Pandora – 14

1044 Kata
Aliando masih tercenung di dalam kamarnya seraya duduk di depan perapian. Netra abu-abu itu masih belum dapat terpejam, padahal sudah hampir pukul sebelas malam. Al masih terngiang semua cerita Gladies dan juga kakeknya—Kaddar. Desa Pandora, kerajaan Pandora, danau Pandora dan gua gletser, semua itu seakan mimpi bagi Aliando. Ya, pemuda itu sudah sangat lama tidak berkunjung ke kampung halamannya itu. Terakhir kali Al berkunjung ke kampung halamannya itu ketika ia masih berusia enam tahun. Saat itu ia masih belum mengerti tentang apa pun. Kini, ia sudah remaja. Aliando sudah mengerti dengan semua keanehan yang terjadi di kampung halamannya. Keanehan yang nyata namun sulit untuk ia percaya. Indonesia ... Negara itu dilewati oleh sebuah garis khatulistiwa. Negara yang memiliki banyak sekali pulau-pulau dan lautan yang mengelilinginya. Negara beriklim tropis yang sangat mustahil bisa menghasilkan iklim dan cuaca seperti di desa Pandora. Ini semua benar-benar aneh. Tidak masuk akal dan sulit untuk aku percaya. Tapi semua yang diceritakan Gladies dan kakek membuatku semakin penasaran. Desa ini memang sangat unik dan penuh dengan misteri. Apa sebaiknya aku terima saja tawaran kakek dan nenek? Apa sebaiknya aku coba dulu untuk tinggal di sini beberapa waktu? Setidaknya sampai masa liburku habis. Ah, aku benar-benar dilema. Entah mengapa aku jadi mencintai tempat ini. Akan tetapi aku juga tidak bisa meninggalkan gemerlapnya kota Jakarta. Vanesha ... Ah, mengapa aku jadi mengingat wanita itu. untuk apa, Al. Untuk apa? Bukankah kau sudah melihat di depan matamu sendiri ia berciuman mesra dengan lelaki lain? Bahkan ketika kau memergokinya, Vanesha sama sekali tidak mengejarmu apalagi meminta maaf. Aliando terus berperang dengan pikirannya sendiri. Udara dingin desa Pandora kembali menusuk kulitnya. Beruntung, dua lampis hodie berbahan fleece tebal dan perapian mampu membuat tubuh Al sedikit menghangat. Merasa bingung dengan pikirannya sendiri, Aliando pun bangkit dan berjalan menuju nakas yang ada di sebelah ranjangnya. Ia mengambil buku tebal yang sudah ditulis oleh kakek buyutnya—Alvoso Geneva. Pria yang baru dikenal Al dari buku yang ia temukan dan juga dari cerita kakeknya. Aliando pun mulai duduk di meja belajar yang memang sudah disiapkan Morena untuknya. Pemuda itu membuka gorden dan menghidupkan lampu belajar. Meja belajar Al terletak di depan jendela kaca yang langsung mengarah ke rumah Gladies. Lebih tepatnya, meja belajar itu langsung mengarah ke kamar Gladies. Al menatap ke bagian bawah. Tidak sengaja matanya mengarah ke jendela kamar Gladies yang juga masih terbuka. Ia melihat gadis itu juga tengah asyik membaca buku di meja belajarnya. Aliando terus memerhatikan gadis itu dari lantai dua rumah Kaddar. Gadis manis bernetra hazel yang tiba-tiba saja membuat jiwa Al terusik. Seakan juga memiliki ikatan yang kuat, Gladies yang tengah asyik membaca buku, tiba-tiba mengangkat pandangannya. Kini, iris hazel dan iris abu-abu itu bertemu. Aliando dan Gladies saling pandang sesaat dan saling membalas senyum. Aliando meraih ponselnya, ia mengirimkan pesan kepada Gladies. Belum tidur? tanya Aliando. Gladies yang mendengar bunyi ponsel, seketika meraih ponselnya dan langsung membalas, belum ... aku masih belum mengantuk. Kamu sendiri kenapa belum tidur? Udaranya sangat dingin. Memangnya kamu tidak merasa dingin? Aku lihat kamu bahkan tidak mengenakan hoodie. Dingin, tapi aku sudah terbiasa. Al, aku ... Ada apa? Ah, tidak ... tidurlah, nikmati mimpi indahmu di desa Pandora, Al. Tidak, aku lebih senang menikmati wajah manis bermata hazel yang kini duduk di depanku. Jantung Gladies seketika berdegup kencang setelah membaca pesan terkahir dari Aliando. Gadis itu meletakkan ponselnya begitu saja di atas meja. Ia lalu melabuhkan pandang lagi ke atas lantai dua rumah Kaddar. Tersenyum sejenak, lalu menunduk dan menutup gorden kamarnya. Setelah gorden itu tertutup sempurna, Gladies menyandarkan bokongnya ke tepi meja seraya memegang bagian bawah lehernya dengan tangan kanan. Jantung yang bergerak kencang mengakibatkan bagian itu naik turun dengan sangat cepat. Merasa jiwanya terusik dan tidak nyaman, Gladies pun langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Gladies mencoba memejamkan mata, namun sulit. Pesan terakhir Al, senyum tampan pemuda itu, mampu mengusik jiwa dan menghipnotis Gladies. Terlebih, gadis itu memang sudah mengagumi Al sejak lama, walau ia belum pernah melihat sosok cucu Kaddar itu sebelumnya. Sementara Aliando hanya bisa terdiam melihat sikap Gladies. Ia tidak mengerti mengapa Gladies tidak membalas pesannya dan malah menutup gorden jendela kamarnya. Mungkin gadis itu mengantuk, pikir Aliando seraya kembali ke buku tebal yang kini ada di depannya. Perlahan, Aliando mulai membaca lembar demi lembar buku itu. Aliando semakin penasaran dan ia cukup tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai desa Pandora, khususnya kerajaan Pandora. *** Pagi menjelang. Kicauan burung bersahutan menambah kesan alami dan damai di desa itu. Sinar matahari juga tampak sangat cantik dan bening. Tidak seperti kemarin, hari ini Aliando bersiap lebih cepat. Pemuda itu sudah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian. Ia tampak sangat segar dan tampan. “Selamat pagi, Kek ....” Aliando menghampiri kakeknya yang tengah bersantai di teras rumah. “Hei, tumben sudah bangun? Tampan dan wangi ....” Kaddar meletakkan koran yang tengah ia baca. Pria paruh baya itu bangkit dan merangkul Al dengan sangat erat. “Kakek baca koran? Memangnya ada yang jual koran di disini?” Aliando mengernyit. “Tentu saja ada, Aliando Geneva. Tidak hanya koran, tapi juga majalah, n****+, komik dan TTS juga ada.” “Oiya, kok bisa?” “Hahaha ... Aliando Geneva. Memangnya kamu tinggal di mana, Nak? Desa Pandora adalah desa nyata dengan kehidupan normal. Sama seperti Jakarta dan daerah lainnya. Bedanya, desa ini tersembunyi dari masyarakat luar. Semua itu untuk menjaga kelestariannya dan untuk menjaga keutuhan desa.” “Lalu bagaimana cara mendistribusikan benda-benda ini, Kek?” “Bukankah beberapa masyarakat kita juga berdagang di luar sana. Hanya saja, mereka tidak pernah menyebutkan nama desa Pandora. Jangankan ke luar desa, bahkan beberapa ada yang sampai berlibur ke luar negeri lho ....” “Oiya ... Al pikir masyarakat sini sangat tertutup dengan masyarakat luar desa Pandora.” “Tidak, Nak. Cuma, siapa pun yang pergi ke luar desa, harus bisa menjaga rahasia apalagi kekayaan alam yang ada di desa ini. Kakek khawatir, jika desa ini sampai terekspos, maka akan ada yag memanfaatkannya untuk kepentingan diri sendiri sehingga mengabaikan kesejahteraan warga desa.” “Iya, Kek. Al mengerti.” “Bagaimana tidurnya semalam, nyenyak?” “Lumayan ....” “Syukurlah ... Kakek sangat berharap Al betah di sini.” Aliando hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Kaddar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN