Part 05: Pernikahan Kedua

1488 Kata
"Ha? Apa?!" Muliya menegak, berasa tersambar geledek yang tak main-main. Ibu dan Bapaknya saling pandang, raut penuh arti keduanya sama sekali tidak bisa diartikan oleh Muliya. "Iya, Ibu dan Bapak pengen kamu nikah sama Adimas." Muliya bengong, beneran bengong yang bukan kiasan. Bahkan kalau bisa gadis itu akan terjun ke jurang biar tau ini adalah mimpi atau bukan. "Ini memang pasti mengejutkan buat kamu--" "Banget!" Potong Muliya tidak sabaran. Jamiatun menghela napas panjang, "kamu pasti juga tau kan kalau Farel dan Gea masih kecil--" "Trus kenapa?!" Jamiatun yang kalimatnya terpotong lagi hanya bisa mendesah pelan, "kamu bisa jadi Ibu untuk keponakanmu, sekaligus jagain Gea--" "Tanpa nikah pun aku juga bisa jagain mereka!!" Sela Muliya masih tidak terima. "Tapi pasti bakal beda Lia!" Suyanto yang sejak tadi diam angkat suara. "Saat nanti kamu menikah dengan orang lain, pasti perhatian kamu akan berkurang ke keponakanmu." "Ini Ibu dan Bapak sadar gak sih kalo kalian egois banget?" Jamiatun dan Suyanto tersentak, sama-sama mematung diam. "Kalian suruh aku nikah sama Kakak Ipar ku sendiri cuma buat jagain anaknya?" Muliya tersenyum miring. "Kalian kira aku apaan? Barang? Jualan? Atau dagangan yang sembarangan diobral?" Nada getir dan mirisnya tidak bisa ditutupi. Jamiatun menutup wajahnya, sudah ingin meledakkan tangis. "Memang Ibu sadar kalau Ibu egois, Ibu gak pengen Farel dan Gea gak bisa ngerasain kasih sayang seorang Ibu. Dan kalau menikah dengan orang lain belum tentu perempuan itu bisa menyayangi Farel dan Gea setulus kamu." Jelas Jamiatun sudah terisak-isak. Muliya mendenguskan hidung cepat, memalingkan muka enggan berkomentar. "Adimas itu lelaki yang baik, bertanggung jawab, dan soleh. Dia bukan sembarangan lelaki." Muliya semakin merengut masam, mau nikah apa mau beli barang sih ini. Promosinya enteng banget. "Ah terserah kalian lah, aku capek mau tidur." Muliya sudah bodo amat, gadis ini selain suka seleboran nyatanya memang tidak terlalu membawa perasaan dalam segala hal. Marah ya marah, udah gitu doang gak pake teriak-teriak sambil banting barang kayak scene sinetron. Sedih? Galau? Muliya nyatanya tidak terlalu mendalami perasaan itu, terakhir kali dirinya sedih yha cuma saat kematian Kakaknya. Muliya memang sesimpel itu, hidupnya terlalu santai hampir tanpa beban. "Kamu setuju, Lia?!!" Pekik Ibunya syok. Muliya menoleh sesaat, mengangkat sebelah alisnya tenang. "Aku mah nurut aja, tapi gak tau Mas Adimasnya mau apa nggak." Balas Muliya tak peduli banyak kemudian melenggang pergi ke kamarnya. Setelah sampai di kamarnya Muliya bisa mendengar pekikan Jamiatun yang sedang selebrasi seperti habis menang lotre. Gadis berkemeja merah marun itu mendengus, memejamkan mata sambil mendongak. "Nikah sama Mas Adimas?" Muliya meletakkan lengan kanannya keatas dahi, semakin mengeratkan matanya. "Haaaah .... kayak gimana coba ntar jadinya?" Gumam gadis itu sudah putus asa. *** "Muliya cepet keluar, ada Adimas di bawah!!" Suara gedoran pintu ditambah teriakan cempreng Ibunya menjadi alarm pagi untuk Muliya. Dengan tampang ogah-ogahan gadis itu berjalan kearah pintu, memutar handle. "Hemm .... apasih Bu?" Gumam Muliya dengan nyawa yang belum terkumpul seutuhnya. "Heh kamu ini anak perawan, kok baru bangun tidur jam segini nanti kalau bla bla bla...." saking banyaknya cerocosan Ibunya Muliya sampai tidak mendengarkan sedikitpun. "Cepet cuci muka, trus ganti baju! Adimas udah nungguin dari tadi!" "Kenapa sih tuh orang pake kesini pagi-pagi? Ngantuk nih Buk!" Dengus Muliya sambil mengucek matanya. Jamiatun melotot, mendorong tubuh ramping Muliya masuk ke dalam kamar. "Sudah jangan banyak omong! Cepat siap-siap, gak pake lama!!" Setelah itu Jamiatun sudah berlalu pergi entah kemana. Muliya yang melihat tubuh gempal Ibunya yang berjalan tergopoh-gopoh pergi pun mendengus kesal, memonyong-monyongkan bibirnya bermaksud mengikuti logat Ibunya. "Jangyan banyuak ngomyong .... HILIH!" gumamnya meniru kalimat Ibunya dengan wajah tanpa dosa. Muliya selanjutnya sudah pergi ke kamar mandi, mencuci wajah dan sikat gigi. Tidak lupa gadis itu juga berganti baju sebelum turun menemui Kakak Iparnya. "Lah itu Muliya! Yaudah Ibu tinggal ke dapur dulu yha Nak Adimas." Jamiatun berdiri dari duduknya saat melihat Muliya yang baru datang. "Iya Buk." Balas Adimas sopan seperti biasa. Dengan langkah gontai Muliya berjalan mendekati Adimas, sesekali gadis itu juga masih menguap karna ngantuk. "Ada apasih Mas pagi-pagi kesini, masih ngantuk nih aku!" Decak Muliya begitu duduk berhadapan dengan Adimas. Adimas menggeleng kecil, "sekarang udah jam 10 pagi Lia." Muliya mengernyit samar, nampak tak kaget sedikitpun. "Trus kenapa? Hari minggu tuh aku biasanya bangun jam 12." Innalilahi ... Adimas sampai salah nyebut saking kaget nya. "Sudah-sudah gak usah dibahas lagi, intinya Mas kesini mau nga-pa-in?" "Kamu sudah tau soal perjodohan kita?" Tanya Adimas ragu. Muliya langsung terdiam, jadi menurunkan tangan menatap lurus Adimas. "Hm, udah kok." "Kamu gak masalah? Kenapa gak protes?" "Mas mau aku protes?" Tanya Muliya menyimpulkan. "Eh, y-ya nggak gitu." "Lha trus?" Muliya mengernyit heran. Adimas melenguh sesaat, "kamu kan masih muda, masa depan kamu masih panjang. Kenapa kamu terima-terima saja waktu dijodohkan dengan aku?" Muliya mengedip beberapa kali, menarik napas dalam. "Aku bukannya terima-terima aja Mas, masalahnya meskipun aku nolak juga pasti bakal dipaksa sama Ibu." Adimas terdiam, sedikit menurunkan bahu. "Kalau kamu memang keberatan aku bisa bantu buat gagalim perjodohan ini." Muliya merapatkan bibirnya, mata indahnya menyorot serius ke arah Adimas. "Gini yha Mas," Muliya menjeda sejenak ucapannya, membasahi bibir bawah. "Aku gak terlalu permasalahin soal ginian, tapi kalau memang Mas Adimas sendiri yang keberatan aku gak masalah buat nolak perjodohan ini." Ucapnya tenang. Adimas terkesiap, Muliya memang gadis aneh. Tapi apakah saking anehnya ia sampai bisa menerima pernikahan dengan sesantai ini? Adimas rasa ada yang tidak beres dengan otak gadis di depannya ini. "Ini pernikahan Lia, kamu seharusnya bisa lebih serius!" "Mas, aku akan dijodohkan dengan lelaki baik-baik trus bisa sekalian menjaga keponakanku. Kenapa nggak?" Muliya menggedikkan bahunya enteng. Adimas mendesah, sudah tidak paham dengan jalan pikiran gadis ini. "Apakah kamu serius? Aku tidak mau kamu main-main dalam pernikahan ini." Muliya meneguk ludah, jadi memalingkan wajah tanpa sadar. "Hm, yang jelas aku gak akan bakal ngajuin perceraian selama Mas gak KDRT. Apakah itu cukup?" Tatapan Muliya kembali terarah pada mantan iparnya ini. Adimas terdiam sejenak, keduanya saling berpandangan dengan sorot mata yang tidak bisa diartikan. Sampai kemudian Adimas memejamkan mata, tidak lama menyorot serius Muliya. "Bismillahirrahmanirrahim aku bakal bawa keluarga aku kesini besok." Muliya tersentak, meskipun sudah membicarakan pernikahan sejak tadi namun nyatanya ia bisa merasakan debaran aneh saat Adimas mengatakan niatnya tadi. Muliya tersenyum ringan, membalas sorot Adimas tak kalah seriusnya. "Hm, besok aku bakal siap-siap." *** "Besok aku bakal lamar Muliya." Begitu kalimat Adimas menguar, Sofi dan Bram langsung tersedak-sedak tak karuan. Sedangkan Farel malah tersenyum lebar, sudah tidak sabar mendapat Mamah baru. "Apa? Kamu serius Mas?!" Pekik Sofi tidak percaya. Adimas mengangguk, menyeruput sedikit kopi di angkir yang dipegangnya. "Hm, aku serius." "Alhamdulillah!!!" Sofi meraup wajahnya sumringah. Disambut Bram dengan suka cita. Adimas tidak berekspresi, menatap nanar cangkir yang ada di depannya dengan kosong. Semoga pilihanku benar ya Allah. *** "Lia cepat keluar, keluarga Nak Adimas sudah di luar!!!" Muliya yang baru selesai memakai dres menoleh kearah pintu, mengerjap pelan. Jantung gadis itu entah kenapa jadi berdebar tak karuan, keringatnya pun sudah bercucuran hebat. "Hm, aku sebentar lagi selesai Bu!" Sahutnya lantang. "Yaudah Ibu sambut keluarga Adimas dulu, kamu cepet jangan lama-lama!!" "Ya-ya!" Balas muliya malas membuat suara decakan Jamiatun terdengar dari luar. Gadis itu duduk di atas kasur, bertopang dagu dengan bibir memanyun. Sebenarnya .... ini beneran acara lamaran atau gimana sih? Bahkan tidak ada rasa cinta sedikitpun yang hadir diantara ia dan Kakak Iparnya. "Ntar kalo udah nikah bedanya apa coba?" Heran Muliya mendecak pelan, perlahan gadis itu berdiri dari duduknya. Memastikan penampilannya untuk terakhir kali sebelum benar-benar melangkah keluar. Suara obrolan dan gelak tawa terdengar dari lantai satu, membuat gadis itu makin gemetaran. Ayolah ... ia adalah gadis normal pada umumnya, jelas deg-degan lah saat acara lamaran. Dengan dres putih gading yang indah bercorak bunga, ia turun dengan langkah percaya diri. Dandanan nya cukup simple tapi sangat elegan. Semua orang mengarahkan pandangan kepadanya, Jamiatun tersenyum lebar. Buru-buru mendekat dan memapahnya, membuat Muliya menggeleng geli. Berasa kayak orang pincang dirinya. "Ya ampun, kamu cantik banget Lia!" Pekik Sofi takjub, keseharian Muliya yang hanya mengenakan celana jeans dan kemeja kedodoran membuat wajah elok nya tidak nampak jelas. Muliya hanya tersenyum simpul, mengambil posisi duduk di sebelah Bapaknya. "Ekhem! Jadi pasti kalian sudah tau kan alasan kami sekeluarga bertandang ke sini, kami ingin melamar Muliya untuk anak kami Adimas!" Suara tegas Bram mengawali sesi lamaran kali ini. Suyanto tersenyum berwibawa menanggapi, "kami sangat menerima dengan tangan terbuka untuk lamaran ini, Pak Bram." Balasnya. Selagi ke dua orang tua sedang sibuk berbicara, Adimas diam-diam memperhatikan Muliya. Sangat terkejut karena ternyata Muliya bisa tampil se-classy ini. Sekarang ia paham kenapa banyak lelaki yang gencar mendekatinya. "Mas! Ayo!" Sengggolan di lengan oleh Mamahnya berhasil membuyarkan lamunannya. Adimas mengerjap sesaat, duduk tegak memasang wajah serius. "Saya berniat meminang Muliya untuk menjadi istri saya, apakah Muliya menerimanya?" Tanya Adimas menghadap lurus Muliya. Muliya terdiam sejenak, membuat suasana sempat hening mencekam. Sampai akhirnya ia menarik napas, mengangguk pelan tanda setuju, seketika juga semua orang mengucap syukur serentak. Adimas menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. 'Tak pernah kusangka kalau Adik Iparku akan jadi istri kedua ku.'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN