17 - Keinginan Untuk Berubah

1123 Kata
Ilona masih terbaring di tempat tidur. Wajahnya tampak lebih segar, meski tubuhnya masih lemah. Rendra baru saja selesai mandi dan langsung menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia tidak tahu apa yang bisa membuat Ilona mau makan, tapi setidaknya ia ingin mencoba. "Pak Rendra mau dibuatkan apa untuk sarapan?" sapa Bi Marni yang baru muncul dari halaman belakang. "Saya bisa makan apa saja, Bi. Saya cuma mau bikin makanan dulu buat Ilona." "Oh ... Mbak Ilona masih tidur? Bagaimana keadaannya, Pak?" "Sudah tidak terlalu pucat. Tapi infusnya masih setengah. Dan kata Dokter Budi, dia masih harus istirahat total sampai infusnya habis," jawab Rendra. Bi Marni mengangguk. "Pak Rendra ke atas saja, temani Mbak Ilona! Biar saya yang buat makanan." "Nggak, Bi. Saya mau coba," tolak Rendra. Perasaan aneh yang sejak kemarin ia rasakan, membuat ia merasa perlu untuk melakukan sesuatu untuk menebusnya. Sambil berdiri di depan kulkas, ia memikirkan makanan yang ringan namun bergizi. Akhirnya, ia memutuskan untuk membuat bubur ayam sederhana. Tangannya cekatan memotong ayam, merebus kaldu, dan mencampur semua bahan. Sekitar tiga puluh menit kemudian, semangkuk bubur hangat dengan taburan daun bawang dan sedikit kecap manis siap dihidangkan. *** Saat masuk ke kamar, Rendra mendapati Ilona sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Wanita itu terlihat sedikit linglung, mungkin karena masih merasa lemah. "Sudah bangun?" tanya Rendra sambil mendekat, nada suaranya tetap tenang. Ilona menoleh perlahan, sedikit terkejut melihat Rendra membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih. "Kamu masak?" tanyanya pelan. "Ya. Aku buatkan bubur ayam. Kamu harus makan supaya cepat pulih," jawab Rendra, meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur. Ia kemudian mengambil kursi dan duduk di sebelah Ilona. Ilona ragu sejenak, lalu menjawab, "Terima kasih, tapi aku nggak terlalu lapar." Rendra menghela napas panjang, mengambil sendok, dan mengaduk bubur itu pelan. "Coba dulu sedikit! Kamu nggak boleh terus-terusan nggak makan. Nanti kandunganmu yang kena," ucapnya dengan nada tegas namun lembut. Ilona akhirnya mengangguk kecil. Dengan hati-hati, ia menerima sendok bubur yang disodorkan Rendra. Ia makan perlahan, dan meski awalnya sulit, akhirnya ia berhasil menghabiskan setengah porsi. "Kalau kamu butuh sesuatu, bilang ke aku!" ujar Rendra sambil membereskan nampan. Ilona hanya mengangguk, tanpa mengatakan apa-apa. Hubungan mereka terasa canggung, tapi perhatian Rendra tidak bisa disangkal. Ia membersihkan tangan Ilona dengan tisu basah dan mengecek perban di tangannya. "Sebentar, aku ambil kotak P3K," kata Rendra sebelum keluar kamar. Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan kotak P3K. Rendra duduk di sisi ranjang, membuka balutan perban di tangan Ilona. Ia melakukannya dengan hati-hati, memastikan tidak ada bagian yang terluka terbuka terlalu lebar. "Masih sakit?" tanyanya. "Sedikit," jawab Ilona singkat. Ilona menatap kosong tangannya yang sedang dirawat oleh Rendra. Sesekali ia meringis perih, tapi ia berusaha untuk menutupinya. "Kalau sakit, bilang! Biar aku bisa lebih hati-hati," pinta Rendra, dengan tatapan tertuju pada luka Ilona. Ilona diam. Ia seolah sudah terbiasa dengan hal itu - tetap diam, meski apapun yang ia rasakan. Rendra yang sempat mendengar ringisan kecil dari bibir Ilona pun segera mendongak. "Sakit, kan? Kenapa tidak bilang?" "Eng- enggak papa, kok. Lagian memang luka, wajar kalau sakit," balas Ilona gugup. Rendra menghela napas panjang, berusaha menahan emosinya. Ia kembali dengan aktivitasnya mengganti perban yang membungkus tangan Ilona. "Lain kali jangan ceroboh! Tuhan memberikan kita mulut supaya kita bisa minta tolong pada orang lain saat kita merasa perlu," kata Rendra. Ilona mengangguk. Namun, di mata Rendra, ia tidak bisa melihat raut sesal di wajah Ilona. "Aku serius, Ilona. Aku minta mulai sekarang kamu laporkan semua yang terjadi padamu! Aku nggak mau ada satu pun yang terlewat dari pemantauanku." Rendra terlalu gengsi mengatakan jika ia khawatir pada Ilona. "Tapi kenapa? Apa ada yang salah?" Rendra menggeleng. "Kamu sakit karena telat makan, jadi morning sicknessmu malah jadi semakin parah." "Maaf," cicit Ilona. Rendra menoleh cepat. "Apa nggak ada kata lain yang bisa kamu katakan?" "Ya?" Rendra mendengus sebal. "Terserah. Tapi, anak ini ... dia darah dagingku dan aku ayahnya. Jadi, boleh kan aku tahu semua tentang dia?" "Saat kamu sakit atau ada sesuatu yang buat kamu merasa tidak nyaman, dia juga akan merasakannya. Aku cuma nggak mau dia ... harus memendam semua yang ia rasakan sendirian." Wajah Ilona seketika berubah menjadi kaku. Ia merasa tersindir dengan kalimat itu. Namun, untuk menutupinya, Ilona segera mengangguk patuh seperti biasa. "Nanti sore aku panggil Dokter Budi lagi buat lepas infusmu," ujar Rendra. "Sampai saat itu, kamu jangan terlalu banyak gerak. Istirahat saja!" "Baik," jawab Ilona, suaranya nyaris berbisik. "Aku akan siapkan vitamin sama obat kamu. Jangan tidur dulu!" "Tapi, bukannya kamu harus segera ke kantor?" tanya Ilona pada Rendra. Rendra kembali berbalik dan menunjukkan raut wajah kesal. "Kamu pikir aku bisa kerja, kalau ninggalin kamu dalam keadaan seperti ini?" "Tapi kan-" "Ssstt ... fokus ke kesembuhan kamu saja, Ilona! Karena itu yang paling penting sekarang," tegas Rendra. Rendra pun kembali berbalik dan melangkah keluar kamar. Meski ia tidak menunjukkan banyak emosi, ada rasa lega di hatinya karena Ilona mulai menunjukkan tanda-tanda pulih. Tak hanya merawat luka dan membuatkan Ilona makanan. Rendra juga membantu Ilona meminum obat dan vitaminnya. Rendra baru tahu, ternyata Ilona punya sisi keras kepala juga. Wanita itu selalu menolak saat Rendra memerintahkannya menelan obatmya. Padahal, Rendra sudah bilang jika obat itu aman dikonsumsi ibu hami. Rendra harus berkali-kali membujuk Ilona, sampai akhirnya wanita itu mau meminum obat dan vitaminnya. *** Sore harinya, Dokter Budi datang tepat waktu. Ia memeriksa kondisi Ilona dengan saksama sebelum melepas kantong infus. "Keadaan Bu Ilona sudah lebih baik, tapi tetap harus istirahat total. Pola makan dan asupan nutrisinya juga perlu dijaga," pesan Dokter Budi kepada Rendra. "Baik, Dok. Saya akan pastikan dia makan dengan baik," balas Rendra. Setelah dokter pergi, Rendra kembali ke kamar Ilona. Ia membawa sepiring buah segar sebagai camilan sore. Ia meletakkannya di meja samping, kemudian duduk di kursi yang sama. "Kamu perlu apa lagi?" tanya Rendra. Ilona menggeleng pelan. "Kamu nggak perlu repot-repot. Aku masih bisa melakukan hal-hal kecil seperti itu, kok. Lagian di rumah ada Bi Marni juga. Harusnya kamu ke kantor aja tadi." Rendra menatapnya, ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan. "Aku nggak repot. Aku kan sudah bilang, kamu dan bayi itu adalah tanggung jawabku. Aku adalah orang pertama yang harus tahu apapun tentang kalian. Apa kamu mengerti?," ucapnya dingin, tapi ada kehangatan tersembunyi dalam nada suaranya. Ilona diam, tak tahu harus merespons apa. Ia hanya memandang Rendra sekilas sebelum kembali menutup matanya, mencoba untuk beristirahat lagi. Rendra menghela napas, lalu berdiri. Ia masih merasa ada yang salah dengan cara komunikasinya bersama Ilona. Mereka sudah lebih dari satu tahun menikah, tapi cara mereka bicara tampak seperti orang yang sangat asing. Meski ia merasa canggung, ia bertekad untuk terus menjaga Ilona sampai benar-benar pulih. Di dalam hatinya, ia tahu ini adalah saatnya untuk membuktikan bahwa ia peduli, meski dengan cara yang belum sempurna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN