"SURPRISEEEEEE!" Asmara mengucapkannya dengan tampang semringah kelewat batas.
Samara dan Samran masih sebegitu terkejutnya. Mereka hanya diam dengan mulut terbuka.
"Aku nggak disuruh masuk, nih?" Asmara sampai harus mengatakan hal itu agar sang pemilik rumah peka.
Samara akhirnya tersadar. Ia memundurkan posisi kursi roda Samran. Memberi Asmara ruang untuk masuk rumah.
"Bang Mara!" Samran lagi - lagi menyeletuk.
Selain karena belum percaya dengan apa yang terjadi. Ia juga ingin memastikan bahwa seseorang yang sedang bertamu ke rumah reot mereka ini adalah benar - benar Asmara.
"Iya, ini aku, Adek Ipar!" Asmara cengengesan. Pemuda itu benar - benar nampak ceria. Kontras dengan rautnya yang nyata pucat dan kuyu.
"Aku nggak disuruh duduk, nih?" Asmara bertanya lagi. Jujur ia harus cepat - cepat duduk. Kalau tidak, ia takut akan kumat sebelum waktunya.
"S - silakan duduk, Mara!" Samara terbata - bata.
"Akhirnya ...." Asmara lega. "Makasih, Sam ... calon istriku." Asmara cengengesan lagi. "Duh ... betapa rindunya aku padamu, Sam!" Asmara tersenyum malu - malu setelah mengatakannya.
Yah ... kini Samara dan Samran sudah yakin bahwa yang datang benar - benar Asmara yang mereka kenal. Asmara yang saat ini sedang akan mereka kunjungi.
"Ngomong - ngomong kalian kok dandan necis banget! Mau ke mana? Bawa - bawa rantang pula. Sam, kamu nggak mau nemuin cowok lain, kan?" Asmara nampak sedih.
Samara buru - buru melangkah. Ia merasa harus segera memastikan apa yang terjadi. Pun demikian Samran. Cowok itu menggeser kursi rodanya sendiri, menyusul Samara mendekati Asmara.
Samara duduk di sebelah Asmara. Sementara Samran duduk di seberang mereka bersama kursi rodanya. Jarak mereka terhalang oleh meja bobrok yang sudah tak layak pakai.
"Kamu dandan secantik ini bukan buat cowok lain, kan, Sam?" tanya Asmara lagi.
Samara tak berniat menjawab pertanyaan konyol Asmara. Ia hanya ingin Asmara memberikan penjelasan akan kedatangannya. "Mara ...." Baru satu kecap bicara, Samara sudah dibungkam oleh kata - kata Asmara lagi.
"Kamu tetep setia sama aku, kan, Sam? Kamu nggak selingkuh, kan?" Asmara benar - benar pasang tampang sedih.
Samara tahu, Asmara bertingkah seperti ini bukan karena pemuda itu serius menanyakan kesetiaannya. Asmara hanya berusaha menghindar. Ia enggan menjelaskan sebab dan kronologi kedatangannya. Karena pastinya ia datang ke sini bukan dengan cara yang baik. Melainkan ....
"Mara ... jawab jujur, ya! Kenapa dan gimana kamu bisa ada di sini?" Samara menatap pemuda itu lekat.
Asmara menunduk. Ia benar - benar enggan menjelaskan.
"Bang Mara ... ayo jawab, Bang!" seru Samran. "Aku sama Ibuk dandan begini buat jenguk Bang Mara. Rantang ini isinya makanan buat Bang Mara!" Samran mengangkat rantang hijaunya tinggi - tinggi.
"Wah!" Asmara takjub. "Jadi kalian dandan necis dan bawa rantang khusus buat aku? Wah ... emang sering terjadi kesamaan dalam hal apa pun ya kalau masalah jodoh. Ya kali, dari tujuh hari dalam seminggu. Dan 14 pilihan hari dalam dua minggu. Eh, rencana kalian untuk jenguk aku, dan rencanaku untuk kabur, kita memilih hari yang sama!"
Asmara girang bukan main. Kontras dengan Samara dan Asmara.
"KABUR?" ulang dua kakak beradik itu atas pernyataan mengejutkan Asmara.
"Oops!" Asmara menutup mulutnya sendiri. "Maksudku bukan kabur, tapi rencanaku buat main ke rumah kalian!"
"Mara ... ayo tolong jawab serius. Kenapa dan bagaimana kamu bisa ada di sini!" Samara mengulangi pertanyaannya.
Asmara menunduk. Raut sedihnya nampak jelas.
"Mara ... ayo jelasin! Kamu kelihatan nggak sehat sama sekali. Harusnya kamu dirawat, kan? Kenapa malah di sini?"
Asmara menatap Samara takut - takut. "Pertama ... aku mau balikin rantang itu." Asmara menunjuk rantang yang ia letakkan di meja. "Maaf karena rantangnya penyok. Ada drama fantastis di balik penyoknya rantang kalian."
Samara dan Samran sama - sama menatap rantang yang bersangkutan. Ya ... ada satu wadah rantang yang memang penyok.
"Kedua, aku kangen banget sama kalian. Aku nggak tahan lagi nahan kangen. Ketiga, aku udah bosen sama suasana rumah sakit. Bosen jalanin pengobatan bertahun - tahun. Keempat, aku pengin nepatin janji ajak kamu nonton. Kelima ...."
Karena Asmara menjeda bicara cukup lama, Samara memanfaatkan kesempatan untuk bicara.
"Mara ... tapi kondisi kamu ...." Samara menatap Asmara dengan mata berkaca - kaca. "Kamu harusnya jalanin perawatan. Bukan di sini. Toh tadi kami sudah mau berangkat jenguk kamu. Ayo, kita balik ke rumah sakit sekarang!"
Asmara menjawab ucapan Samara dengan melanjutkan penjelasannya. "Kelima ... aku menghindari ayah dan ibuku. Kelakuan mereka semakin hari semakin bikin aku muak."
Samara pun terdiam. Samran menatap Asmara penuh tanya. Lalu pemuda itu mulai bercerita.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
Dua hari lalu.
Keadaan Asmara tak kunjung membaik. Masker oksigen itu senantiasa menemani hari - harinya, menggantikan peran kanula.
Asmara sadar, namun seakan tertidur. Membuka mata amatlah sulit. Keinginannya untuk bangkit sama sekali tak ada.
Sore ini giliran suster Lisa menyeka Asmara. Suster manis itu menatap Asmara nanar. Dari sekian banyak suster di rumah sakit ini, suster Lisa adalah salah satu yang paling dekat dengan Asmara.
Tentu saja suster Lisa sedih melihat kondisi Asmara tak ada perkembangan. Asmara sudah tinggal di rumah sakit ini sejak ia belum lulus kuliah. Hari - hari awalnya menjadi suster sangatlah berat. Sering terjadi senioritas.
Meskipun dulu Asmara bukan sosok yang ceria, namun sosoknya tetap berhasil mendongkrak semangat suster Lisa untuk bangkit dan bertahan melewati hari - hari sulit.
Ia dan Asmara menjadi dekat. Hubungan mereka sudah seperti kakak adik. Makanya suster Lisa tak terima Asmara kehilangan semangatnya seperti ini.
Suster Lisa menyeka perlahan setiap inci kulit putih bersih Asmara. Sesekali ia menatap raut Asmara yang pucat.
"Mara ...." Suster Lisa bergumam.
Asmara tak memberi tanggapan. Namun sang suster Asmara mendengar.
"Kamu inget sama suster cowok baru yang tempo hari aku ceritain? Yang ganteng banget, super baik, dan berhasil bikin hatiku klepek - klepek? .... Dia ... ternyata udah nikah, Mara. Aku patah hati."
Suster Lisa menatap raut Asmara. Bahkan untuk bernapas pun Asmara sulit. Seandainya ia sehat, pasti sekarang suster Lisa sudah diledek habis - habisan.
"Aku langsung kehilangan semangat. Rasanya kehilangan semangat, ternyata senyesek ini. Aku yang sehat aja menderita. Apalagi kamu."
Suster Lisa selesai menyeka Asmara. Ia mengaitkan kembali semua kancing piyama Asmara. Lalu membereskan semua peralatan menyeka.
"Mara ... aku mau kamu kembali semangat. Kembali menjadi sosok Asmara yang ceria, yang menebar banyak hal positif pada semua orang. Dan yang terpenting, keinginan kamu untuk sembuh kembali."
Suster Lisa berbisik di telinga Asmara. "Aku tahu ini gila. Sebut aja ini hikmah dari patah hati yang aku alami. Ini satu - satunya cara agar kamu kembali mendapatkan semangat. Aku nggak peduli setelah ini akan dipecat. Toh aku ada kerjaan di klinik. Bisa juga cari kerjaan di rumah sakit lain. Mara ... aku akan kasih tahu kamu alamat Samara."
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
-- T B C --