"Sus ... ini kotor. Tolong dibawa sekalian!" pinta Rafi, ayah Asmara.
Nada bicaranya menyiratkan keangkuhan mendalam. Ia tak suka melihat kamar anaknya kotor karena tumpukan rantang dan sisa makanan di dalamnya yang tidak higienis — menurutnya.
Berhubung ada suster membawa troli piring ransum kotor, Rafi segera meminta tolong. Biar sekalian.
Suster itu nampak tak suka dengan nada bicara Rafi. Namun ia sudah cukup terbiasa mengendalikan diri saat berinteraksi dengan orang ini. Untung saja anaknya baik, tidak menuruni sifat sang ayah.
Suster itu segera mengambil tumpukan rantang. Hendak menyertakannya dalam troli. Namun sebuah suara menghentikan pergerakannya.
"Mau dibawa ke mana rantangnya, Sus?"
Suara itu tak begitu keras. Namun cukup terdengar oleh telinga Rafi dan sang suster. Mengingat heningnya suasana di sini.
"Mau saya bawa bersama piring ransum kotor, Mara," jawab suster itu.
"Jangan ...." Asmara mengulurkan tangan susah payah. Dengan maksud meminta kembali rantang itu. "Biar di sini aja."
"Tapi ...." Suster itu takut - takut menatap Rafi.
Rafi menatapnya tajam, menyiratkan bahwa ia harus tetap melaksanakan perintahnya.
"Siniin, Sus ...." Asmara pun tetap memaksa dengan sisa tenaga yang sudah di titik darah penghabisan.
Suster itu berakhir menunduk. Karena tak tahu apa yang harus ia lakukan. Bingung harus menuruti siapa.
"Mara ... kamu baru sadar, Nak. Istirahat aja. Nggak usah urusin rantang!" Rafi beralih pada putranya.
"Ayah ... aku baru sadar. Sebagai ayah yang baik, Ayah setidaknya harus nanya keadaanku gimana. Bukan malah ngurusin rantang!" balas Asmara telak.
Sang suster susah payah menahan tawa. Terlebih setelah ia melihat ekspresi kesal Rafi berkat kelakuan putranya sendiri.
"Karena kamu udah bangun, sekarang lebih baik kamu makan ransum makan siang kamu. Sebelum wadah kotornya juga dibawa pergi oleh suster." Rafi mengalihkan perhatian.
Asmara menggeleng. "Aku nggak mau makan ransum. Aku mau makan sisa masakan Sam aja. Tadi masih banyak."
"Mara, makanan itu nggak higienis. Buktinya kamu langsung sakit habis makan itu!"
"Ayah jangan munafik. Keadaanku emang menurun akhir - akhir ini. Ayah tahu persis itu. Jadi nggak usah jadiin makanan dan rantang itu sebagai kambing hitam!"
"Mara ... kamu tahu bukan itu maksud Ayah. Ayolah, Nak. Ini demi keadaan kamu sendiri. Kalau sakit, kamu sendiri pula yang nanggung akibatnya, kan?"
"Sebenarnya yang harus makan aku atau Ayah? Makanan buatan Sam udah diatur sedemikian rupa sama dia agar aman buat aku. Makanya aku mau makan itu. Kenapa Ayah ngotot maksa aku makan makanan ransum? Kalau Ayah mau, situ makan aja ransumnya!"
Rafi menarik napas dalam. Berusaha bersabar dengan kelakuan putra satu - satunya. Ia semakin sulit mengendalikan diri, karena sang suster masih menahan tertawa. Menertawai dirinya.
"Mara ... jatah dari rumah sakit pasti lebih baik buat kamu."
Asmara menggeleng. "Aku mau makan masakan Sam, atau nggak makan sama sekali. Ayah coba tanya suster, deh. Lebih besar mana risikonya, aku makan masakan Sam, atau aku nggak makan sama sekali?"
Rafi sama sekali tak berminat bertanya pada sang suster. Namun Asmara melanjutkan aksi menentang sang ayah.
"Jelasin ke ayah saya, Sus. Cepetan!"
Sang suster serba salah. Takut, apalagi Rafi melotot padanya sekarang. Tapi ia juga kasihan pada Asmara.
"I - iya, Pak. Asmara boleh makan apa aja. Asal memenuhi syarat untuk dikonsumsi olehnya. Kata Asmara tadi, kan, makanan itu sudah diatur sedemikian rupa oleh Samara. Jadi, tidak apa - apa. Dari pada Asmara tidak mau makan sama sekali." Ia berakhir menjelaskan apa adanya pada Rafi.
Rafi semakin naik pitam.
"Siniin rantangnya, Sus!" Asmara memanfaatkan kesempatan diamnya Rafi.
Suster itu segera menyerahkan rantang keramat kesayangan Asmara. Asmara berusaha duduk, dibantu oleh sang suster. Suster itu juga membantu memutar katrol brankar menjadi posisi setengah duduk. Agar Asmara lebih nyaman.
"Mara ... stop!" Rafi segera menghentikan saat Asmara berusaha membuka rantang itu.
Asmara tak mengindahkan. Ia tetap berusaha membuka rantang. Sampai akhirnya Rafi turun tangan.
Lelaki itu menghempaskan rantang yang bersangkutan dari tangan Asmara. Mengingat kondisi pemuda itu sedang tidak baik, terang saja tenaganya tak cukup untuk melawan tenaga Rafi yang notabene memikiki badan bagus.
Selanjutnya terdengar bunyi keras. Suara rantang dan lantai yang beradu. Diikuti dengan berserakannya sisa makanan dalam rantang.
Asmara menatap sisa - sisa makanan itu dengan mata nanar. Terbayang bagaimana sulitnya Samara membanting tulang agar bisa makan setiap hari bersama Samran. Terbayang pasti gadis itu bekerja keras untuk mendapatkan uang lebih, sehingga dapat membawa cukup banyak makanan untuknya juga. Terbayang bagaimana Samara bersusah payah memasak, demi menyajikan makanan terbaik untuknya. Apalagi dengan kondisinya yang khusus.
Mata Asmara benar - benar tak bisa beralih dari lantai. Sesak dadanya kembali. Perpaduan antara kondisi emosional yang mempengaruhi kondisi fisik. Hatinya yang hancur, membuat penyakitnya kembali bereaksi. Pemuda itu memegangi dadanya, kesulitan bernapas.
"Mara, kamu baik - baik saja?" Sang suster beringsut mendekati Asmara, bermaksud membantunya.
Namun segera dicegah oleh yang bersangkutan. "Aku baik - baik aja." Asmara berusaha mengatur napas.
"Makanya nurut, lah, kalau dikasih tahu orang tua, Mara!" Rafi bukannya merada bersalah, malah lanjut mengomel.
"Apa organ hati di dalam rongga perut kanan Ayah hanya sekadar pajangan?" Napas Asmara naik turun tak keruan. Keringat dinginnya mulai keluar. Wajahnya semakin memucat.
"Maksud kamu apa, Mara?"
"Aku yakin Ayah punya hati. Tapi hati Ayah sudah kehilangan satu fungsi utamanya ... merasa ... empati .... Hati Ayah sudah mati!"
"Berani - beraninya kamu ngomong gitu ke Ayah, hanya demi membela teman - teman kamu yang miskin? Hati kamu yang bernasalah, Nak. Hati kamu terlalu sering berempati. Bahkan pada orang - orang yang salah. Orang - orang yang mendekati kamu hanya karena harta."
"Gampang banget Ayah ngomong gitu!"
"Akhir - akhir ini kamu berubah, Mara. Kamu jadi semakin sering membelot Ayah. Pasti setelah kamu kenal mereka, kan? Mereka bawa pengaruh buruk buat kamu!"
Asmara semakin sulit bernapas. Setiap tarikan napas terasa sakit. Namun ia tetap menolak saat suster berusaha menolongnya.
"Justru karena mengenal mereka, aku jadi sadar, Yah ...."
"Maksud kamu?"
"Mereka yang kata Ayah deketin aku karena harta, justru selalu ada buat aku. Selalu berhasil membuat aku merasa bahagia, tertawa lepas. Bahkan di tengah - tengah kesibukan dan kesulitan, mereka berusaha meluangkan waktu sekadar untuk jenguk aku.
"Sedangkan Ayah? Dan juga Bunda. Orang tua aku. Dua orang yang mengatakan sangat menyayangi aku. Tapi ... nggak pernah ada buat aku. Seandainya siang ini aku nggak dapet serangan, apa Ayah bakal dateng? Bahkan Bunda sama sekali nggak dateng meskipun aku sekarat!"
Hening .... Cukup lama ....
Suster itu akhirnya berhasil memberi pertolongan pertama pada Asmara dengan menaikkan tekanan oksigen pada kanula. Ia juga membantu Asmara berbaring dengan baik, menurunkan kembali katrolnya. Rafi bukannya merasa bersalah. Justru semakin tersulut amarah.
"Mereka benar - benar bawa pengaruh buruk buat kamu!" Ia menunjuk wajah Asmara. Raut marahnya terlihat jelas.
Mata Rafi kini tertuju pada ponsel Asmara di nakas. Lelaki itu mendekat, mengambil ponsel yang bersangkutan.
"Ayah mau apa?" Asmara berusaha mencegah perbuatan Rafi. Tapi dicegah oleh suster, takut pergerakan mendadak yang dilakukan Asmara semakin memperparah serangannya.
"Ayah sita ponsel kamu. Ini satu - satunya benda yang bikin kamu tetap bisa berkomunikasi dengan mereka, kan?" Rafi memasukkan ponsel itu ke sakunya.
"T - tapi, Yah ...."
"Keputusan Ayah nggak bisa diganggu gugat. Sekarang lebih baik kamu makan ransum itu, lalu istirahat. Ayah nggak mau denger lagi ada info tentang kamu mendapat serangan. Camkan itu baik - baik."
Tanpa merasakan sesal apa pun, Rafi melenggang pergi. Suara langkahnya lugas dan keras, menggambarkan kesombongannya. Asmara mengernyit, meratapi betapa buruk tabiat ayahnya, juga karena rasa menusuk yang menyakitkan di dadanya. Sang suster berusaha menenangkan Asmara, agar serangannya tak semakin parah.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
-- T B C --