Rantang yang Tertinggal

1052 Kata
Samara terbelalak melihat kondisi Asmara. Pemuda itu nampak kesulitan bernapas dan kesakitan. Ia ingin mendekat, namun tak bisa karena Asmara dikerumuni oleh tim medis yang berusaha menolongnya.    Perhatian Samara teralih pada Samran. Ia segera membantu adiknya itu untuk bangkit dan kembali duduk di kursi rodanya. "Dek ... kenapa? Apa yang terjadi?" Samara benar - benar ingin segera tahu. Ia hanya pergi sebentar, tapi tiba - tiba saja hal ini terjadi.     "Aku juga nggak tahu, Buk!" Samran bingung harus menjelaskan dari mana. "Dia tadi kelihatan capek. Terus aku mau jalanin kursi rodaku sendiri. Dia nolak. Dia kayak lemes gitu, terus ambruk."    "Astaga ...." Samara benar - benar tak bisa percaya.    Jadi firasat buruknya saat mengobrol dengan Asmara via telepon kemarin, benar adanya. Asmara sedang tidak baik - baik saja.    Tim medis gagal membuat Asmara membaik dengan pertolongan pertama yang mereka lakukan. Seseorang membawa brankar beroda. Tim medis segera membopong tubuh Asmara ke atasnya, kemudian dengan cepat mendorong brankar itu memasuki area rumah sakit. Samara membuntut di belakang mereka dengan mendorong kursi roda Samran.    ~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~    Samara tak bisa tenang menunggu di luar bersama Samran. Rasanya sudah sangat lama, tapi dokter tak kunjung keluar dari ruangan itu.    "Buk ... yakin aja Bang Mara pasti baik - baik aja. Aku tahu dia kuat." Samran berusaha menenangkan kakaknya, meski ia sendiri sebenarnya juga was - was.     "Dek ... aku takut. Jangan - jangan Mara sakit karena makan masakan aku." Pikiran Samara mulai kacau sehingga terbesit banyak hal yang tidak - tidak.    "Sstt ... jangan mikir aneh - aneh, Buk. Lagian tadi Bang Mara makannya dikit banget kok. Seperti yang kita curigai sejak kemarin, kayaknya kondisi Bang Mara emang lagi kurang baik. Jadi mungkin karena itu dia sampai drop begitu."    Samara tak menjawab lagi. Ia hanya terus memanjatkan doa dalam hati supaya Asmara baik - baik saja.    Bayang - bayang mimik kesakitan Asmara masih terpatri dalam benaknya. Belum pernah ia melihat Asmara selemah itu. Membuatnya merasa hancur. Ingin Asmara membagi sakit itu dengannya.    Seorang lelaki tinggi nan tegap berjalan menelusuri lorong. Rautnya nampak tak asing. Lelaki berkumis dan berkaca mata itu menatap Samara dan Samran sekilas. Seperti keheranan dengan keberadaan mereka.    Pintu silver itu akhirnya terbuka. Seorang dokter keluar dari sana.    Lelaki tinggi itu segera menodong dokter dengan pertanyaan. "Bagaimana keadaan putra saya?"    Oh ... jadi lelaki itu adalah ayahnya Asmara. Pantas saja ia terlihat tak asing. Karena wajahnya mirip dengan Asmara.    "Keadaannya sudah stabil sekarang. Tapi dia masih belum sadar. Seperti yang saya bilang kemarin, kondisinya sedang menurun karena perkembangan stadium penyakitnya. Harusnya ia banyak makan dan istirahat. Tapi akhir - akhir ini nafsu makannya semakin buruk, dan ia tak bisa diam istirahat di kamar."    Lelaki itu menggeleng tak percaya. "Saya janji akan lebih mengawasi Mara setelah ini, Dok. Saya pastikan dia cukup makan dan istirahat."    "Ya, memang seharusnya begitu, Pak. Ya sudah, saya mohon undur diri. Mara sudah dipindahkan ke kamarnya. Tapi selama beberapa jam ke depan mohon untuk tidak diganggu dulu. Biarkan dia istirahat."    Lelaki itu mengangguk. "Baik. Terima kasih, Dok."    "Sudah tugas saya, Pak."    Kepergian dokter itu menjadi awal dari tatapan dingin lelaki itu pada Samara dan Samran. Kakak beradik itu segera menunduk dalam. Terlebih saat lelaki itu mulai melangkah mendekati mereka.    "Kalian siapa? Saya dengar dari beberapa suster, katanya tadi Mara ke atap dengan dua orang kakak beradik. Apa itu kalian?" Tatapan lelaki itu seakan melucuti Samara dan Samran. Ia nampak tidak suka. Namun berusaha menutupinya.    "Iya, Pak. Mara memang bersama kami tadi," jawab Samara apa adanya.    "Kalian ini siapa? Bagaimana bisa mengenal Mara?"    "Kami kenal di rumah sakit ini, Pak. Waktu itu adik saya dirawat, kami bertemu, saling mengenal, dan menjadi cukup akrab."    Lelaki itu tak langsung menjawab. Ia memang mendengar kabar burung tentang keceriaan Asmara akhir - akhir ini karena mendapatkan teman. Jadi mereka lah teman Asmara?    Dua orang ini memang telah mengembalikan keceriaan putranya. Namun ... mereka juga telah membuat Asmara banyak mengabaikan saran medis demi kebaikan kesehatannya. Buktinya akhir - akhir ini kondisinya semakin buruk dan lemah.    "Asmara baik - baik saja. Kalian juga dengar apa yang dikatakan dokter tadi, kan? Dia juga belum boleh diganggu. Jadi lebih baik sekarang kalian pulang."    Entah mengapa ucapan lelaki itu lebih terdengar sebagai sebuah pengusiran secara terang - terangan.    "B - baiklah, Pak. Kalau begitu, kami pamit. Semoga Asmara segera pulih." Samara menunduk masih tak berani menatap mata ayah Asmara.    Berbeda dengan Samran yang dengan lantang menatap tajam lelaki itu. Samara mulai memutar kursi roda adiknya, melenggang pergi, menjauh dari lorong yang bersangkutan.    "Padahal Bang Mara ramah dan baik. Kok bapaknya begitu, ya, Buk. Kayak Songong banget gitu!" Samran segera mengucapkan uneg - unegnya setelah mereka sampai di lorong selanjutnya.    "Sst ... nggak boleh gitu!" Samara langsung menegur Samran, meski sebenarnya sependapat.    "Dulu waktu Bang Mara cerita tentang papi maminya, ngasih kesan kalau orang tuanya baik. Tapi kok aslinya begitu. Jangan - jangan Bang Mara punya mami papi yang lain! Kasihan banget Bang Mara. Pasti dia tekanan batin punya bapak modelannya begitu. Makanya sakit terus nggak sembuh - sembuh."    "Sst ... Dek ... nggak boleh gitu, ah. Inget, Ayah kita nggak lebih baik dari beliau."    "Oops!" Samran menutup mulutnya sendiri setelah mengingat betapa beringas tabiat mendiang ayahnya. "Untung Ayah sudah berpulang ke rahmatullah, ya, Buk!"    Samara tak ragu menempeleng kepala adiknya. Semakin lama semakin ada - ada saja kelakuan mulut adiknya ini. Padahal Samara merasa sudah mendidiknya dengan baik. Tapi entah kenapa mulut Samran suka los dol.    "Tapi Ibuk sekarang lega, kan?"    "Lega kenapa?"    "Karena sudah terbukti, Bang Mara kambuh bukan karena makan masakan Ibuk. Tapi emang karena kondisinya."    "Iya," jawab Samara singkat. Sebenarnya ia masih memikirkan Asmara.    Bagaimana kondisinya saat ini? Samara benar-benar ingin melihatnya dulu sebentar sebelum pergi. Tapi mana bisa?    "Yah ... padahal rantang kita masih di kamarnya Bang Mara, ya, Buk ...."    "Dek, kamu tuh kok ya masih sempet-sempetnya mikirin rantang!"    "Ya gimana mau nggak sempet. Orang itu termasuk salah satu benda berharga nan mewah di rumah kita yang bobrok bin mau ambrol."    Samara hanya menggeleng tak percaya dengan kelakuan adiknya. Samara tak berniat menjawab obrolan Samran lagi. Pikirannya masih fokus pada Asmara.    Ia benar - benar takut dan khawatir karena dua hal. Khawatir dan takut dengan kondisi Asmara. Juga khawatir dan takut jika saja tak dapat bertemu dengan pemuda itu lagi setelah ini.    ~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~    -- T B C --   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN