Menunggu film itu ditayangkan, cukup lama. Karena jadwal tayangnya memang masih bulan Maret. Di tengah penantian, Asmara memikirkan banyak rencana. Juga opsi lain.
Di tengah penantian, ada satu hal baru yang sudah Asmara duga, tapi tetap menyakitkan kala benar-benar menghadapinya.
Samran hari ini rilis dari rumah sakit. Keadaannya sudah cukup baik untuk pulang. Dan itu membuat hati Asmara menjadi kosong.
"Nanti kami akan sering jenguk kamu." Itu kata Samran yang berusaha menenangkannya.
Hanya Samran yang mengatakan, karena Asmara tahu, Samara juga merasakan kekosongan yang sama. Karena ....
Melihat kesibukan gadis itu dengan segala urusan pribadinya dan segala urusan mengurus Samran, ia pasti tak bisa sering - sering ke sini. Mungkin hanya seminggu sekali. Atau bahkan sebulan sekali.
Asmara telanjur terbiasa dengan keberadaan mereka. Tak bisa membayangkan bagaimana setelah ini dunianya akan sepi tanpa mereka. Tanpa Samara.
"Mungkin nggak sering, tapi aku akan berusaha meluangkan waktu." Samara memaksakan senyuman.
Asmara juga memaksa diri untuk membalas senyumnya. Kemudian mengangguk. Keduanya sama - sama saling menguatkan diri sendiri dengan mengingkari kenyataan tentang sulitnya pertemuan mereka setelah ini.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
Keesokan harinya, Asmara bahkan ikut mengantar Samara dan Samran sampai depan, sampai mereka naik ke ojek mobil online, dan akhirnya benar - benar pergi. Asmara hanya bisa menatap, dengan senyuman palsu yang masih tersisa.
"Ayo buruan balik ke kamar, Mara!" Suster yang mendapat mandat untuk memantaunya segera memberi peringatan.
Takut Asmara sesak terpapar dunia luar terlalu lama. Apalagi ia menolak menggunakan kursi roda. Ia berjalan cukup jauh siang ini. Suster itu hanya tak ingin terjadi apa - apa pada Asmara.
Asmara tak menjawab apa pun, hanya berbalik, dan melenggang. Suster itu menatap Asmara yang melangkah gontai. Kasihan pada Asmara yang kembali kesepian setelah ini.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
"Ya ampun, rumah kita kayak rumah hantu!" Samran takjub menatap rumah yang dirindukanya. Berantakan, banyak sarang laba - laba, lembab, bau lumut.
Samran menuju ke dapur, membuka penutup makanan di meja makan. "Ha ... kosong! Astaghfirullahaldzim!"
"Kamu ngarepin apa, sih, Dek? Aku moncat-mancit ngurusin banyak hal siang malem, mana sempet bersih - bersih rumah, apalagi masak!" Samara cuek. "Aku ke warung dulu."
"Ngapain ke warung?"
"Belanja."
"Emang siang - siang gini masih ada bahan - bahan? Yang ada udah diborong emak - emak tadi pagi!"
"Ya seadanya aja. Kalau nggak ada apa - apa ya makan mie instan. Gitu aja kok repot!"
"Aku, tuh, baru sakit, lho! Jangan dikasih mie instan!"
"Ya udah, aku aja yang makan, kamu nggak usah!"
Samara cuek sembari berlari kecil keluar rumah. Tak mempedulikan Samran yang merasa terabaikan. Kurang dari setengah jam, Samara telah kembali. Nyatanya di warung masih ada beberapa bahan mentah. Samara membawa ikan asin dan kangkung.
"Alhamdulillah ... nggak jadi cepet mati!" Samran sangat bersyukur. "Mau dimasak apaan, tuh, Buk?"
"Udah diem aja di situ, nggak usah banyak cing - cong!"
"Ya Allah, si Ibuk kesambetan apaan, deh? Dari tadi sewot melulu! Lagi dapet, Buk?" Samran benar - benar tak habis pikir.
Samara tak menjawab, ia hanya mulai memasak. Pertama ia merendam ikan asin, tujuannya agar saat digoreng kadar garamnya sudah berkurang, sehingga tak terlalu asin. Kemudian ia memotong kangkung, dan mencuci bersih dengan air sumur.
Samara masih mengabaikan Samran. Entahlah ... Samara sendiri juga bingung dengan kekacauan suasana hatinya. Rasanya ia ingin memarahi semua orang yang dilihatnya, ingin membanting semua barang yang dilihatnya.
Perlu dicatat, ia tidak sedang menstruasi ataupun akan mestruasi. Jadi bukan hormon yang membuat suasana hatinya kacau.
Bayang - bayang Asmara masih memenuhi pikirannya. Bayang - bayang jarangnya pertemuan mereka setelah ini masih menghantui hati.
Hanya karena berpisah dengan Asmara, Samara bisa sekacau ini? Bahkan belum dua jam semenjak perpisahan mereka.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
"Buk ...." Samran menghentikan kursi rodanya di hadapan Samara.
Gadis itu sedang sibuk mengerjakan tugas. Seperti biasa, rautnya selalu serius tiap kali mengerjakan tugas. Dan kini terlihat dua kali lipat lebih serius. Kenapa? Tentu saja karena kepribadian Samara yang berubah jauh lebih sangar semenjak Samran rilis dari rumah sakit.
"Aku mau ngomong sebentar," kata Samran lagi.
Samara masih lanjut mengerjakan tugas tanpa menghiraukan adiknya.
"Buk ... aku mau bicara serius, lho!" protes Samran.
Samara tak mengacuhkan, meski sebenarnya mendengar.
Samran mengangguk. Ia memutuskan langsung bicara saja. "Aku udah nggak tahan sama sikap Ibuk. Kangen, ya, kangen. Tapi aku jangan dijadiin korban, dong!"
Samara langsung meletakkan pensilnya. Jawaban dari soal matematika rumit yang tadi sudah tersusun rapi di otak, tinggal ditulis saja, kini kocar - kacir tak keruan karena ucapan Samran.
"Kangen - kangen apaan, sih, Dek? Jangan ngawur kamu!" Samara kembali menunjukkan kesangarannya.
"Di mana letak ngawurnya? Orang kenyatannya bener Ibuk kangen sama Bang Mara!" Samran semakin memperjelas poinnya.
Muncul semburat merah di kedua pipi Samara, meski rautnya nampak geram.
"Udah nggak usah ditutup - tutupin, Buk. Masyarakat kolam cebong yang dungu - dungu juga ngerti kalau Ibuk lagi kangen setengah mati sama Bang Mara." Samran semakin mendekat pada Samara. "Kurang dua hari lagi weekend, ayo jenguk Bang Mara!"
"Weekend aku ada janji kerja kelompok," jawab Samara.
"Heleh ... jangan sok kerja kelompok! Orang dari dulu semua kerjaan kelompok Ibuk doang yang ngerjain. Ayolah, Buk, aku udah nggak tahan lihat Ibuk lebih sangar dari ketua umum kolam cebong yang dungu-dungu. Aku pengin ibukku yang dulu balik. Lagian aku harus nerusin pelajaran desain sama Bang Mara, lho! Kalau nggak lanjut, gimana aku bisa tuntas menguasai aplikasi itu? Aku udah telanjur mulai belajar, nanggung kalau nggak dilanjutin."
"T - tapi, Dek ...."
"Tapi apa lagi? Ayolah ... belajar jujur sama hati Ibuk sendiri. Kangen ya kangen aja. Nggak usah ditahan-tahan. Ntar lama-lama Ibuk mati hati, jadi nggak punya hati kayak penghuni kolam cebong. Ntar lama-lama otak Ibuk jadi dungu, jadi nggak bisa mikir kayak penghuni kolam cebong itu pula."
Samara menggeleng. "Stop, Dek. Dari tadi kamu nyebut kolam cebong melulu, nggak takut sariawan apa? Oke, deh, oke. Ayo ke rumah sakit weekend ini. Tapi sebelumnya kita kudu tanya Mara dulu. Ntar kita udah ke rumah sakit, tahunya Mara pulang."
"Sebenernya sangat kecil kemungkinan Bang Mara pulang, sih. Tapi ya ... nggak ada salahnya coba dulu."
"Nih nomornya Mara, kamu yang tanya dia, ya!" Samara menunjukkan nomor ponsel Asmara pada Samran.
"Lho ... kok jadi aku yang tanya! Ntar Bang Mara nggak antusias jawabnya. Bisa-bisa malah dicuekin. Ibuk batal ketemu sama dia, mau?"
Samara menggeleng cepat.
"Makanya cepet tanya sendiri sana!"
"Tapi, kan ...."
"Apa? Takut chat duluan karena Ibuk cewek? Please, deh .... Udah zaman emansipasi wanita, masih takut chat duluan? Lagian Ibuk kan cuman nanya ke dia, bukan mau nembak, kan?"
Samara kesal karena sudah mendapat banyak sekali skakmat dari adiknya sendiri. Sayangnya skakmat itu benar adanya. Samara tak ada pilihan lain, memang ia harus menghubungi Asmara lebih dahulu.
Mengingat Asmara memberikan nomor ponselnya, tanpa Samara memberi nomornya balik.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
Berkali - kali Samara mengirim pesan. Bahkan ia memberanikan diri menelepon. Namun Asmara tak menanggapi. Apa mungkin cowok itu salah menulis nomor ponselnya?
"Masih belum dapet respons?" Samran nampak prihatin.
Samara hanya menggeleng. Sebenarnya ada satu kekhawatiran lain di hatinya — selain kemungkinan Asmara salah menulis nomor — yaitu ... Samara takut terjadi sesuatu pada cowok itu.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
-- T B C --