Tak Seperti Biasanya

1352 Kata
"Halo ...."    Samara lega sekali mendengar suara itu. Suara seseorang yang begitu ia rindukan. Namun satu hal yang membuatnya heran, suara Asmara terdengar aneh.    "Halo ... Mara ...."    Asmara terkikik di seberang sana. Suaranya masih nampak aneh. "Iya, Sam. Halo. Apa kabar? Udah sekangen itu, kah, sama aku?"    Tanpa sadar Samara tersenyum. Samran ikut - ikutan tersenyum melihat kakaknya nampak bahagia.    "Alhamdulillah, baik," jawab Samara. "Kamu juga apa kabar? Kenapa suara kamu agak aneh?"    "Aneh gimana, Sam? Nggak, tuh. Sinyalnya jelek kali. Jadi suaraku yang indah ini nggak bisa ter - deliver dengan semestinya."    Samara lagi - lagi tersenyum. "Iya kali, ya. Berarti kamu baik - baik aja, kan?"    "Baik lah, Sam. Sehat banget pokoknya. Seneng, deh, dikhawatirin sama kamu."    Samara tersenyum semakin lebar. Samran hampir tak bisa menahan tawanya. Samar - samar ia mendengar suara Asmara yang senantiasa melempar gombal tiap ada kesempatan.    "Inshaa Allah besok aku ke sana sama Samran. Jenguk sekalian nerusin pelajaran desain." Samara akhirnya menjelaskan maksudnya menelepon.    "Oh iya, siap, Sam. Pintu kamarku selalu terbuka untukmu dan calon adek iparku yang gantengnya hampir setara sama aku."    Samara terkikik geli. Sementara Samran mencebik tak terima. "Enak aja dibilang hampir setara. Padahal gantengan aku sama dia."    "Ya udah, ya, Mara. Sampai ketemu besok."    "Siap, Sam. Nggak sabar menanti besok!"    Entah ada apa dengan bibir Samara, sampai - sampai murah senyum sekali seperti ini. Selepas sambungan telepon terputus, Samara berlari secepatnya ke dapur. Samran hanya menatap heran sembari memutar kursi rodanya, menyusul Samara ke dapur.    ~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~    Samran benar - benar tak habis pikir. Samara sekali lagi bertingkah berlebihan saat hendak bertemu Asmara. Jika dulu ia berdandan menggunakan gaun lawas Ibu, hari ini ia sibuk di dapur sejak pagi.    Membuat berbagai macam makanan netral. Maksudnya, tidak terlalu asin, tidak terlalu manis, dan tidak terlalu pedas. Intinya makanan yang aman - aman saja, yang tidak membahayakan nyawa orang sakit.     "Niat banget, sih, Buk. Aku aja nggak pernah dimasakin sebanyak ini!" Samran cemburu buta.    "Masaknya nggak banyak, tapi kan hampir tiap hari. Kalau diakumulasi, ya totalnya tetep banyak masakin kamu!" jawab Samara santai.    "Ibuk, mah, gitu. Jahat sama aku!"    "Kemarin aku ngotot nggak mau jenguk Mara, kamu maksa. Sekarang mboso aku mau jenguk, kamu malah uring - uringan. Gimana, sih?" goda Samara.    "Tapi Ibuk lebay banget, mau jenguk kayak mau hajatan! Kita aja kalau mau makan harus hemat, ya kali jengukin orang sakit selebay ini?"    "Dek ... ya kali ini nanti yang makan cuman Mara aja? Ini buat makan kita semua. Lagian Mara pasti nggak nafsu makan. Kayak kamu waktu masih sakit kemarin. Makannya dikit. Paling kamu juga nanti yang habis paling banyak!"    Samran bungkam seketika. Jurus skakmat Samara padanya memang tak pernah gagal sejauh ini. Mengerikan sekali.    ~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~    Tak hanya membawa makanan sebanyak hajatan, Samara juga masih berdandan seperti waktu itu. Ia memakai gaun lawas Ibu yang lain. Makanan sebanyak hajatan itu dipangku oleh Samran. Sementara Samara yang mendorong kursi rodanya.    Mimik keduanya berbanding terbalik. Samara nampak ceria dan antuasias. Sementara Samran buthek sekali. Ia kesal dimintai tolong membawa makanan sebanyak ini. Juga malu tentu saja.    Di depan kamar itu, Paviliun Sakura nomor 3, Asmara menjemput mereka dengan senyum yang merekah. Ia melambaikan jemarinya, sembari mengangkat sebelah alis.    "Welcome to my room, Calon Istriku, dan Calon Adik Iparku!" sambut Asmara.    Samara tersenyum malu. Samran cemberut luar biasa.    "Silakan masuk!" Asmara membuka pintu, mendahului Samara dan Samran.    Kakak beradik itu menyusul. Keduanya begitu takjub betapa luas dan indahnya interior kamar Asmara ini. Seperti bukan di rumah sakit, melainkan di hotel.    Ada mini bar juga di sana dan seperangkat sofa. Perbedaan kamar kelas orang miskin dengan orang kaya, benar - benar jauh.     "Duduk sini." Asmara mendahului duduk terlebih dahulu.    Samara duduk canggung di single sofa paling ujung. Samran tentu saja tetap di kursi rodanya. Samara mengambil makanan dari pangkuan Asmara, menata satu per satu wadah di meja.    "Kamu masak sendiri, Sam?" takjub Asmara.    Samara hanya mengangguk.    "Beneran calon istri idaman, perfecto ... numero uno!" Asmara mengacungkan dua jempol.    "Alhamdulillah." Asmara tersenyum tipis.    "Ini kapan makannya? Aku udah laper, tauk!" Samran makin cemberut menatap dan mendengar basa - basi Asmara dan Samara.    "Sabar, dong, Dek!" omel Samara.    "Sabar - sabar keburu semaput aku, Buk!"    "Heleh ... orang mau berangkat tadi udah ngicip sepiring kamu!"    "Ebuset ... ngicip kok sepiring!" Asmara tertawa keras sampai terbatuk - batuk sembari menunjuk - nunjuk Samran.    Samran makin jengkel saja dibuatnya. "Ya, udah kalau gitu aku makan duluan." Tanpa ba bi bu, Samran mengambil nasi dan segala lauk pauk yang ia inginkan, dan mulai makan.    ~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~    Mereka berakhir di atap seperti yang sudah - sudah. Menatap segala aktivitas yang berjalan. Menikmati embusan angin, kadang terkena cipratan air mancur raksasa itu. Samara berlari kecil menghampiri anak kecil yang baru saja terjatuh. Anak itu menangis, sementara tak ada yang menolong.    Asmara mendorong kursi roda Samran untuk menghampiri Samara dan anak itu.    "Adek ... mana yang sakit, Sayang?" Samara meletakkan anak itu ke pangkuannya.    Anak itu masih saja menangis. "Mama ... Mama ...," gumamnya di sela tangis.    "Mama kamu ke mana, Sayang?" Samara bertanya sekali lagi.    "Mama ... Mama ...." Anak itu semakin menangis keras.    "Ya ampun ... ke mana lagi emaknya? Anaknya jalan aja belum bener, eh, dibiarin lari - lari sendirian!" Samran mengomel karena kasihan sekaligus tak tega pada anak itu.    "Sam ... kayaknya dibawa ke pusat informasi aja, deh. Orang tuanya pasti juga lagi nyariin sekarang," saran Asmara.    "Iya, deh. Bentar ya, Dek ... bentar lagi kamu ketemu sama Mama, oke?" Samara berdiri sembari menggendong anak itu. "Aku ke pusat informasi dulu. Kalian tunggu di sini aja."    Asmara dan Samran hanya mengangguk, menatap kepergian Samara dan si anak kecil. Samara nampak terampil menenangkan dan menggendong anak itu.    "Jangan diungkapin gombalnya! Aku tahu kamu lagi mengagumi sikap Ibuk yang penyayang dan keibuan!" Belum apa - apa Samran sudah mengomeli Asmara.    Asmara hanya tersenyum. "Tahu aja kamu." Asmara memutar balik kursi roda Samran. Mulai mendorongnya kembali ke bangku mereka tadi, tanpa bicara apa - apa lagi.    Samran sebenarnya merasa ada yang aneh. Sejak sampai di atap ini, Asmara lebih banyak diam, hanya bicara seperlunya tanpa sebab yang jelas. Namun Samran tak mau terlalu memikirkannya. Mungkin Asmara hanya lelah.    "Nih, kamu dorong tiang infus kamu sendiri. Aku juga biar bisa gerakin kursi roda aku sendiri." Samran beritikad baik, tak ingin Asmara semakin lelah.    "Nggak usah, deh. Kurang dikit ini," jawab Asmara sekenanya.    Samran kembali merasa aneh. Suara Asmara terdengar tak biasa. Jauh lebih rendah dan lebih serak dari pada biasanya.    Samran jadi teringat obrolan Samara dan Asmara via telepon semalam. Di mana suara Asmara juga terdengar sama anehnya.    Tanpa sepengetahuan Samran, genggaman tangan Asmara pada kendali kursi roda semakin mengerat. Pemuda itu menggunakan kendali kursi roda Samran sebagai tumpuan untuk menyangga bobot tubuhnya yang tak seberapa.    Dadanya mulai sakit dan sesak lagi. Asmara benci tiap kali merasakannya. Sudah beberapa hari ia terus - menerus kambuh. Tidak bisakah libur sehari saja kali ini?    Asmara mulai terbatuk. Suara batuknya keras dan terdengar menyakitkan.    "Tuh, kan, kamu jadi batuk - batuk. Udah sini, biar aku yang puter rodanya sendiri!" Samran menoleh, menengadah, menatap raut Asmara.    Kedua mata Samran membulat melihat raut Asmara yang pucat. Sejauh mereka saling kenal, ya ... Samran sudah tahu detail penyakit Asmara. Tapi ia belum pernah melihat Asmara nampak selemah itu.    Raut menahan sakit itu nampak jelas. Satu tangan Asmara memegangi d**a. Ia terlihat sulit bernapas. Belum lagi suara batuknya yang keras.    "Kamu baik ...."    Belum selesai Samran bertanya, ia justru menyaksikan bagaimana Asmara melemas, ambruk, menghantam panasnya lantai atap rumah sakit di siang hari.    Asmara tidak pingsan. Ia masih sadar, masih meremas dadanya, sulit bernapas, dan kesakitan.    "Tolong ...." Samra segera berteriak sekeras mungkin.    Ia pun berusaha menolong Asmara, sampai lupa dengan kondisi kakinya. Ia terjatuh ketika berusaha turun dari kursi rodanya.    Tim medis yang lalu lalang dan juga yang bertugas dalam terapi motorik segera berbondong menuju Asmara. Berusaha memberikan pertolongan pertama.    Samara baru saja kembali dari pusat informasi. Ia pun terkejut melihat kerumunan tim medis bersama Samran dan Asmara. Tanpa menunggu apa pun lagi, Samara segera berlari mendekat.    ~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~    -- T B C --   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN