01 - Pengajuan Cerai
Suasana tempat peristirahatan terakhir itu mulai sepi setelah satu per satu rombongan pergi. Hanya tersisa beberapa anggota keluarga inti saja yang tampak meratapi kepergian seseorang yang kini telah berada di bawah gundukan tanah itu. Tiga di antaranya adalah perempuan, dan dua yang lain laki-laki.
Ilona Dewi Larasati. Dia adalah salah satu dari tiga perempuan yang masih tampak berdiri di dekat gundukan tanah basah itu. Ia tertunduk lesu, dengan beberapa tetes air mata di pipinya. Ia baru saja merasa kehilangan salah satu orang yang paling baik di hidupnya.
Tak hanya duka atas kehilangan ayah mertuanya, tetapi, Ilona juga memikirkan nasibnya ke depannya. Kepergian Papa Rahman membuat Ilona semakin yakin dengan langkah yang akan ia ambil nantinya. Ia memegangi perut datarnya. Dalam hati, meminta maaf pada makhluk mungil di dalam sana karena tak bisa lagi mempertahankan keutuhan keluarga mereka di masa mendatang.
“Papa yang menjadi alasan atas pernikahanku dan Rendra sekarang sudah tidak ada. Tidak ada lagi yang membantuku untuk mempertahankan pernikahan ini. Apakah ini sebuah pertanda jika hubunganku dengan Rendra memang sebaiknya di akhiri sasmpai di sini?” batin wanita itu pilu.
“Maafkan Mama, Nak. Saat kamu lahir nanti, kamu tidak akan bisa merasakan kasih sayang yang utuh. Tapi Mama janji, Mama nggak akan biarin kamu merasakan kekurangan kasih sayang. Mama akan berusaha keras untuk menutupi lubang itu, sehingga kamu bisa tetap tumbuh dengan baik dan selalu bahagia.”
***
Dikarenakan masih dalam keadaan berduka, Ilona dan Rendra - suaminya, memutuskan untuk menemani ibunda Rendra di rumah. Mereka berkumpul di ruang tamu, dengan Mama Ayu berada di dalam pelukan Rendra.
“Papa kamu udah nggak ada, Ren. Sekarang Mama sendiri. Mama nggak yakin Mama bisa jalanin ini semua tanpa papa kamu,” ucap Mama Ayu.
“Ma, jangan bicara kayak gitu, dong! Lagian rumah Rendra sama Ilona juga nggak jauh dari sini. Kami pasti akan sering jengukin Mama,” balas Rendra.
“Anita juga bakal nemenin Mama buat beberapa waktu, Ma. Anita bakal nginep di sini sampai Mama tenang. Saya sudah kasih izin ke Anita,” sambung Chandra, kakak ipar Rendra.
Tak berselang lama, datang seorang gadis bergabung dengan mereka. Ia membawa lima cangkir the hangat dan menyajikannya di atas meja.
“Tante, Kak, Ren, Ilona, diminum dulu tehnya mumpung masih hangat!” ucap gadis itu.
Rendra mengambil salah satu cangkir dan menyodorkannya pada sang ibu. “Mama belum kemasukan apa-apa dari pagi. Seenggaknya minum dulu, Ma!”
“Makasih ya, Inka. Kamu selalu ada buat keluarga kami, khususnya Mama. Kami utang budi banget sama kamu.” Samar-samar, Ilona bisa mendengar ucapan kakak iparnya pada gadis bernama Inka itu.
“Nggak perlu berterima kasih, Kak. Lagian dari dulu aku nggak pernah anggap kalian orang lain. Kalian juga keluargaku, dan aku turut sedih dengan kepergian Om Rahman,” balas Inka.
Perasaan mual muncul tiba-tiba. Ilona memegangi perutnya. Rasanya, ada sesuatu yang ingin keluar dari dalam sana. “Ma, Kak, semuanya, aku izin ke kamar dulu, ya!”
Namun, semua orang sedang sibuk dengan duka mereka, sehingga tidak ada satu pun yang menanggapi ucapan Ilona. Merasa tidak kuat lagi menahan mual, Ilona pun memutuskan untuk pergi. Dan benar saja, saat ia tiba di wastafel kamarnya, ia langsung memuntahkan cairan bening beberapa kali.
Tubuhnya terasa lemas seketika, sehingga saat ia berjalan, ia harus sambil berpegangan pada barang-barang di sekitarnya.
Namun …
Pranggg!
Sebuah suara pecahan kaca tiba-tiba memenuhi seluruh ruangan. Ilona sendiri tidak sadar jika ia baru saja menjatuhkan sesuatu yang sangat berharga yang ada di atas meja. Itu adalah foto pernikahannya dengan Rendra. Dan bingkai kaca foto itu retak pasca terjatuh ke lantai.
“Bahkan alam seolah mempertegas bahwa hubunganku dengan Rendra sudah tidak bisa diselamatkan lagi.”
***
Tekad Ilona sudah bulat. Pada akhirnya, ia benar-benar pergi ke pengadilan untuk mengajukan gugatan cerai. Ia pergi tanpa bicara apapun pada Rendra. Lagi pula, ia yakin, tidak akan sulit bagi Rendra untuk menyetujui gugatan Ilona.
“Anda yakin ingin mengajukan gugatan ini? Saya lihat, pernikahan kalian baru berjalan sekitar satu tahun. Masih tergolong baru,” tanya perwakilan dari pengadilan yang mengurusi soal perceraian.
“Ya, Bu, tekad saya sudah bulat.”
“Lalu, Anda juga tidak ingin menggugat apapun soal harta gono-gini? Hal itu bisa Anda perjuangkan loh, selagi bukan Anda yang membuat permasalahan sehingga gugatan ini muncul.”
“Saya … sejak awal saya tidak membawa apa-apa. Semua harta yang ada di rumah kami adalah miliknya. Jadi, saya yang datang dengan tangan kosong ini juga ingin keluar tanpa membawa apapun.”
Ilona sengaja tidak mengajukan tuntutan harta gono-gini demi memperlancar perceraiannya. Ia tidak ingin terlalu lama stuck di titik ini. Apalagi, ia sedang dalam keadaan hamil. Ia tidak ingin berita kehamilannya akan mempersulit semuanya.
“Baik. Saya akan dalami pengajuan Anda terlebih dahulu. Apakah besok lusa Anda ada waktu? Kalau ada, mungkin kita bisa lakukan diskusi sesi berikutnya,” ucap petugas itu.
Namun, saat Ilona mulai merasa lega, keadaan seolah tidak berpihak padanya. Surat pengajuan yang ia serahkan pada pengadilan seketika berpindah tangan. Untuk melihat siapa yang melakukannya, Ilona pun mendongak.
“Rendra? Bagaimana bisa kamu tahu kalau aku ada di sini?” panik Ilona.
Rendra menatap Ilona tajam. Entah kenapa, rasanya begitu sakit hingga ia ingin melepaskan amarahnya. Rendra kecewa, karena Ilona memasuki tempat seperti ini tanpa persetujuannya.
“Pengajuan perceraian dibatalkan,” ucap Rendra, menatap petugas pengadilan itu dengan tatapan tegas.