DHUARR!!!
Kembali mereka mendengar suara senapan yang ditembakkan ke udara.
“Alvoso, suaranya semakin mendekat.” Mulai jelas terlihat gurat kekhawatiran di wajah Aziz.
“Bawa semuanya masuk ke dalam gua. Aku sendiri akan ke gubuk itu, coba mengunakan perangkat itu lagi dan menutup akses ke desa Pandora.”
“Bukankah kita berulang kali gagal, Alvoso?”
“Kita akan coba lagi, untuk yang terakhir.”
“Broer, suara senjata mereka semakin dekat saja. Apa yang harus kita lakukan saat ini?” seorang gadis manis warga pribumi asli, mendekati Alvoso. Gadis itu sangat ketakutan sebab ia tidak ingin nasibnya berakhir menjadi b***k para penjajah itu.
Alvoso tertunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya, “Bantu aku dengan doa. Sekarang kau ikutlah dengan Aziz ke dalam gua.”
Alvoso kemudian menatap Aziz, “Aziz, kau tahu’kan jika pintu gua itu bisa ditutup dari dalam. Kau bawa mereka semua masuk ke dalam dan tutup pintu dari dalam. Aku akan ke gubuk itu sendirian.”
“Alvoso, itu akan sangat berbahaya. Bagaimana jika kamu tertangkap.” Aziz memegangi bahu pria berkulit putih yang sudah menjadi sahabatnya semenjak mereka remaja.
“Tolong bantu aku dengan doa.” Alvoso melepaskan tangan Aziz dari bahunya.
“Broer ....” Sang gadis manis kembali menatap Alvoso. Tatapannya sayu, penuh kekhawatiran.
Alvoso tersenyum sejenak menatap gadis itu, lalu ia mengalihkan pandangannya kepada Aziz, “Aziz, cepat! Jangan membuang waktu. Nanti mereka semua bisa tertangkap.”
Aziz mengangguk. Ia dengan cepat menuntun semua orang menuju sebuah gua yang terdapat di tengah hutan raya itu. Gua yang cukup luas yang bisa menampung lima kali lipat dari jumlah warga yang saat ini ikut berlari bersama Alvoso.
“Apakah semuanya sudah masuk?” tanya Aziz sebelum menutup pintu gua.
“Sepertinya sudah, Mas,” jawab seorang pemuda yang usianya lebih kurang delapan tahun.
Aziz pun mulai menarik sebuah tuas yang menyebabkan pintu gua tertutup seketika. Bahkan pintu itu di bagian luarnya tertutup rumput liat dan tanaman merambat sehingga nyaris tidak akan diketahui oleh siapa pun.
Sementara Alvoso mulai masuk ke dalam sebuah gubuk, tempat ia melakukan penelitian bersama Vein dan Aziz.
DHUAARR!!!
Alvoso kembali mendengar suara ledakan senjata api. Suaranya semakin lama semakin mendekat. Bahkan kini, pemuda itu bisa mendengar suara teriakan beberapa orang.
“CEPAT! CARI ALVOSO SAMPAI KETEMU!!”
“IA PASTI ADA DI SEKITAR SINI, CEPAT CARI!”
DHUARRR!!
Suara ledakan senjata api kembali terdengar.
“ALVOSO, MENYERAHLAH!! KAMI AKAN MEMAAFKANMU ASAL KAU SERAHKAN WARGA YANG SUDAH KAU BAWA LARI. JANGAN BERPIHAK KEPADA MUSUH, ALVOSO GENEVA!!!”
Semakin lama semakin jelas suara itu terdengar di telinga Alvoso.
Ya Tuhan ... tolong bantu aku. Jangan sampai aku dan yang lainnya tertangkap. Aku serahkan semuanya kepadamu, Tuhan ... Alvoso berdoa seraya membuat gerakan tanda salip di depan wajahnya.
Dengan gerakan tangan yang sangat cepat, pemuda itu mulai mengakses perangkat yang sudah ia ciptakan bersama Vein dan yang lainnya. Perangkat yang berkali-kali gagal setelah diuji coba.
“ITU, DI SANA!! ALVOSO PASTI ADA DI DALAM GUBUK ITU. DISALAH IA MENYIMPAN BENDA-BENDA ANEH YANG IA PUNYA!!”
Alvoso kembali mendengar suara teriakan yang tidak jauh dari tempatnya berada.
Sial! Mereka sudah memenukan tempat ini. Aku harus segera membuka programnya. Jika tidak, habislah kami semua.
Alvoso kembali menggerakkan ke sepuluh jari yang ia punya dengan sangat cepat. Ia harus bergerak cepat, sebab beberapa pria bersenjata sudah mulai berjalan mendekat ke arah gubuk tempat Alvoso berada.
TUKKK!!!
Alvoso pun menekan tombol “enter” dengan keras setelah ia mengucapkan doa kepada Tuhan-nya.
Gubuk itu perlahan-perlahan mulai menghilang. Beberapa orang yang melihat kejadian itu dibuat terheran. Bahkan mereka semakin mempercepat langkah mereka menuju gubuk yang jelas-jelas mereka lihat ada sebelumnya.
“Kemana perginya gubuk tadi?” Semua orang terheran. Mereka mengelilingi, bahkan menginjak-injak tanah tempat gubuk Alvoso sebelumnya berdiri.
“Coba tembak! Barangkali ia hanya tidak tampak tapi masih berada di sini,” perintah pimpinan mereka, pria keturunan Belanda.
“Siap, Meneer.”
Beberapa di antara mereka menembaki ruang kosong itu. peluru mereka tetap saja menembus udara yang sebelumnya berdiri gubuk Alvoso di sana.
“Kemana dia?” gumam sang pimpinan lagi.
“Meneer, sekarang apa yang harus kita lakukan? Pria itu sudah menghilang dan mungkin juga bersama warga lainnya.”
“Tandai tempat ini. Besok kita akan kembali lagi!”
Sang pimpinan pun memberi kode dan mengajak semua anak buahnya pergi meninggalkan hutan itu. Mereka melewati gua yang bagian pintunya ditutupi oleh berbagai rumput dan jenis tanaman merambat. Secara kasat mata, memang tidak akan terlihat ada pintu gua di sana.
Semakin lama, mereka pun semakin menjauh. Hingga beberapa jam kemudian, Alvoso dan gubuknya kembali ke tempat semula. Sementara semua warga sudah menunggu dengan perasaan gelisah.
Flash Back Off ...
***
Kediaman Kaddar.
Aliando tercenung setelah mendengarkan penjelasan dan cerita kakeknya. Walau masih banyak pertanyaan yang bergelayut di benak Aliando, namun setidaknya ia sudah mendapat sedikit gambaran mengenai siapa itu Alvoso.
“Apakah semenjak saat itu, masyarakat yang ikut lari mulai mendirikan desa Pandora dalam versi nyata?” tanya Aliando.
“Ya ... mereka mulai membangun daerah itu sendiri. Alvoso dibantu oleh Aziz, mulai mengembangkan teknologi itu. Membuat semacam gelombang magnetik yang mereka pancarkan ke langit, hingga daerah itu benar-benar hilang dari pantauan masyarakat luar.”
“Lalu bagaimana dengan mereka yang mencari? Bukankah mereka mengatakan akan kembali lagi keesokan harinya?”
“Ya, tapi mereka tidak bisa menemukan apa pun selain hutan raya. Satu hal lagi, sejauh apa pun mereka semua berjalan, maka mereka pasti akan kembali lagi ke tempat semula.”
“Jadi mereka hanya berputar-putar di situ saja?” Aliando mengernyit.
“Tepat sekali, Cucuku. Mereka tidak pernah menemukan keberadaan Alvoso dan masyarakat yang ada di sana.”
“Bagaimana dengan nasib Vein?”
“Ayah kakek tidak pernah menceritakan mengenai Vein dan kakek juga tidak pernah mempertanyakan hal itu. Baru kamu yang mempertanyakannya, Al.”
Aliando menyandarkan bokongnya di atas railling seraya kembali merenung.
“Kek, desa yang hilang, orang yang hanya berputar-putar saja di tempat yang sama, rasanya Al tidak asing dengan kejadian-kejadian semacam itu. Teman Al yang sering mendaki gunung, beberapa kali merasakan semua itu. Tapi semua itu terjadi bukan karena kecanggihan teknologi, melainkan karena hal mistis.”
“Ya, kamu sangat benar, Cucuku. Di Indoensia, hal seperti itu memang sudah tidak asing lagi. Akan tetapi yang terjadi di desa kita sungguh berbeda, sangat berbeda. Pergilah berkeliling dengan Gladies mengitarai setiap sudut desa ini. Kakek bisa pastikan jika tidak ada hal mistis di desa kita. Semuanya terjadi karena kecanggihan teknologi yang sudah diciptakan oleh kakek buyutmu yang dibantu oleh beberapa rekannya.”
“Sulit untul Al percayai, Kek. Apalagi di tahun itu, bukankah teknologi canggih masih jauh dari Indonesia? Bahkan Jepang pun mungkin belum memiliki teknologi secanggih itu.”
“Memang sulit dipercayai, namun itulah kenyataanya, Cucuku. Kamu adalah keturunan Geneva dan hanya keturunan Genevalah yang bisa memimpin desa ini dengan baik. Dulu, desa ini sangat amat damai dan tenteram. Namun kabarnya, saat ini sudah ada beberapa pemuda yang ingin mengambil alih kekuasaan desa. Mereka ingin menguak mitos tentang kejayaan desa dan kerajaan Pandora. Kamu harus berhati-hati berteman di sini, Nak. Kakek belum tahu siapa orangnya, akan tetapi mereka ada.”
“Benarkah?”
Kaddar mengangguk seraya menatap Aliando, “Ya ... kabarnya ia adalah putra dari musuh kerajaan Pandora yang berhasil ikut keluar dari perangkat itu. Pemuda yang ingin menguasai kerajaan Pandora dan juga desa Pandora.”
“Tapi, Kek. Al belum tertarik untuk tinggal di sini.”
Kadaar kembali melabuhkan pandang ke arah Al, “Pikirkanlah lagi, Cucuku. Nasib semua warga desa ini dan juga masyarakat desa Pandora tergantung kepadamu sebagai keturunan asli darah Geneva. Kakek dan nenek sudah tidak bisa lagi meneruskan perjuangan itu. Jika kami wafat dan tidak ada lagi darah Geneva yang meneruskan, maka habislah semua. Kejayaan desa Pandora maupun kerajaan Pandora akan hilang, berganti dengan kejayaan ilmu hitam.”
“Kakek dan Nenek, maksudnya? Apakah nenek juga ikut dalam petualangan itu?”
“Ya, dulu nenekmu adalah seorang gadis yang kuat dan cerdas. Persis seperti Gladies saat ini. Kami berdua dan beberapa tim lainnya, berjuang di dalam perangkat itu. Namun sayang, ke tiga rekan kami sudah pergi lebih dahulu. Salah satunya tertinggal di Kerajaan Pandora karena sudah kehabisan nyawa dan dua lagi memang meninggal di sini karena sudah ajalnya.”
“Benarkah?”
“Ya, Cucuku. Semenjak ke tiga rekan kami tiada, nenekmu mulai sakit. Ia selalu dihantui rasa takut sebab ia tahu yang bisa memimpin desa ini hanyalah keturunan Geneva. Sammy sendiri enggan untuk meneruskannya. Jangankan meneruskan, bahkan Sammy sendiri pun enggan mengetahui semua hal mengenai sejarah desa Pandora. Sekarang kau datang, nenekmu kembali bersemangat. Ia menaruh banyak harapan kepadamu, Aliando Geneva.”
Aliando tertunduk, ia tercenung. Ada sebuah beban di hatinya yang tiba-tiba saja bersarang. Jiwa petualangnya pun tiba-tiba meronta. Seorang pemuda manja yang banyak dikekang oleh ayah dan ibunya, ingin membangkitkan kembali jiwa petarung dan petualang yang memang sudah mendarah daging di jiwa Al.
“Aliando Geneva, kakek tidak bisa memaksa. Pikirkanlah baik-baik.”
Aliando hanya terdiam. Begitu banyak keraguan yang saat ini menggelayuti hatinya.
Sementara Gladies dan Sovia, menatap ke dua pria itu dari balik daun pintu. Ke dua gadis manis itu juga ikut mendengarakan kisah yang baru saja diceritakan oleh Kaddar kepada cucunya.