Part 04: Menikah Lagi?

1744 Kata
"Falel bakal ketemu dedek, ya?!" Farel yang berada di pangkuan Muliya melompat girang, ekspresi senangnya simple seperti bocah pada umumnya. "Hm, nanti Farel gak boleh nakal ya." Peringat Muliya menoel sekilas hidung Farel. Farel mengangguk-angguk antusias, membuat tatanan rambutnya berantakan karna tergoyang-goyang. "Falel janji bakal jadi Kakak yang baik!" Ucapnya sungguh-sungguh dengan mata berbinar, selanjutnya bocah itu sudah kembali asik memakan makanan yang dipesan di cafe tadi. "Lia." Muliya melirik Adimas, "iya Mas?" "Tadi yang di cafe siapa?" Tanya Adimas pelan, terselip nada ragu di dalamnya. Muliya tersentak, mencoba memahami maksud ucapan Kakak Iparnya ini. "Oh, Boy." Adimas membelokkan stir begitu berada di persimpangan. "Kayaknya dia gak suka gitu kamu jalan sama aku." Adimas menipiskan bibir sesaat. "Dia pacar kamu, ya?" "HA?" Muliya melongo kaget, hanya sedetik karna setelahnya suara tawanya meledak. "Pacar? Aku? Ya nggak lah!" Bantah Muliya langsung. "Itu ... dia temen aku, udah punya pacar juga kok. Cantik." Adimas tidak peduli dengan bentukan pacar Boy. "Tapi kok kayaknya gak suka gitu sama aku?" "Dia itu kan dekat banget sama aku Mas, jadi maklum kalo agak posesif." Sahut Muliya santai, selanjutnya sudah asik bercanda ria dengan Farel. Adimas di posisinya diam-diam mengerjap pelan, sebagai pria ia tentu tahu. Kalau Boy menyukai Muliya. Namun ini bukan hal yang bisa dirinya ikut campuri. 15 menit berlalu, mobil yang dikemudikan oleh Adimas sudah berhenti di depan pekarangan rumah apik. Farel langsung melompat-lompat kegirangan, sudah tidak sabar untuk melihat Adik bayinya. "Assalamualaikum!" "Waalaikumsalam, loh Farel sama Adimas kok kesini gak ngomong-ngomong?!" Kaget Jamiatun, mengambil Farel dari gendongan Muliya. "Iya Bu, tadi gak sengaja ketemu jadi sekalian nganter Muliya." Jelas Adimas sopan setelah menyalimi tangan Ibu mertua nya. "Kalian bertiga habis dari mana emang? Janjian?" Tanya Jamiatun sok-sokan tak tau, padahal yang memberi tahu alamat cafe tempat Muliya kerja kelompok ke Sofi adalah dirinya. "Nggak kok Bu, tadi ketemu di cafe pas aku lagi kerja kelompok." Sahut Muliya menjelaskan. Jamiatun mengangguk. "Nenek Falel mau lihat dedek emesh!" Pekik Farel meronta-ronta. Adimas yang ingin mengambil alih tubuh Farel karna tidak enak dengan mertua nya harus terhenti karna Jamiatun sudah dengan senang hati membawa Farel ke kamar Gea. "Ayo Mas, Putri Mas Adi lucu banget loh." Muliya entah sadar atau tidak menggandeng tangan Adimas, menyeretnya ke kamar Gea. "Pipi nya gembul banget Mas, kayak bakpao! Hahaha!" Adimas hanya diam menurut, ada gelenyar aneh dan asing saat merasakan telapak tangan Muliya yang melekat di lengannya. "Maaf yha selama ini aku ngerepotin kamu dan Ibu buat jagain Gea." Ucap Adimas pelan, sedikit menunduk malu. Muliya menghentikan langkahnya, membalik badan menghadap Adimas sepenuhnya. "Mas ngomong apasih!" Gadis itu mendelik tak suka. "Gea itu keponakan aku, gak pernah ada kata ngerepotin di antara aku sama Gea. Mulai sekarang Mas gak boleh ngomong gitu lagi!" Mendapat peringatan galak dari gadis di depannya membuat Adimas hanya bisa diam tidak berani membantah. "Eh!" Muliya terkesiap kaget saat baru menyadari kalau sejak tadi ia memegang tangan Adimas, dengan cepat ia melepaskannya dan memandang canggung Kakak Iparnya ini. "A-anu ... aku mau ke atas dulu, Mas ke kamar Gea sendiri yha." Muliya galagapan, berjalan tergopoh-gopoh dengan panik. Naasnya gadis itu malah terjengkang saat akan naik tangga membuat Adimas membungkam mulutnya agar tidak menyemburkan tawa. "K-kamu gak papa, Lia?" Muliya mengelus b****g nya, menyengir bodoh seperti biasa. "Ini nih tangganya licin, dasar!" Gerutu gadis itu menyalahkan tangga, bodohnya ia sambil menendang tangga bermaksud untuk balas dendam. Yang terjadi setelahnya Muliya sudah melompat-lompat karna merasakan ngilu di kakinya. Akhirnya karena sudah merasa tidak punya muka lagi, Muliya langsung berlari ngacir meninggalkan Adimas yang melongo speechless di tempatnya. Lelaki berkemeja biru laut itu mendecak pelan, "memang dasar gadis aneh." *** Adimas memasuki rumahnya dengan senyuman yang tersungging apik, setelah melihat keadaan Putri bungsunya suasana hati Ayah dua anak ini seketika membuncah bahagia. "Pah, Falel mau ke kamal dulu ya!" Adimas tersenyum, mengacak sekilas rambut Farel sebelum membiarkan bocah itu berlari ke kamarnya. "Mas!" Adimas menoleh, sedikit mengernyit heran saat melihat Mamah dan Papah nya sudah duduk tenang seperti tengah menunggu dirinya. Adimas melangkah mendekat, mencium tangan orang tuannya bergantian. "Kenapa, Mah?" Sofi tersenyum simpul, menarik lengan anaknya agar duduk di sebelahnya. Adimas yang tidak tau apapun cuma mengangkat alis bingung, kenapa wajah orang tuannya tegang sekali? "Kamu habis dari mana?" Tanya Sofi entah untuk basa-basa atau apa. Adimas menautkan ke dua tangannya yang bertumpu di atas dengkul. Menatap datar Sofi. "Tadi habis ke cafe sama Farel, trus ketemu Muliya yaudah sekalian lihat Gea." "Gimana keadaan Gea?" Tanya Bram kalem. Adimas tersenyum tipis, mengangguk sekali. "Alhamdulillah baik, Pah." "Sayang yha Gea tidak bisa tinggal disini, Mamah kan gak mungkin ngurus dua anak sekaligus." Gumam Sofi mendesah pelan. Adimas menoleh cepat, "tinggal dimanapun juga sama kok Mah, kan kita bisa sering-sering jengukin kalau kangen." Timpal Adimas. "Tapi mau sampai kapan, Mas?" Sela Sofi cepat, nampak kurang suka. "Apa kamu mau titipin Gea ke rumah mertuamu sampai Gea dewasa?" Adimas tersentak, jadi terdiam merenung. "Gimana kalau kamu sewa baby sitter buat jagain Gea?" "Nggak!" Adimas menyahut tegas, "aku gak bakal setuju kalau Gea sampai diasuh orang lain!" "Emang kamu gak malu titipin anak kamu ke rumah mertuamu terus? Apalagi yang sering jagain Muliya, kasihan gadis muda itu tidak bisa main dengan teman seumurannya." Adimas membisu kaku saat lontaran kalimat Bram menguar, perasaan di dadanya saling berkecamuk tidak bisa digambarkan. "Tapi Muliya tidak merasa keberatan.." "Disini bukan itu topik permasalahannya Mas!" Sofi menghela napas panjang, nampak frustasi dan lelah. "Lia jelas tidak mungkin keberatan, tapi apa kamu tidak mikirin nasibnya? Dia gadis muda, tapi kehidupannya terkekang." Adimas meneguk ludahnya berat. "Muliya tidak ada tanggung jawab untuk mengasuh Gea, seharusnya gadis itu bisa menjalani kehidupan normal seperti gadis lain pada umumnya." Adimas makin tersudut, sudah tidak bisa melontarkan kata-kata apapun. Nyatanya ia baru sadar, kalau peran Muliya selama ini sangat besar. "T-trus aku harus gimana Mah?" Tanya Adimas sudah menemui jalan buntu. Sofi dan Bram saling lirik, seperti tengah lempar kode rahasia. "Ekhem! Untuk itu Mamah dan Papah sudah memikirkannya." Adimas menyorot serius Mamahnya, membuat Sofi dilanda rasa ragu yang luar biasa. "Kamu nikahi Muliya." "APA MAH?!" Adimas berdiri dari duduknya, membuat Sofi dan Bram ikut berdiri serentak. "Jangan main-main dengan pernikahan!" Tegas Adimas hampir memekik. "Apanya yang main-main? Muliya itu gadis yang baik, cinta bisa tumbuh seiring waktu." "Astagfirullah..." Adimas menutup wajahnya dengan guratan frustasi yang tercetak jelas, "mana bisa aku nikah cuma karna biar Muliya ngurus Gea? Itu sangat tidak etis, apalagi Muliya adalah Adik Ipar aku sendiri, Adik kandung Ratna ... istriku Mah." Nada bergetar Adimas cukup menyiratkan rasa getir di hatinya. "Ini bukan cuma soal Gea, tapi juga Farel Mas!" Tegas Sofi lantang. "Apa kamu mau anakmu besar tanpa seorang Ibu? Kamu mau saat mereka besar nanti diejek teman-temannya tidak punya Ibu?" Pepet Sofi tegas. Adimas membuang muka, setetes air mata jatuh dari pucuk matanya. "Aku mau ke kamar dulu." Adimas langsung beranjak pergi setelah mengatakannya, membuat Sofi dan Bram saling pandang dengan kecewa. Adimas mengunci pintu setelah berada di dalam kamar, langsung terjatuh lemas. Bahu dan tubuhnya bergetar hebat, sekuat-kuatnya lelaki pasti memiliki titik kelemahan sendiri. Dan itu juga sama dengan Adimas. Pernikahan. Rasanya mengingat kata itu saja seperti ada ribuan pisau yang menyayat hatinya, teringat kenangan dulu saat dirinya awal-awal meminang Ratna. "Ratna kamu siap-siap ya, besok aku bakal ngelamar kamu ke rumahmu." Adimas menangkupkan wajah diantara lekukan kakinya, tangisnya makin pecah. "Kita bakal punya bayi?! Alhamdulillah ya Allah!!" Adimas memeluk tubuh istrinya penuh cinta. Adimas berdiri, berjalan tertatih-tatih kearah nakas. Membuka album foto pernikahannya dengan Ratna. Dielusnya foto kenangan lama itu dengan sayang, seulas senyum getir terbit di bibirnya. "Mas anak kita cowok, pasti nanti ganteng mirip Mas!" Adimas makin tersenyum pilu, mengepalkan tangannya seolah sedang mencari penyaluran rasa sakit di dadanya. Apalagi saat ingatan terakhir kali yang didapatnya di rumah sakit berputar bak kaset rusak. "Dengan berat hati kami menyatakan kalau pasien meninggal dunia karena mengalami pendarahan parah." PRANG!! Adimas melempar album foto di tangannya ke arah guci sampai terjatuh pecah, rasa sakit itu sangat nyata. Bahkan Adimas merasa kalau semakin lama bukannya sembuh tapi malah semakin menyiksa. "Aku bener-bener gak bisa nanggung ini sendirian, Na." Adimas menatap kosong kearah figura pernikahannya yang terpajang cantik di tembok kamarnya. "Kenapa kamu ninggalin aku? Kenapa kamu dipisahin dari aku? Sebenarnya apa salahku ya Allah ... ?" Adimas membiarkan bulir-bulir air matanya terjatuh begitu saja. Tok Tok Tok! Adimas tersentak, buru-buru mengelap wajahnya sendiri dan berjalan kearah pintu kamarnya. Sosok mungil Farel terlihat begitu pintu berbahan kayu jati itu terbuka. "Papah habis ngapain? Kok Falel dengel ada suara pecahan?" Tanya bocah pedal itu polos. Adimas tersenyum masam, menunduk meraih tubuh Farel untuk digendong. "Gak papa, tadi Papah gak sengaja senggol barang trus jatuh." Jelas Adimas membawa masuk Farel ke kamarnya. "Papah kalo ada apa-apa ngomong sama Falel, Falel janji bakal jadi anak yang baik." Adimas tersenyum haru, mengecup pipi bulat Farel dengan lembut. "Papah gak papa kok." Farel masih memasang wajah menyelidik, namun matanya memicing saat melihat benda yang tergeletak naas diatas lantai. Dengan cepat Farel meminta diturunkan dan berjalan mengambil figura poto yang tadi Adimas lemparkan. "Ini Mamah sama Papah waktu muda dulu?" Tanyanya polos menunjuk poto pernikahan orang tuannya. Adimas tersenyum sekilas, mengangguk pelan. "Papah dan Mamah selasi." Komentarnya dengan nada khas anak kecil. "Tapi Falel gak masalah kalau nanti bakal punya Mamah balu." Adimas terperanjat syok, pupil matanya sempat bergetar sesaat. Farel masih menunduk, entah sedang mengamati apa. "Kalo Papah sampe nikah lagi itu bukan belalti Papah jahat, kata Oma kalo Papah nikah lagi Falel dan dedek bisa punya Mamah lagi." Farel membalik figura di pangkuannya pelan, mengerling sesaat. "Kalo Falel sendili gak masalah gak punya Mamah, tapi kasian dedek." Adimas mematung, bahkan anak sekecil ini sudah memiliki pemikiran yang luar biasa dewasa. "Farel gak usah mikirin hal ginian yha." Adimas memeluk kepala Farel, mengarahkannya ke perutnya sendiri. "Farel masih kecil, gak usah mikirin urusan orang dewasa." Farel menatap datar ke depan, bibir mungil nya bungkam tak ingin mengeluarkan sepatah katapun. "Papah minta maaf karna kamu harus ngalamin ini sayang.." Adimas mendongak, berharap agar air matanya tidak keluar sekarang. "Harusnya sekarang kamu bahagia, bukan malah seperti ini." "Falel bahagia kok!" Farel menjauhkan dirinya, menatap Adimas lurus. "Meskipun Mamah sudah diambil tapi kan Falel punya dedek, Falel gak sedih kok." Adimas tersenyum sendu, benar-benar terenyuh. "Kata Tante Muliya, Mamah nggak ninggalin Falel. Mamah ada disini." Farel menepuk-nepuk dadanya sendiri. Adimas tersentak, yang tak lama lelaki itu jadi berjongkok. Menangis pilu dengan tidak tertahan. Farel tersenyum manis, berjalan maju gantian memeluk kepala Papah nya. "Papah nangis aja, gak usah ditahan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN