Pandora – 16

1345 Kata
Setengah jam menunggu, akhirnya Milo dan Ruben bisa bernapas lega. Mobil cary itu pun penuh dan sangat sesak. Milo dan Ruben harus berdesakan bersama beberapa warga yang baru pulang berdagang. Mereka tidak hanya datang dari desa Sembungan, akan tetapi juga datang dari Dieng dan beberapa daerah lain. Beberapa dari warga menatap aneh ke arah ke dua pemuda itu seakan Ruben dan Milo adalah pemuda-pemuda yang mencurigakan. Milo dan Ruben saling berpandangan. Mereka cukup bergidik melihat tatapan beberapa warga yang seakan siap untuk menerkam mereka. “Mereka berdua itu adalah teman-temannya cucu kakek Kaddar. Aliando yang menyuruh mereka datang ke sini.” Melihat tatapan asing beberapa warga, sang sopir pun mulai bersuara. Raut wajah penuh curiga tersebut, seketika berubah ramah dengan penuh senyuman. “Owh, jadi kalian ini adalah temannya Aliando, cucunya kakek Kaddar. Kami pikir tadi siapa? Kalau begitu selamat datang di desa Pandora. Semoga kalian menyukai desa kami.” Seorang pria berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengulurkan tangannya. Milo dan Ruben membalas secara bersamaan. “Saya Milo, Mas. Kalau yang ini teman saya, namanya Ruben. Dia ini suka sekali makan. Kalau sudah makan, maka bisa tidak ingat waktu.” Milo bicara asal, sebab ia melihat pria yang ada di hadapannya cukup ramah. “Terlihat dari postur tubuhnya, hehehe ....” Pria itu terkekeh ringan. Ruben dan Milo pun mulai mengedarkan pandang ke semua penumpang mobil cary. Semuanya menatap ke dua pemuda itu dengan penuh senyuman. Wajah jutek seketika berubah ramah. Milo dan Ruben secara bersamaan menarik napas seraya mengelus bagian bawah leher mereka. Mereka lega dan rasa khawatir serta takut, hilang seketika. Tidak lama, mobil itu pun berhenti di depan sebuah warung. Semua penumpang turun termasuk juga sopir. Ruben dan Milo juga ikut turun. “Mas, maaf ... rumah kakek Kaddar di mana ya? Soalnya Aliando susah sekali dihubungi. Tadi di desa Sembungan, sinyal hilang. Kalau sekarang, nomo Al yang tidak aktif.” Milo menjelaskan. “Gampang kok mencari rumah kakek Kaddar. Dekat juga dari sini. Kalian berdua jalan saja lurus. Nanti tidak jauh kalian akan melihat sebuah rumah yang paling besar di sebelah kiri. Rumah dengan dua buah dangau di depannya. Nah, itulah rumahnya.” “Lurus ya, Mas?” Milo menggerakkan tangannya. “Iya ... Kalian tidak perlu khawatir akan tersesat, sebab rumah itu berbeda dari rumah lainnya. Kalian pasti akan langsung menemukannya nanti.” “Owh, begitu ya ... Baiklah, terima kasih banyak, Mas.” “Sama-sama ....” “Kami berdua pamit ya, Mas.” Kali ini Ruben yang lebih dahulu mengulurkan tangannya. “Iya, semoga betah di sini ya ....” Sang sopir membalas uluran tangan Ruben. Milo pun menyusul. Ke dua pemuda itu pun mengikuti arahan dari sang sopir yang sudah membawa mereka masuk ke desa Pandora. Mereka berjalan lurus dan memerhatikan rumah yang ada di sebelah kiri. Sang sopir benar, tidak sulit menemukan rumah kakek Kaddar. Ruben dan Milo seketika menemukan rumah Kaddar dan melihat Aliando tengah bercengkrama dengan kakeknya itu. *** Aliando cukup bosan hari ini. Pasalnya, Gladies tidak bisa menemaninya untuk berkeliling desa sebab hari ini Gladies haru membantu ibunya membuat banyak kue pesanan seseorang. Ada warga yang akan mengadakan acara ulang tahun putra mereka dan mereka memesan kue ulang tahun, makanan serta camilan kepada ibunda Gladies. Hampir seharian Aliando menghabiskan waktunya dengan tidur. Sesekali ia bermain ponsel dan sesekali ia melirik Gladies yang terlihat mondar mandir mengantarkan kue pesanan pembeli. Ia menatap gadis itu dari jendela kamarnya. Hingga tidak terasa, pagi itu sudah berganti senja. Matahari yang sebelumnya bersinar dari ufuk timur, kini hampir tenggelam di ufuk barat. Aliando yang sudah mandi, rapi dan wangi, keluar dari kamar dan berniat bertamu ke rumah Gladies. Namun, ia melihat Kaddar tengah bersantai dengan burung-burung peliharaan di depan rumahnya. Aliando menghampiri. “Kek ....” “Aliando ... mau kemana sudah rapi begini?” “Rencana mau main ke rumah Gladies, Kek. Sebab Al bosan di rumah. Teman Al di sini hanya Gladies dan Sovia. Tapi Al tidak tahu dimana rumah Sovia. Lagi pula, kabarnya Sovia sudah punya pacar. Nggak enak bertamu ke rumahnya.” Aliando mengernyit. “Tapi kakek lihat, Gladies sepertinya masih sibuk.” “Owh, masih sibuk ya?” Aliando mendesah pelan. Pemuda itu pun duduk di salah satu kursi santai yang terdapat di teras rumah Kaddar. “Ada apa, Al?” Kaddar menatap cucunya. Ia pun ikut duduk di kursi berbeda “Oiya, Al sudah baca beberapa lembar buku yang sudah ditulis oleh Alvoso. Kek, Al tertarik untuk masuk lagi ke sana.” Aliando menatap netra Kaddar. Kaddar tersenyum. Pria itu menepuk pelan pipi kanan cucunya, “Benarkah apa yang kakek dengar ini, Nak?” Aliando memegangi tangan Kaddar, “Iya, Kek. Selama ini Al cukup dikekang oleh mama dan papa. Al tumbuh dan dibesarkan dengan manja. Al ingin berpetualang, Kek.” “Tapi di dalam sana, berbahaya, Cucuku.” “Bukankah adal level-levelnya? Al sudah pernah melewati level satu, sendirian.” “Aliando, sepertinya memang sudah saatnya kakek mengenalkan dan menjelaskan semuanya perihal perangkat itu kepadamu. Akan tetapi, kamu tidak boleh sendiri, Cucuku. Harus ada tim yang bisa dipercaya. Tim yang kuat. Tim yang solid dan pemberani.” “Tim? Tapi Al akan membawa siapa untuk ikut ke dalam petualangan itu? Di sini Al belum punya teman.” “Gladies dan Sovia ....” “Wanita, berdua? Dan Al hanya sendirian saja?” Al mengernyit. Ia tidak yakin ke dua gadis itu bisa diajak masuk ke dalam kerajaan Pandora. “Percayalah, sebelum waktunya tiba, tim itu akan datang dengan sendirinya, Al.” “Oiya, tapi kapan?” Di tengah-tengah perbincangan hangat antara Aliando dan kakeknya, tiba-tiba saja Aliando dikejutkan oleh teriakan seseorang. “ALIANDO ... WE ARE COMING!!” Aliando yang tengah bercengkrama hangat dengan kakeknya dikejutkan oleh suara teriakan seorang pemuda. Ia dan Kaddar sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Aliando ternganga sementara Kaddar tersenyum. Memang sudah waktunya, batin Kaddar. “ALIANDO!!!” Ruben dan Milo mempercepat langkah kaki mereka. Rumah yang cukup tinggi dari jalan itu, membuat Milo dan Ruben agak terengah mendakinya. “Kalian jadi datang? kok nggak beritahu aku dulu?” “Bagaimana cara memberi tahumu. Ponselmu tidak bisa dihubungi.” Milo menggerutu, sementara Ruben langsung menghampiri Kaddar dan menyalami pria paruh baya itu. “Selamat sore, Kek. Saya Ruben, sahabat terbaik, Al.” Ruben memperkenalkan diri. Kaddar menepuk pelan bahu pemuda bongsor itu, “Selamat datang di desa Pandora, kampung halaman Aliando Geneva.” “Kek ... Saya Milo. Bukan s**u Milo ya, Kek. Tapi Milo Rafael, hehehe ....” Pemuda itu juga melakukan hal yang sama seperti yang sudah dilakukan Ruben terhadap Kaddar. “Selamat datang, Cucu-cucuku. Semoga kalian betah berada di sini.” “Al, di sini ternyata sangat dingin. Aku hanya bawa satu buah hoodie lho. Kayaknya nggak bakal cukup dech.” Ruben mulai mengeluhkan iklim desa Pandora seraya memeluk tubuhnya sendiri. “Iya, Al. Dingin banget ....” Milo pun ikut berkomentar. “Itu karena kalian belum terbiasa. Nanti kalau kalian sudah terbiasa, akan seperti gadis itu.” Aliando menunjuk ke arah rumah Gladies. Gladies tampak bersiap menaiki sepedanya. Keranjang bagian depan sepeda Gladies, sudah penuh dengan kue pesanan pembeli. Ruben dan Milo juga mengalihkan pandangan mereka ke arah tatapan Aliando. Ke dua pemuda itu ternganga. Seorang gadis cantik berkulit putih mulus, sudah naik ke atas sepedanya. Gadis itu hanya mengenakan baju kaus lengan tiga perempat dan celana katun se betis. “Waw ....” Ruben dan Milo ternganga dan terus menatap Gladies. Gladies balik menatap ke duanya ketika ia melewati rumah Kaddar dan berpapasan dengan Milo dan Ruben. Gladies menekuk wajahnya sejenak lalu tersenyum ke arah ke duanya. Tidak lama, gadis itu pun menjauh dan menghilang. “Al, itu cewek cantik banget ....” Walau Gladies sudah menghilang, namun Ruben masih terus menatap ke arah laju sepeda Gladies. “Namanya Gladies. Konon katanya, ia adalah gadis tercantik di desa ini,” jawab Aliando dan membiarkan sahabatnya masih ternganga. “Bidadari, ckckckckck ....” Ruben masih berdecak dan belum juga mengalihkan pandangannya. Kaddar dan Aliando hanya tersenyum melihat sikap Ruben. Ia membiarkan pemuda itu masih ternganga menatap sesuatu yang sudah tidak tampak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN