Kota Jakarta.
Dua orang pemuda baru saja bersiap untuk meninggalkan kota Jakarta. Mereka adalah Milo dan Ruben, remaja tujuh belas tahun yang sudah menjadi sahabat Al semenjak mereka mengenakan seragam putih abu-abu.
Satu hari tanpa cucu tunggal dari pasangan Kaddar dan Morena itu, membuat Ruben dan Milo uring-uringan dan seakan kehilangan belahan jiwa.
“Sudah siap, Milo.” Ruben, dengan perawakan sedikit gemuk dan tinggi seratus enam puluh tiga sentimeter, memukul bahu sahabatnya.
Milo mengangguk, “Aku nggak sabar pengen ketemu Al. Rasanya hidup aku emang hampa banget tanpa cowok tampan itu.” Milo merenung, menatap langit-langit kamar sahabatnya.
“Woi, sadar Woi ... Kamu sama Al tu sama-sama rudal. Jangan macam-macam. Mau kamu nyebur ke dalam neraka jadi sahabatnya para iblis.”
Milo seketika menyeka kasar muka sahabatnya, “Siapa yang macam-macam, Dodol! Aku cuma bilang kalau aku kangen sama Aliando Geneva. Dia itu sahabat terbaik yang pernah aku kenal.”
Ruben pun terdiam. Pemuda hitam manis itu mengangguk-angguk.
“Kalau begitu, ayo segera berangkat. Nanti kita ketinggalan kereta.” Ruben kembali menyikut lengan sahabatnya yang posturnya lebih tinggi dua belas senti meter dari Ruben.
“Lets go ....” Milo sangat bersemangat.
Ke dua remaja itu pun akhirnya keluar dari kamar Ruben dan menemui ke dua orang tua Ruben. Sementara Milo sendiri sudah berpamitan kepada ke dua orang tuanya sebelum ia ke rumah Ruben.
“Jadi juga berangkat?” seorang wanita yang dipanggil Ruben dengan sebutan mama, membalas uluran tangan putranya.
“Jadi dong, Ma. Aku dan Milo bosan di Jakarta kalau tidak Al. Sesekali kami ingin menikmati suasana desa.” Ruben nyengir kuda.
“Baguslah ... kalian berdua memang harus seperti itu. Titip salam untuk Aliando.”
“Siap, Ma.” Ruben menciumi ke dua pipi ibunya.
“Hati-hati kau di sana! Jangan banyak kali makan kau itu. Nanti pusing orang karena kau dan cepat pula habis berasnya.” Ayah milo menasehati putranya dengan logat kampung halamannya.
Milo terkikik mendengar ucapan ayah Ruben. Ruben menatap sahabatnya, matanya membesar.
“Sudah, sudah ... kalau memang ingin berlibur di kampungnya Al, pergilah. Itu mang Ujang sudah siap mengantar kalian ke stasiun.”
“Iya, Ma. Ruben dan Milo pergi dulu.”
Ayah dan ibu Ruben mengangguk secara bersamaan. Mereka berdua mengikuti langkah kaki anaknya menuju pintu utama. Mereka melepas kepergian Ruben dan Milo dengan senyuman.
“Ruben, Milo, hati-hati si jalan dan baik-baik di kampung orang, Nak. Jangan membuat masalah di sana.” Kembali, ibunda Ruben memberikan wejangan.
“Siap, Ma! Ruben dan Milo pergi dulu. Bye ....”
Mobil itu pun melaju meninggalkan rumah Ruben menuju stasiun kereta api Gambir yang akan membawa mereka ke Purwokerto.
“Mang Ujang, makasih ya udah nganterin kami ke sini.”
“Sama-sama, Den Ruben. Tapi mengapa aden berdua ini tidak mau diantar ke lokasi langsung seperti yang sudah diperintahkan ibu?”
“Kami berdua ini nggak mau jadi anak manja, Kang. Biarlah kami ini berusaha ke sana dengan angkutan umum. Lagi pula, akang’kan dibutuhkan mama dan papa di rumah.” Ruben tersenyum.
“Siap, Den. Den Ruben dan Den Milo hati-hati di jalan. Kalau begitu, akang permisi dulu ya ....”
“Okay, Kang.”
Sopir Ruben pun pergi meninggalkan stasiun Gambir.
Ruben dan Milo berjalan beriringan menuju salah satu gerbong kereta. Tidak butuh waktu lama untuk ke dua pemuda itu menemukan nomor kursi mereka.
Setelah menemukan nomor kursi mereka, Milo dan Ruben pun mendudukkan b****g mereka di sana.
Milo menarik napas panjang seraya menatap langit-langit kereta, “Ben, ini pertama kalinya aku naik kereta lho. Biasanya kalau kemana-mana selalu naik mobil bersama mama dan papa.”
“Apa bedanya sama aku? Aku bahkan lebih sering naik pesawat dari pada naik kereta. Ini juga pengalaman pertama.”
Milo memiringkan wajahnya. Pria itu menatap sahabatnya yang tengah menatap langit-langit kereta.
“Ben, kira-kira nanti kita nyasar nggak ya?”
Ruben seketika menatap Milo, “Hush! Kamu ini bicara apa. Malu dong sama badan. Kita ini sudah tujuh belas tahun, sudah dewasa. Lagi pula kita juga pergi berdua. Masa kalah sama Al yang hanya sendirian?”
“Iya juga sih ... Al hanya pergi sendirian, sementara kita berdua.”
“Kamu sich, pakai acara nolak segala waktu Al ngajakin kita berdua.”
“Aku mana tahu kalau akan sehampa ini tanpa Aliando.”
Ruben menepuk pipi kanan Milo seraya merapatkan ke dua giginya, “Tolong ya, aku geli dengan kata-kata itu.”
“Memang kenyataannya hampa’kan? Kamu juga merasakannya’kan?”
Ruben terdiam. Pemuda bertubuh sedikit tambun itu kembali melabuhkan pandang ke langit-langit kereta. Apa yang dikatakan Milo memang benar. Ia, Milo dan Aliando memang begitu dekat sampai-sampai mereka pun sering minum dalam satu gelas yang sama. Mereka bertiga sama-sama anak tunggal dan sudah mengganggap satu dengan lainnya bersaudara.
Asyik merenung, kereta yang ditumpangi oleh ke dua pemuda itu pun bergerak. Untuk pertama kalinya, Milo dan Ruben merasakan tubuh mereka bergoyang di atas ular besi panjang yang berjalan di atas rel besi.
“Asyik juga,” lirih Ruben yang duduk di bagian tepi jendela. Pemuda itu mulai menikmati kota Jakarta lewat jendela kereta yang ia tumpangi.
Baru satu jam kereta itu berjalan, Milo dan Ruben sama-sama terlelap. Mereka melewatkan banyak tempat indah hingga kereta itu berhenti di stasiun Purwokerto.
“Mas ... Mas ... sudah sampai, Mas.” Seorang prami membangunkan Milo dan Ruben.
Ke dua pemuda itu terjaga. Mereka bersamaan meregang tubuhnya.
“Sudah sampai ya, Mbak?” Milo mengucek matanya, sementara Ruben terus menatap wanita cantik yang bertugas melayani semua penumpang kereta api.
“Sudah, Mas. kita sudah sampai di stasiun Purwokerto.”
Melihat sahabatnya tidak henti menatap sang prami, Milo pun menutup wajah Ruben dengan telapak tangan kirinya.
“Sudah selesai bengongnya, Mas Bro. Kita harus segera mencari bus menuju Wonosobo,” lirih Milo namun masih bisa didengar oleh sang prami.
“Mas-mas ini mau ke Wonosobo, ya?”
“Eh, si mbaknya dengar ya, hehehe ... Iya, Mbak. Kami ini mau ke Wonosobo. Naik busnya di mana ya?”
“Lho, apakah masnya tidak diberi tahu kalau kita sudah ada bus terusan ke Wonosobo.”
“Maksudnya, terusan bagaimana ya?”
Sang prami menatap jam tangannya sesaat, lalu kembali melabuhkan pandang ke arah ke dua pemuda asal Jakarta itu.
“Masih ada waktu, Mas. Sebentar, saya telepon’kan bagian bus terusan.”
Milo dan Ruben masih terheran. Sesekali mereka saling berpandangan. Sementara sang prami mulai menghubungi seseorang.
“Mas, Alhamdulillah busnya masih belum berangkat. Saya sudah sampaikan bahwa ada dua penumpang lagi yang hendak ke Wonosobo. Mereka sudah menyiapkan dua kursi kosong untuk mas-nya.”
“Owh ... terima kasih, Mbak cantik. Tapi di mana kami bisa menemui busnya?”
“Mas-nya keluar dulu dari kereta, lalu berjalan menuju gerbang stasiun. Di luar busnya sudah tersedia dan sedang menunggu mas-nya berdua.”
“Hhmm ... begitu ya, Mbak. Baiklah ... kalau begitu kami permisi dulu.” Milo dan Ruben pun kembali menyandang ransel mereka dan bangkit dari kursi penumpang.
“Hati-hati mas-nya berdua.”
“Sama-sama, Mbak.”
Ruben dan Milo pun berlalu meninggalkan kereta api menuju gerbang utama.
“Ben, itu bukan busnya?” Milo menunjuk ke sebuah bus.
Ruben mengangkat ke dua bahunya, “Mana aku tahu.”
“Ya sudah, ayo ke sana saja. Kita tanyakan.”
Ruben mengangguk dan mengikuti langkah kaki Milo menuju salah satu bus yang bertuliskan “ANGKUTAN TERUSAN KERETA API”.
“Permisi, Pak. Maaf, kami mau ke Wonosobo, apakah benar ini busnya?” Milo bertanya dengan ramah ke salah seorang petugas yang berdiri di samping mobil.
“Mas-mas ini yang baru turun dari kereta, ya? Yang sudah di pesankan kursi oleh salah seorang prami?”
Lagi-lagi, Milo dan Ruben saling pandang. Mereka tidak tahu apa itu prami yang dimaksud oleh petugas bus.
“Maaf, Mas. Prami itu apa?”
“Masnya ini belum tahu apa itu prami?”
Ruben dan Milo sama-sama menggeleng.
“Prami itu sama dengan pramugari di pesawat. Tugasnya melayani semua penumpang kereta api. Jadi, wanita dan pria yang melayani mas-mas ini di kereta api tadi, disebut prami.”
“Oh, begitu ya ... hehehe ....”
“Ya sudah, kalau begitu masnya silahkan naik.”
“Baik, Mas. Terima kasih.”
Milo dan Ruben pun naik ke atas bus dan duduk di bangku kosong yang sudah disiapkan untuk mereka berdua. Tidak lama, bus itu pun melaju, meninggalkan stasiun Purwokerto menuju Wonosobo.
“Ben, repot juga ya kalau mau ke kampungnya Al.”
“Iya, nanti dari Wonosobo kita harus naik bus lagi ke Dieng Batur.”
“Iya, panjang banget perjalanannya. Andai saja bukan kare Aliando, aku enggan datang ke sini. Ribet dan jauh. Pegel pinggang aku.” Milo mulai mengeluh.
“Sabar ... mudah-mudahan nanti kampungnya Al emang keren. Jadi rasa penat yang kita rasakan saat ini dapat tergantikan dengan keseruan di sana.”
“Semoga saja.” Milo menyandarkan kepalanya di sandaran bus.
Sebenarnya bus itu cukup nyaman. Sopir pun mengemudikan mobilnya dengan tenang. Namun dua anak kota itu memang tidak terbiasa melakukan perjalan jauh secara mandiri seperti itu sehingga membuat mereka berdua jenuh dan sangat lelah.
Berbeda dengan perjalanan dari Jakarta ke Purwokerto yang sebagian besar waktu mereka, mereka habiskan dengan tidur. Kali ini Milo dan Ruben sama sekali tidak memicingkan mata mereka barang sedetik pun. Keindahan alam perkampungan, membuat mata keduanya segar dan tenang.
Hingga tidak terasa, bus pun berhenti.
“Ben, ayo kita turun.” Milo turun lebih dahulu, disusul Ruben yang duduk di dekat jendela.
Ke dua pemuda itu pun turun dan berjalan menilnggalkan bus terusan menuju sebuah bus jurusan Wonosobo – Dieng Batur.
“Mas, nanti tolong turunkan kami di pertigaan Dieng Batur ya ...,” ucap Milo sesaat setelah mendudukkan bokongnya, kepada kernet bus.
“Mas-mas ini mau kemana?” tanya sang kernek bus.
“Kami ingin ke desa Sembungan, Mas.”
“Owh, baiklah.”
Milo mengangguk, sementara Ruben masih asyik memerhatikan sekitar.
Hampir satu setengah jam Milo dan Ruben berada di atas bus tersebut, hingga mereka pun diturunkan di pertigaan Dieng Batur.
“Mas, masnya berdua nanti naik ojek saja. Itu ada pangkalan ojek. Nanti masnya berdua akan di bawa ke desa Sembungan.”
“Owh, baiklah ... Terima kasih, Mas.”
Tanpa berlama-lama, Milo dan Ruben pun segera menuju pangkalan ojek yang memang berada di persimpangan itu. Dua tukang ojek pun membawa ke duanya menuju pasar desa Sembungan, seperti yang di arahkan oleh Aliando lewat pesan w******p.
Sesampai di pasar desa Sembungan, Ruben dan Milo turun dari ojek dan membayar ongkos ojek.
“Sekarang bagaimana?” tanya Ruben, bingung.
“Aku akan coba hubungi Al.” Milo mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Aliando.
“Sial!” gumam Milo seraya menggoyang-goyang ponselnya.
“Ada apa?”
“Sama sekali nggak ada sinyal.”
“Terus sekarang bagaimana?” Ruben menatap ke sekeliling.
“Tunggu!”
Milo membuka aplikasi w******p. Ia kembali memerhatikan pesan yang sudah dikirimkan Aliando kepadanya.
“Pos ronda, sebelahnya ada warung makan mbak Nani. nanti ada mobil cary warna merah yang berhenti di depan atau samping pos Ronda. Berdiri saja di sekitar mobil cary, nanti akan ada seseorang yang menghampiri kalian,” lirih Milo seraya membaca pesan yang ada di layar ponselnya.
“Itu, bukan?” tanya Ruben seraya menunjuk ke sebuah mobil cary berwana merah.
Milo mengedarkan pandang. Ia menatap sebuah spanduk yang tertulis di bagian atas warung yang terdapat di samping pos ronda.
”Warung makan mbak Nani,” lirih Milo membaca isi spanduk itu.
“Gimana?” tanya Ruben seraya menyikut lengan kanan Milo.
“Sepertinya iya ... coba kita dekati, lalu kita berdiri saja di samping mobil itu. Mana tahu memang ada yang mendekati.”
Ruben mengangguk. Pemuda itu lebih dahulu melangkahkan kakinya menuju mobil cary merah yang baru saja dilihatnya.
“Ben, tunggu!” Milo mengejar karena pria itu tidak segera melangkah setelah Ruben mulai melangkah.
Ke dua pemuda itu pun berdiri di samping mobil. Mereka terlihat bingung, sangat bingung.
Seperti yang dikatakan dalam pesan yang baru saja dibaca oleh Milo, seorang pria datang menghampiri mereka.
“Mau kemana?” tanya sang pria.
“Kami mau ke desa Pandora, Mas.” Ruben menjawab, ramah.
“Desa Pandora? Kalian ini siapa? Dari mana? Tahu desa Pandora dari mana?” Sang pria mendekat dan berbicara dengan sangat lirih hampir berbisik.
“Kami ini cucunya kakek Kaddar.”
“Cucu kakek Kaddar? Kalian jangan berbohong.” Pria itu menatap ke duanya dengan tatapan tajam.
“He—eh ... maaf, Mas. Sebenarnya kami ini adalah sahabatnya Aliando, cucunya kakek Kaddar. Aliando yang menyuruh kami datang ke sini.”
“Benar’kah?”
“Kalau mas tidak percaya, silahkan hubungi Al.” Ruben menjawab dengan gemetar. Ia takut melihat tatapan tajam sang pria.
Sang pria mendesah sesaat lalu berdiri dengan tegak, “Baiklah, silahkan naik. Tapi kalian harus sabar sebab mobil ini akan berangkat setengah jam lagi. Menunggu penumpang lainnya yang tengah berdagang.”
Ruben dan Milo mengangguk secara bersamaan. Tanpa berbicara sepatah kata pun, mereka berdua akhirnya naik dan duduk di dalam mobil seraya menunggu penumpang lainnya.