Five Feet Apart

1773 Kata
Samran tak bisa mengalihkan pandangan dari area terapi di sebelah barat air mancur. Sementara dirinya dan Asmara duduk di bangku putih, di sebelah utara air mancur.     "Kamu nggak mau ikut terapi kayak gitu?" tanya Asmara.    Samran terhenyak. Terkejut ternyata Asmara memperhatikan dirinya. "Mau, lah. Tapi nggak tahu masih mungkin atau nggak. Harusnya segera terapi setelah aku dinyatakan lumpuh. Udah bertahun - tahun berlalu. Udah kasep!" Samran murung. Kasep adalah bahasa Jawa yang berarti sudah telanjur tidak bisa diperbaiki.    "Mana tahu kalau belum nyoba? Kenapa nggak tanya - tanya dokter dulu? Kali aja masih mungkin, kan?"    Samran masih murung. "Ntar terapinya dikover asuransi, nggak? Kalau nggak, duit dari mana?"    "Waduh ... ya mana aku tahu dikover asuransi apa nggak." Asmara menggaruk tengkuknya yang tak gatal.    Samran mendengkus karena jawaban asal Asmara. Cowok itu mengernyit menatap sesuatu di bawah mata Asmara. "Diem dulu!"    "Kenapa, sih?" Asmara kebingungan.    "Dibilangin diem dulu!"    Asmara menurut.    "Merem!"    Asmara menurut lagi.    Samran perlahan mengambil sehelai rambut kecil yang menempel di bawa mata Asmara. "Udah."    Asmara membuka mata. "Apaan, sih?"    "Nih ... bulu mata!" Samran menunjukkan bulu mata di ujung telunjuknya.    "Woah ...." Asmara girang luar biasa sembari mengambil bulu matanya dari telunjuk Samran.    "Girang banget macem menang lotre!" sindir Samran.    "Ya girang, lah. Kamu tahu nggak ...."    "Nggak!"    "Belum selesai ngomong, Marjuki!"    Samran tertawa karena berhasil membuat Asmara kesal. "Selow aja Jaenudin!"    Asmara lanjut menjelaskan. "Katanya kalau bulu mata kita jatuh, berarti ada yang rindu. Pasti Sam rindu sama aku, nih!"    "Ngayal!" serobot Samran cepat.    "Ye ... ngeyel dibilangin!"    "Mitos kok dipercaya. Musrik!"    "Idih ... nggak bisa banget liat orang seneng!"    "Biarin!"    ~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~    Lagi - lagi Samara melakukan hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya — sebelum bertemu Asmara lebih tepatnya. Ia memagut diri di depan cermin. Memperhatikan apa yang kurang dari penampilannya.    Rambut lurusnya mencuat ke mana - mana. Ia mengambil sisir, menyisir rambutnya sampai rapi. Wajahnya ... Samara cemberut. Ia tidak pernah belajar make - up. Jangankan belajar, memikirkannya pun hampir tak pernah.    Boro - boro memikirkan make - up. Setiap hari bisa makan saja sudah syukur. Seandainya seperti di Korea Selatan. Di mana make - up dan skincare mendapat fasilitas asuransi dari pemerintah. Huff ....    Samara menarik napas dalam. Asmara tertarik padanya apa adanya. Tak perlu lah memoles make - up. Toh ia sudah mendapat make - up terbaik dari Tuhan wajibnya lima kali sehari. Berwudhu sebelum sholat. Hihi. Samara terkikik sendiri.    Sebagai informasi, hari ini pertama kalinya juga Samara mengenakan dress. Selama ini Samara lebih suka memakai celana ke mana - mana. Hanya ke sekolah saja pakai rok. Hanya untuk bertemu Asmara, ia rela mengubek - ubek lemari tua milik mendiang ibunya, mengambil baju masa muda sang Ibu.    Untung fashion itu berputar. Untung baju ini belum rusak dimakan rayap. Untung baju Ibu satu ukuran dengan Samara. Puas memandangi refleksi dalam cermin, Samara akhirnya berangkat.    ~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~    Tiga puluh menit perjalanan menggunakan bus, tak pernah terasa selama dan semenjemukan ini. Samara buru - buru turun saat bus berhenti tepat di depan rumah sakit.    Langkahnya cepat dan tegas menuju kamar Samran. Jika biasanya ia memilih menggunakan tangga — hitung - hitung olahraga — kali ini ia memilih menggunakan lift. Efisiensi waktu supaya cepat dapat bertemu Asmara.    Ngomong - ngomong tentang lift, Samara jadi terbawa perasaan. Lift mengingatkannya akan Asmara. Mata Samara terpejam, teringat senyum dan lambaian tangan Asmara dari dalam lift saat terakhir kali mereka bertemu kemarin lusa.    Tanpa sadar Samara tersenyum. Akhir minggu ini akan menjadi akhir minggu terbaik dalam hidup Samara.    Dari lift menuju Merkurius 9, sepertinya tak sejauh ini. Banyak sekali perubahan dalam diri Samara dalam sekejap mata. Semua gara - gara Asmara.    Bibir Samara tak bisa menahan senyum kala melihat cowok dengan kanula itu tengah sibuk belajar desain dengan adiknya. Samran duduk bersandar di ranjang seperti biasa, sementara Asmara duduk di kursi plastik, menggunakan pinggiran brankar sebagai meja.    Asmara saat konsentrasi, terlihat jauh lebih menarik dan mempesona. Ditambah sinar mentari siang yang menerangi seluruh inci Merkurius 9, semakin memancarkan aura memikat Asmara.    Tapi ... bukankah Asmara nampak terlalu tenang? Tidakkah ia seantusias Samara untuk saling bertemu? Sejenak Samara berpikir negatif. Apa Asmara hanya mempermainkannya?    Samara melangkah tenang menuju brankar Samran. Melewati pasien - pasien lain dalam brankar berjajar.    "Ebuset ...." Samran segera bereaksi melihat penampilan tak bisa kakaknya. Ia tak bisa menahan tawa.    Samara menyilangkan kaki tanda gugup. Kenapa Samran harus tertawa? Apa penampilannya seburuk itu?    Karena reaksi Samran, Asmara pun menoleh. Berbanding 180° dari Samran, Asmara menyambut kedatangan Samara dengan senyuman manis.    Pantas saja cowok itu tak boleh mengonsumsi banyak gula. Karena kadar gula dalam senyumnya sudah lebih dari cukup.    Senyuman Asmara cukup untuk membuat pikiran negatif Samara musnah. Termasuk rasa minder yang gadis itu dapat dari tawa meledek Samran. Samara kembali mendapatkan percaya dirinya 100 %.    "Cantiknya calon istriku ...," puji Asmara tulus.    Samara serasa terbang ke awang - awang. Tak sia - sia ia mengubek - ubek lemari. Saking senangnya hati Samara, tawa menggelegar Samran — efek dari pujian Asmara pada Samara — serasa benda gaib. Ada suara tapi tak ada wujud.    Seakan dalam Merkurius 9 hanya ada Asmara dan Samara. Yang lain hanya makhluk halus tak kasat mata.    Asmara segera menutup laptopnya. "Cukup belajar hari ini."    Samran tak terima. "Tapi masih satu j - ...."    Asmara membungkam mulut Samran segera. "Sudah cukup hari ini, muridku satu - satunya! Weekend belajar sejam aja. Oke!"    Samran menghapus sisa bungkaman Asmara dari mulutnya. "Uasin ... cuih ...."    Asmara cuek saja. Ia berdiri, menyeret tiang infus khususnya, menyingkir. "Silakan duduk, calon istriku."    Samara beringsut mendekat. Tapi enggan duduk di kursi plastik itu. "Kamu aja yang duduk. Aku berdiri nggak apa - apa."    "Lho ... wanita itu harus dimuliakan. Nggak apa - apa duduk aja."    "Nggak apa - apa. Nanti kamu capek berdiri. Kasihan paru - paru kamu."    "Nggak apa - ap - ...."    Belum selesai Asmara bicara, Samran sudah menyela. "Weits ... sudah cukup!" Samran menutup kedua telinganya. Rasanya geli mendengar Asmara dan Samara saling mengalah atas nama sebuah kursi plastik usang.    "Orang biasanya satu duduk di sini." Samran menepuk pinggiran brankar. "Satu duduk di kursi plastik. Hari ini kok sok - sokan ngalah saling ngasih kursi plastik. Bikin enek!"    Samara hanya menunduk, bertahan dengan tampang datar.    Sementara Asmara tak kehilangan kata - kata. "Ya biar romantis dong, Adek Ipar. Gimana, sih?"    Samran melengos. "Kalau mau romantis - romantisan jangan di sini. Di sini tempat istirahat orang sakit. Udah ganggu, bikin enek pula." Samran terus mengomel.    "Hmh ... sensitif amat hari ini. Bilang aja kamu sirik. Jomblo, sih. Makanya punya calon istri dong! Kayak aku!"    Samran masih melengos.    "Atau kamu mau aku cariin jodoh?"    Samran menatap Asmara. Apa - apaan ia dicarikan jodoh?    "Tuh ... pasien cewek di pojokan boleh juga. Itu, sih, kalau dia mau sama kamu." Asmara menunjuk pasien itu.    Yang bersangkutan segera menunduk malu sembari membenarkan posisi kacamatanya yang melorot. Sementara Samran sendiri nampak salah tingkah. Sebenarnya ia memang sering diam - diam memperhatikan pasien itu.    Untuk menutupi salah tingkahnya, Samran memiliki ide brillian. Melanjutkan pengusirannya pada Asmara dan Samara. "Udah ... minggir sono cepetan! Keluar ke mana aja, asal jangan di sini. Cepet!"    Asmara terbahak keras sampai batuk - batuk. Samara lagi - lagi bertahan dengan tampang datar, hanya saja cara berdirinya canggung. Body language tak pernah berbohong, Bung!    "Duh ... demi nutupin salah tingkah kamu sampai tega ngusir kakak dan kakak iparmu sendiri." Asmara lanjut tertawa setelah mengatakannya.    Samran bingung. Kenapa Asmara selalu bisa menebak pikirannya dengan akurat, sih? "Udah buruan sana pergi! Semua pasien lagi ingin istirahat."    Asmara tak tega lagi menggoda Samran yang mukanya sudah merah padam. Antara menahan amarah dan malu.  "Calon istriku, mari ikut." Asmara meletakkan telapak tangan kanan di pinggang. Berharap Samara dengan sukarela menggandengnya. Sementara tangan kirinya menyeret tiang infus.    Berhasil. Meski dengan canggung dan tampang sedatar permukaan air, Samara bersedia menggandengnya.    Keduanya pun keluar dari Merkurius 9 dengan hati berbunga - bunga. Lorong yang memisahkan brankar sisi kiri dan kanan, bagaikan altar yang mengantar mereka ke pelaminan. Sedangkan para pasien dan keluarga penunggu, adalah para hadirin.    ~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~    Asmara mengajak Samara ke taman rooftop. Ia ingin Samara melihat pasien - pasien yang sedang terapi. Mereka bahkan duduk di bangku yang sama dengan Asmara dan Samran tiap kali ke sini.    Samara tak bisa mengalihkan perhatian dari pasien - pasien terapi motorik itu. Mereka terlihat kesakitan, namun sangat semangat demi kesembuhan.    "Samran juga terus merhatiin mereka tiap kali ke sini," lapor Asmara.    "Jadi kalian sering ke sini?" "Baru dua kali."    Samara mengangguk. "Kayaknya terapi itu nggak dikover asuransi. Kami mana mampu?"    Asmara bergeming. Sedang mencari topik lain untuk dibicarakan. Untung lah Asmara segera ingat dengan rencana semalam. "Sam ...."    Samara mulai terbiasa dengan panggilan aneh Asmara. "Iya?"    "Nonton, yuk?"    "Nonton apa?"     "Film lah."    "Oh, kita download film di laptop, terus nonton bareng?" Samara tahu cara seru - seruan seperti itu dari teman-temannya pencinta Korea.    Asmara menggeleng kasar. "Bukan itu. Tapi nonton yang sebenarnya."    Samara mengernyit. "Nonton yang sebenernya? Ke bioskop?"    "Ya, iya, lah. Ya kali nonton layar tancep."    "Bukannya gitu. Tapi ... emang boleh?"    Asmara tersenyum menerima sinyal positif dari Samara. "Selalu ada cara, Sam. Asal kamu bersedia, aku akan melakukan apa pun supaya bisa nonton sama kamu."    Samara nampak berpikir. "Aku nggak mau bahayain kamu. Bukannya polusi udara di luar nggak baik buat kesehatan kamu?"     "Iya, sih. Tapi aku bisa jaga diri kok. Bisa pakai masker, kan."    Samara belum juga setuju. "Emang kamu mau nonton film apa, sih? Sampai segitunya pengin nonton."    Asmara terkikik malu. "Kamu jangan bayangin aku nonton film superhero atau action, ya. Itu sama sekali bukan gayaku."    "Terus apa, dong? Horor?"    Asmara menggeleng. "Romance."    Samara tak bisa menahan tawa. "Jarang - jarang ada cowok suka romance."  Asmara mengangguk setuju. "Aku emang cowok anti - mainstream, sih."     "Kamu belum jawab pertanyaan aku tadi. Mau nonton film apa?"    "Judulnya 'Five Feet Apart'. Berkisah tentang cewek yang mengidap cystic fibrosis, namanya Stella. Hidupnya dihabiskan di rumah sakit. Kalau ke mana-mana pakek kanula."    "Kayak kamu?"    "Exactly. Stella ketemu sama Will. Cowok yang mengidap penyakit sama. Ke mana - mana pakek kanula juga.   Terus mereka saling jatuh cinta gitu, deh."     "Kayak Hazel sama Gus di 'The Fault in Our Stars' dong, ya."    "Mirip, tapi tetep beda dong. Dulu aku nonton 'The Fault in Our Stars' sendirian. Sekarang pengin dong, nonton 'Five Feet Apart' ditemenin cewek!" Asmara terkikik sendiri karena kata - katanya.    Samara ikut terkikik. "Kamu pengin banget, ya?"    "Pengin banget lah."    "Ya udah, kalau gitu aku mau."    Jawaban yang sebenarnya sudah Asmara duga, namun tetap terkejut dan senang setengah mati setelah benar  - benar mendengarnya.    ~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~ -- T B C --   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN