"Semenjak itu, kondisiku berangsur - angsur membaik. Dan hari ini akhirnya aku bisa ada di sini." Cerita Asmara tentang asal muasal kaburnya, akhirnya selesai.
"T - tapi, Mara ... Kamu seharusnya nggak boleh ada di sini. Kondisi kamu nggak memungkinkan berada di luar, kan? Aku takut kalau ...."
Asmara segera menyentuh kedua lengan atas Samara. Matanya menatap gadis itu lekat. "Aku ngerti kekhawatiran kamu, Sam. Makasih banget udah peduli sama aku. Tapi ... nggak apa - apa aku di sini. Beneran. Toh aku pakai kanula, kan. Udah gitu saat di jalan tadi, aku juga pakai masker." Asmara mengeluarkan masker hitamnya dari dalam saku agar Samara percaya.
"Nggak bisa gitu, Mara. Mungkin saat ini kondisi kamu masih bisa menyesuaikan. Tapi gimana nanti? Ayo ... tadi tujuanku sama Samran emang mau jenguk kamu. Kita balik ke rumah sakit sekarang aja."
Asmara menggeleng. "Apa bedanya sekarang aku ada di rumah sakit atau nggak, hm? Toh nanti kita juga tetep keluar nonton bioskop, kan?"
"Nggak bisa gitu, Mara. Ya, nanti kita emang nonton. Tapi dengan kamu masih dirawat di rumah sakit sekarang, akan meminimalisir kemungkinan terjadinya sesuatu yang nggak kita inginkan. Kamu ngerti maksudku, kan?"
Asmara tersenyum tipis. Senyuman yang miris. "Susah payah aku pergi dari rumah sakit. Nyelinap dari lorong ke lorong, sesekali lari karena takut kerekam CCTV. Aku yakin, sekarang aku udah ketahuan. Dan mereka sedang nyari aku. Aku nahan panas dan sesek saat nunggu bus di halte. Haus pengin beli es tapi takut mati.
"Lagian uang saku yang dikasih suster Lisa Blackpink nggak sebanyak itu buat beli es segala. Di bus, semua orang pada lihatin aku. Gara - gara penampilanku yang nyeleneh. Aku jalan cukup jauh dari gang tikus satu ke gang tikus lain demi nemuin rumah ini. Dan sekarang ... saat aku sudah sampai tujuanku, kamu malah ajak aku balik ke rumah sakit?"
Samara terdiam. Ia bisa melihat sorot terluka dan kesedihan Asmara. "Mara ... bukan gitu maksud aku. Aku hanya nggak ingin kamu kenapa - kenapa."
"Sam, kalau aku boleh jujur, sebenarnya aku sengaja kabur dari rumah sakit. Kenapa? Karena aku tahu waktuku nggak banyak lagi."
Hati Samara mencelos mendengar ucapan Asmara.
"Aku nggak pengin habisin sisa hidupku, bergantung pada mesin dan alat - alat medis di rumah sakit. Aku juga nggak mau, dalam sisa waktu yang nggak banyak itu, aku hanya pasrah, tiduran di brankar, nunggu malaikat maut menjemput. Aku mau, si sisa hidupku, aku lakuin banyak hal sama orang - orang yang bikin aku semangat dan bahagia — kalian."
Air mata Samara terjatuh. Samran pun nampak kesulitan menahan tangis.
"Kalau aku terus di rumah sakit, mungkin aku bisa mati lebih cepat. Kenapa? Karena aku akan ketemu Ayah lagi. Hatiku bakal meranggas nunggu kedatangan Bundaku, tapi dia nggak pernah datang. Aku ....."
"Oke, Mara, oke!" sahut Samara akhirnya. "Aku nggak akan minta kamu untuk kembali ke rumah sakit sekarang. Tapi, aku mau kamu terbuka tentang kondisi kamu. Kalau kamu ngerasa sakit, kamu harus bilang. Biar aku bisa segera nolongin kamu."
Asmara tersenyum lagi. Kali ini senyuman bahagia yang tulus. "Makasih, Sam .... Makasih banget!" Asmara menggenggam jemari kurus Samara.
"Tapi, Bang Mara ...." Samran menyela.
Asmara dan Samara dengan kompak menatapnya.
"Kenapa, Dek?" Samara yang bertanya, penasaran dengan apa yang akan Samran katakan.
"Nggak, Buk ... aku cuman heran. Tempo hari saat Bang Mara nawarin diri buat ajarin aku desain, Bang Mara bercerita tentang papi maminya. Kesan saat Bang Mara bercerita, seolah - olah papi mami itu adalah sosok orang tua terbaik di dunia. Ya maaf - maaf aja nih. Bukannya aku nggak sopan atau ngatain orang tua. Ini cuman sebuah bentuk kejujuran. Tapi saat ketemu kemarin, aku sama sekali nggak menjumpai sosok yang menyenangkan. Bang Mara pun memanggilnya ayah, bukan papi. Sekarang Bang Mara malah terang-terangan menunjukkan ketidak sukaan padanya."
Senyuman miris Asmara kembali. "Jujur, sosok papi mami yang aku ceritakan, hanya lah salah satu dari khayalan tinggiku. Aku begitu merindukan sosok orang tua yang baik, sampai - sampai aku sering berimajinasi, menciptakan sosok papi dan mami dalam pikiranku. Waktu itu aku minta tolong ke ayah buat bawain laptopku ke rumah sakit, buat ajarin kamu desain. Kamu tahu apa yang dia katakan?"
Samran menggeleng.
"Dia bilang, 'jadi kamu sudah merasa lebih sehat, dan mulai mendesain lagi? Bagus, deh. Dengan begitu, nanti saat kamu sudah benar - benar sembuh, kamu bisa langsung terjun ke perusahaan, sembari lanjutin kuliah.' Kamu tahu gimana rasanya hatiku? Sakit ... panas ... heran ... bingung ... dengan pemikiran ayah kandungku sendiri, yang melulu memikirkan dunia. Sama sekali nggak mikirin perasaan dan keselamatan anaknya."
Pikiran Samara dan Samran sama. Nyatanya, hidup Asmara yang semula mereka kira sempurna, ternyata tak seindah kelihatannya.
Ia dilahirkan dalam keluarga yang bergelimang harta. Namun ia sakit. Dan orang tuanya ... ya ... begitu adanya.
Meski tak pernah tahu seberapa menderitanya Asmara selama ini, namun mereka turut merasakannya. Terbayang betapa sulitnya.
"Aku hanya diem dan senyum buat nanggepin omongan Ayah. Karena nggak mungkin aku jujur pengin ajarin kamu desain. Yang ada, dia nggak bakal sudi bawain laptopku ke rumah sakit."
Samran tersenyum kecut. "Bang Mara, maaf ya. Secara nggak langsung, aku udah bikin Bang Mara terluka karena kejadian itu. Hanya demi ajarin aku desain, Bang Mara harus korban perasaan."
"Kenapa minta maaf, sih? Justru karena ajarin kamu desain, aku mendapat semangat lain. Aku jadi merasa berguna. Merasa masih dibutuhkan orang lain. Seharusnya aku bilang makasih. Tapi maaf banget, tadi laptopku nggak kebawa. But ... jangan khawatir. Aku tetep bakal ajarin kamu desain, sampai mahir."
Samran tersenyum. "Makasih, Bang Mara."
"Selain ajarin Samran desain, aku juga ada niatan buat jadi editor pribadi kamu, Sam." Asmara mengelus punggung tangan Samara.
"Maksudnya?" Samara tak mengerti arah pembicaraan Asmara.
"Kamu ada niatan pengin buka warung sendiri, sehingga nggak perlu kerja rodi di warung orang lagi, kan?"
Samara mengangguk.
"Makanya itu, kita perlu modal buat wujudin impian itu. Karena aku nggak ada materi buat bantu kamu, aku hanya bisa bantu dengan tenaga dan pikiran. Kita sekarang hidup bertiga di sini, kamu kerja di luar, aku dan Samran kerja di rumah. Selain kerja di luar, kamu ada satu kerjaan plus yang harus dikerjain di rumah. Tapi nggak perlu tiap hari, kok."
Samara dan Samran masih tak mengerti arah pembicaraan Asmara. Oleh karenanya, sang penggagas ide segera memperjelas.
"Bikin video!"
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
Penonton lain mulai berdatangan, memenuhi setiap deret kursi beludru merah. Asmara dan Samara berada di deret tengah. Posisi terbaik untuk nonton film.
Layar besar masih menunjukkan iklan - iklan dan jajaran trailer film - film yang akan tayang.
Lampu bioskop masih menyala. Orang - orang masih dengan bebas memandangi Asmara yang mengenakan kanula. Tidak nyaman tentu saja. Tapi mulai sekarang Asmara dan Samara harus terbiasa dengan pandangan - pandangan itu.
Lampu bioskop mati. Tanda film akan segera diputar.
"Akhirnya ...," gumam Asmara.
Samara terkikik. "Seneng, ya, akhirnya bisa nonton salah satu list film must watch kamu tahun 2019 ini?"
"Ya, iya, lah. Apalagi nontonnya sama kamu." Asmara nyengir kuda seraya mengunyah popcorn dengan heboh.
"Enak popcorn-nya?"
Asmara menggeleng. "Tawar."
"Gitu masih dimakan terus!"
"Ya dari pada bengong. Mana harganya mahal. Padahal nggak pakek gula, nggak pakek garem, nggak pakek apa - apa. Payah!"
Samara hanya tersenyum. Ia lalu kembali fokus pada layar lebar. Di sana sudah menampilkan adegan awal film 'Five Feet Apart'. Stella pasien berambut ikal yang sedang dijenguk oleh teman - temannya di rumah sakit.
Setelah teman - temannya pulang, barulah Stella memakai kembali kanulanya. Miris sebenarnya. Bahkan di perut Stella ada lubang khusus yang digunakan untuk konsumsi obat.
Sesekali Samara menatap Asmara di sampingnya. Pemuda itu nampak fokus, menikmati setiap adegan film.
Samara sebenarnya hanya memastikan Asmara baik - baik saja.
Jujur ia sangat takut akan terjadi apa - apa pada pemuda itu sebab terpapar dunia luar, dan jauh dari jangkauan medis.
"Kenapa?" Asmara memergoki Samara memandanginya.
Samara buru - buru menggeleng.
"Itu, tuh ... si Will." Asmara menunjuk tokoh utama laki - laki yang akhirnya muncul. "Mirip, kan, dia sama aku? Gantengan aku dikit malah." Asmara menaikturunkan alisnya.
Samara susah payah menahan tawa. Lalu menggeleng lagi. Meski sebenarnya ia mengakui bahwa Asmara lebih tampan dibanding tokoh Will.
"Ih, kamu suka nggak ngaku. Padahal sebenernya setuju aku lebih ganteng!" protes Asmara. Asmara seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Samara.
"Nggak. Jangan kepedean!"
"Ih ... orang yang suka berkata bohong, namanya munafik lho, Sam!"
"SSSTTTTT!" Suara dari para penonton lain yang terganggu berisiknya ocehan Asmara.
Asmara segera tutup mulut. Samara kembali susah payah menahan tawa. Geli melihat ekspresi kaget Asmara yang baru saja kena semprot.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
-- T B C --