kesehatan mental Bu Ilona. Sepertinya Beliau juga sedang stres, dan itulah yang memicu rasa mualnya dan memperparah morning sicknessnya. Kalau perlu, Bapak bisa minta bantuan dokter spesialis atau sering-sering ajak Bu Ilona deep talk, agar dia merasa punya teman dan mau membagikan apa yang ada di pikirannya," jelas Dokter Budi.
Rendra diam sejenak. Lagi-lagi, perasaan sesak itu muncul. Ia menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang telah terjadi.
"Tapi bayinya nggak papa kan, Dok?"
"Sementara ini, bayinya sehat. Tapi tekanan dan pola kebiasaan yang kurang baik juga bisa memberikan efek buruk bagi bayinya. Jadi, Bapak harus ekstra menjaga Bu Ilona. Apalagi di bulan-bulan awal seperti ini, kandungan biasanya memang masih lemah," jawab Dokter Budi.
Rendra mengangguk mengerti. "Terima kasih, Dok. Saya akan usahakan agar kejadian seperti hari ini tidak akan terulang lagi."
"Baik, Pak. Kalau begitu, saya izin pamit," pamit Dokter Budi.
Usai mengantar Dokter Budi, Rendra kembali ke kamarnya. Ia memperlambat langkahnya saat melihat Ilona sudah kembali memejamkan mata. Napasnya tampak teratur. Sepertinya wanita itu benar-benar lemah sehingga ia mudah tidur lelap.
Di sisi tempat tidur, Rendra menatap Ilona yang kembali memejamkan matanya. Ia mengulurkan tangan, menyentuh pipi wanita itu dengan lembut.
"Maafin aku, Na," bisiknya, meski ia tahu Ilona mungkin tidak mendengarnya.
Hari ini, ia berjanji dalam hati untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Ia tidak akan membiarkan Ilona menyimpan sendiri lagi beban pikirannya.
"Kamu bisa ceritakan apapun padaku. Kenapa harus selalu diam? Aku juga ingin tahu, apa saja yang terjadi padamu. Aku juga ingin tahu semua yang kamu rasakan, terutama saat kamu merasa sakit atau membutuhkanku."
Rendra tidak bisa menyalahkan Ilona. Ia hanya tidak tahu kenapa selama ini Ilona sama sekali tidak mau melibatkannya dalam hal apapun dalam hidupnya.
Bukankah itu artinya ada yang salah dengan hubungan mereka?