Sudah berapa lama? Kurang lebih dua pekan. Dunia Asmara terasa kosong. Sungguh berat. Terbiasa berkomunikasi dengan Samara meskipun hanya via ponsel. Namun hatinya terisi dengan banyak kehangatan.
Rindu pada Samara.
Marah dan kecewa pada Rafi.
Asmara sudah mencoba berbagai hal. Termasuk memanfaatkan laptopnya. Mencoba aplikasi chat via web. Sayang, ia tidak hafal nomor Samara. Juga tak tahu nama media sosial gadis itu.
Asmara sudah coba mengetik nama lengkap Samara dalam kolom pencarian. Tapi tak menemukan apa pun. Lagipula sebenarnya Asmara tak yakin kalau Samara menggunakan sosial media. Nama Samran juga tak ketemu saat ia coba mencari.
"Sus ... Suster Lisa Blackpink, ayolah bantu aku!" Asmara merengek lagi.
Suster Lisa lanjut mengganti sprei busa brankar Asmara. Tak mau menatap raut memelas Asmara. Takut luluh.
"Nggak bisa, Mara. Kamu tahu sendiri, kan, kami nggak boleh kasih data pasien ataupun walinya kepada siapa pun, dengan alasan apa pun."
Asmara cemberut maksimal di atas kursi plastik yang didudukinya. "Tapi Sam itu temen aku, Sus!"
"Saya tahu. Tapi tetep nggak boleh, Mara."
"Ya udah, kalau gitu aku minta tolong aja."
"Minta tolong apa?"
"Tolong suster samperin rumah Sam, kasih tahu dia suruh jenguk aku di sini. Bilang ... Mara sekarat saking rindunya sama Sam!"
Suster Lisa susah payah menahan tertawa. "Aduh ... kamu ini ada - ada aja, Mara. Lagian, saya kan nggak tahu rumah Samara."
"Ya suster lihat di data pasien, dong."
Suster itu menggeleng. "Saya nggak janji, ya, Mara. Selepas shift perawat di sini, saya masih ada kerjaan di klinik. Maklum, lah, saya belum sertifikasi. Jadi harus rajin - rajin cari ceperan demi sesuap nasi."
"Kalau gitu, bilangin ke suster lain."
"Ya ... saya coba, deh. Sekadar informasi, suster lain kebanyakan sama kayak saya. Kami sibuk 24 / 7. Kecuali para perawat senior. Tapi sayang banget, saya nggak berani nyuruh - nyuruh mereka."
"Yah ... payah!"
"Kalau kamu berani, coba minta tolong sendiri sama mereka sana!"
Asmara semakin cemberut maksimal. "Aku juga nggak berani nyuruh - nyuruh orang tua. Takut kualat!"
Suster Lisa terbahak seketika. "Nah, makanya itu. Udah, kamu sabar aja. Kalau Samara sudah ada waktu, pasti dia ke sini."
Asmara mencebik. "Ya mana berani dia ke sini lagi tanpa informasi apa - apa dari aku, Sus. Pasti waktu itu Ayah ngomong macem - macem sama dia. Seandainya Ayah nggak ngomong macem - macem, Sam sama Samran pasti udah ke sini lagi sejak kemarin - kemarin."
"Yang sabar, ya, Mara." Suster Lisa hanya bisa menghibur. "Udah beres. Balik situ rebahan!"
Asmara bergeming, meratapi nasib. Sang suster cuek, membawa tumpukan sprei dan selimut kotor dengan troli.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
"Ini udah dua minggu lebih, lho, Buk." Samran tak lelah membantu Asmara menghitung hari. "Ayo kita jengukin Bang Mara. Aku udah nggak tahan lihat Ibuk menjelma jadi robot sejak diusir sama ayahnya Bang Mara."
Samara lanjut mencuci piring di dekat sumur pompa. "Jadi robot gimana, sih, Dek? Jangan ngaco kamu!"
"Ibuk jangan berlagak strong, deh. Tiap hari bangun tidur lakuin hal sama. Mandi, bangunin aku, mandiin aku, masak, sekolah, kerja, masak lagi, makan. Udah gitu - gitu doang kegiatan Ibuk."
"Bukan berlagak strong. Aku emang strong dari dulu. Soal kegiatan aku, bukan kah sejak dulu juga begitu? Apa bedanya?"
"Beda, Buk. Dulu Ibuk melakukan semua kegiatan dengan hati layaknya manusia. Sekarang? Semuanya tanpa rasa, tanpa ekspresi, kayak robot. Muka Ibuk yang dari dulu sering datar, sekarang bukan sering lagi, 24 / 7 datar terus."
Samara selesai mencuci semua piring. Ia lanjut mengeluarkan tumpukan baju kotor. "Terus aku harus gimana, Dek? Berlagak ceria kayak anggota grup - grup cewek K - POP yang lagi manggung?"
"Ya nggak gitu juga, kali. Tuh ... tuh ... lihat. Beneran kayak robot. Dulu kalau Ibuk capek sama kegiatan rumah, Ibuk istirahat. Tapi semenjak kejadian itu, Ibuk jadi kelebihan energi. Cewek apalagi yang berjiwa emak - emak, pasti jadi kelebihan energi buat bersih - bersih kalau lagi galau atau marah."
"Ngaco! Ajaran dari mana, tuh?"
"Internet!"
"Ada - ada aja!"
"Aku tahu Ibuk kangen setengah mati sama Bang Mara. Juga khawatir sama keadaannya. Pengen ke sana, sekadar mastiin perkembangan keadaan Bang Mara. Iya, kan?"
Samara mengucek baju - baju kotor dengan tenaga kuda, memerasnya sampai nyaris tak tersisa air sedikit pun. Samran sampai takut melihatnya.
"Terus aku harus gimana? Kita udah berusaha hubungin Mara. Tapi nomornya dialihkan terus."
"Ya kita langsung ke sana aja. Mungkin Bang Mara masih terlalu sakit sekadar untuk ngurusin HP."
Samara belum selesai mengungkapkan kekhawatirannya. "Kita ke sana? Gimana kalau ketemu sama ayahnya lagi? Kamu mau kita diusir lagi?"
"Ya nggak, sih. Tapi seenggaknya kalau udah ke sana, kita jadi tahu keadaan Bang Mara. Rasa kangen Ibuk juga bakal sedikit terobati."
Samara berpikir keras. Jujur ia beberapa kali sudah memikirkan saran - saran yang diberikan Samran. Namun keraguan yang besar mengganjal di hatinya. Ia takut. Benar - benar takut. Namun di lain sisi juga sangat ingin bertemu dengan Asmara lagi.
"Ayo lah, Buk. Demi kebaikan hati Ibuk. Demi aku yang lagi berguru sama Bang Mara. Dan demi Bang Mara juga. Aku yakin, Bang Mara juga lagi menderita nahan kangen sama Ibuk."
Samara terus mengucek semua baju. Belum berniat menjawab ucapan Samran kembali.
"Buk ... kok diem?"
Samara berusaha tak gentar. Ia tetap dalam mode diam.
"Buk ... jawab, dong!"
Samara menggeleng. Bukan karena menolak permintaan Samran, tapi lebih karena kecamuk dalam diri. Ia bingung harus menuruti kemauan hatinya yang mana. Tetap bertahan dalam ketidakpastian. Atau nekat berangkat ke rumah sakit?
Saking bingungnya, Samara sampai melempar baju yang baru dikuceknya. Kebetulan itu baju Samran. Samara terlihat menakutkan. Samran sampai menelan ludah saking takutnya.
"J - jadi ... gimana, Buk? Oh ... iya. Waktu itu Ibuk sama Bang Mara janjian mah nonton 'Five Feet Apart', kan? Seminggu lagi filmnya rilis. Ya kali janjian pertama sekaligus kencan pertama gagal gitu aja?"
"Kencan apaan, sih, Dek? Kami cuman mau nonton bareng."
"Terserah, deh, Ibuk mau jawab apa. Yang penting Ibuk sama Bang Mara cepet ketemuan. Biar Ibuk cepet balik normal seperti semula. Aku udah kangen berat sama Ibukku yang biasanya."
Samara mengembuskan napas berat dan dalam. "Kita tunggu seminggu lagi, deh, Dek. Misal sampai pemutaran perdana film itu Mara tetap nggak bisa dihubungi, kita langsung nyamperin dia ke rumah sakit."
"Seminggu? Nggak kurang lama, tuh, Buk?"
"Ya udah dua minggu."
"Aih ... si Ibuk lama amat nunda waktunya, dibilangin aku udah kangen lihat Ibukku yang dulu."
"Seminggu lagi, atau nggak sama sekali!"
"Yah ... Ibuk ...." Samran pun hanya bisa pasrah.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
Pemuda itu berbaring miring di atas brankar. Masker oksigennya mengembun tiap kali ia mengembuskan napas. Ia sadar. Ia tidak tidur. Namun matanya senantiasa terpejam. Rasanya sulit sekadar untuk membuka mata. Rasanya sulit, sekadar untuk menarik napas.
Sejak dua hari yang lalu, kondisi Asmara terus menurun. Rafi dan Astri — ibu Asmara — sudah dihubungi pihak rumah sakit. Namun keduanya tak kunjung datang.
Para perawat yang datang bergantian memberi Asmara obat tak pernah berhenti prihatin. Mereka agaknya tahu apa yang membuat Asmara menjadi seperti ini.
Asmara kehilangan kemauan untuk sembuh. Pemuda itu telah kehilangan semangatnya. Kenapa?
Karena ia tak lagi bahagia. Sumber bahagianya sudah dijauhkan oleh ayahnya sendiri.
Asmara kembali seperti dulu. Iya ... dulu.
Dokter datang untuk memasang selang makanan pada Asmara, mengingat pemuda itu sudah tak bisa makan sejak semalam.
Selesai memasang selang, ia memberi Asmara nasihat untuk kembali semangat menjalani pengobatan. Berharap nasihatnya akan didengar oleh yang bersangkutan.
Para perawat pun tak henti - hentinya turut memberi semangat untuknya. Mereka harap ... sumber semangat Asmara segera datang untuk menguatkannya.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
-- T B C --