Pandora – 12

1795 Kata
“Selamat siang, Kek, Nek.” Aliando masuk ke dalam rumah Kaddar dalam kondisi tubuh masih lembab. “Siang, Sayang ....” Morena menyambut Aliando, Gladies dan Sovia dengan senyum ramah. “Nek, aku dan Sovia pamit pulang dulu. Nanti kami akan ajak Al jalan-jalan lagi.” “lho, kenapa buru-buru?” “Kami bertiga tadi habis mandi di kolam gua pandora, Nek. Jadi basah.” Sovia nyengir kuda. “Owh, begitu ya ... ya sudah, pulanglah dulu. Tapi setelah berganti pakaian, segeralah ke sini. Nenek akan siapkan makan siang untuk kalian.” “Nggak usah repot-repot, Nek. Aku dan Gladies nanti makan di rumah saja.” Sovia menolak dengan halus. “Jangan begitu, Sovia. Nenek sudah masak banyak, jadi kalian tidak boleh menolak.” Morena tersenyum manis. Sovia memerhatikan paruh baya itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sovia tercenung, sebab selama ini ia tidak pernah melihat Morena tanpa kursi roda atau tongkatnya. Namun kali ini, nenek Aliando itu berdiri dengan ke dua kakinya tanpa ditopang oleh benda apa pun. Sovia mengalihkan pandangnya ke arah Gladies. Ke dua gadis itu saling tatap sejenak. Gladies mengangguk seraya mengurai senyum. Sovia mengerti dengan anggukan Gladies. Sovia pun mendekati Morena. Ia mengambil telapak tangan kanan Morena dan mencium punggung tangan itu dengan sayang. “Nenek sudah sembuh?” tanyanya, lembut. “Tidak ada alasan untuk nenek tidak sembuh, Sayang ... bukankah belahan jiwa nenek sudah ada di sini? Lentera nenek sudah datang dan nenek harus sembuh untuk dirinya.” Morena melabuhkan pandang pada pemuda tampan bernetra abu-abu yang masih berdiri di depannya. Aliando tersenyum. Ia mendekat sementara Sovia seketika memberi jarak. Aliando mencium punggung tangan Morena dan juga mencium pipi keriput itu, “Al sayang nenek,” ucapnya lirih. Morena berkaca-kaca. Tangan itu bergetar seraya membelai pipi Aliando. Gladies menarik lengan Sovia. Ia memberi kode dengan gerakan matanya bahwa mereka harus meninggalkan tempat itu segera. Sovia mengangguk. “Nek. Aku dan Sovia pamit dulu, mau ganti baju. Nanti setelah selesai, aku dan Sovia akan kembali lagi ke sini.” “Iya, Sayang ... Kalian harus kembali, jangan buat nenek kalian ini kecewa.” Morena tersenyum. “Iya ... kami berdua hanya ganti baju saja. Setelah itu akan kembali. Rencananya, nanti mau ajak Al jalan-jalan ke pasar dan juga peternakan.” “Bagus itu. Bisa nanti nenek titip beli sesuatu?” “Tentu bisa, Nek. Oiya, kalau begitu kami pamit dulu. Selamat siang, Nek. Selamat siang, Al.” “Iya, Sayang ... selamat siang ....” Morena melepas Gladies dan Sovia dengan senyuman. Setelah ke dua gadis manis itu menghilang, Morena menatap cucunya, “Al, kamu juga harus segera berganti pakaian. Nanti bisa masuk angin.” “Iya, Nek.” Aliando kembali mengecup lembut pipi Morena sebelum ia beranjak naik ke lantai dua—ke dalam kamarnya. *** Meja makan Morena siang ini cukup ramai. Tidak hanya Kaddar yang menemaninya, tetapi juga ada Aliando, Gladies dan juga Sovia. “Waw ... semua makanan ini nenek yang masak?” Sovia berdecak kagum menatap meja makan Morena yang penuh dengan makanan. “Iya, semua ini nenek kamu yang masak.” Kaddar menjawab dengan senyuman. “Lihat nih, Al. Baru sehari lho kamu di sini, sudah membuat nenek Morena bisa masak sebanyak ini. Coba kalau kamu menetap di desa ini, pasti nenek Morena bisa masak untuk orang sekampung. Iya’kan, Nek?” Morena tersenyum kecil. Ia bahagia melihat kehadiran Gladies dan Sovia di rumahnya. Kaddar yang duduk di sebelah Al, menepuk pelan bahu pemuda itu, “Bagaimana, Al? Sudah tertarik untuk melanjutkan perjuangan kakek di sini?” Aliando hanya tersenyum kecil, “Kita lihat saja nanti, Kek.” Kaddar mengangguk. Dari raut wajah Aliando, Kaddar tentu mengerti bahwa cucunya masih enggan untuk meninggalkan gemerlapnya sebuah kota besar. Pandora memang desa yang indah, namun tetap belum bisa mengalahkan rasa senang hidup di kota besar apalagi Jakarta. “Ya sudah, silahkan makan. Semua ini disiapkan untuk dimakan, bukan untuk dilihat-lihat saja.” Sovia dan Gladies berpandangan sesaat, lalu mulai menuang nasi ke piringnya. Semua yang terhidang di meja makan Morena, memang cukup menggugah selera semua yang ada di sana. Setelah puas menikmati makan siang, Gladies dan Sovia pun bergegas membereskan meja makan. Ke dua gadis manis itu juga langsung membereskan piring-piring kotor hingga dapur Morena kembali bersih dan segar. Aliando yang sudah selesai makan, beranjak ke luar rumah dan berdiri seraya menumpu ke dua tangannya di atas railling rumah kakeknya. “Al ....” Kaddar mendekat seraya mengusap pelan bahu Aliando. Aliando tersentak, ia menoleh, “Kakek ....” “Ada apa? Sepertinya kau tengah memikirkan sesuatu?” “Iya, Kek. Desa ini sangat aneh. Gladies menceritakan beberapa hal yang sulit Al percayai.” “Sepertinya sudah saatnya kau tahu semuanya mengenai asal muasal berdirinya desa ini.” “Ma—maksud, Kakek?” “Al, kakekmu—Alvoso Geneva—adalah seorang peneliti yang sangat hebat pada kala itu. Namun, tidak ada seorang pun yang memercayainya. Ia bahkan nyaris dianggap gila oleh masyarakat.” Aliando mulai tertarik dengan penjelasan Kaddar. “Kakekmu, adalah keturunan Belanda. Dulu, negara ini dikuasai oleh Belanda. Beberapa tidak segan menyiksa dan memperbudak warga asli. Namun sebagai keturunan penjajah, kakekmu enggan melakukan semua itu. Ia datang menjadi pahlawan dan memberikan perlindungan.” Kaddar berhenti sejenak. Ia kembali mengingat cerita asal muasal desanya yang dulu sempat diceritakan oleh Hensen—ayah Kaddar. “Diam-diam, Alvoso mengatur strategi untuk melawan negaranya sendiri.” “Melawan negaranya?” “Ma—maaf, bukan begitu maksud kakek. Alvoso sebenarnya tidak bermaksud melawan negaranya sendiri, melainkan ia hanya ingin melawan ketidak adilan dan kekerasan. Ia ingin masyarakat pendatang dan juga masyarakat asli saling berbaur dan melengkapi.” “Lalu apa yang terjadi setelah itu?” “Sayangnya, ada musuh dalam selimut. Salah seorang pribumi memberitahukan hal itu kepada pimpinan penjajah. Ia membeberkan semua yang sudah dilakukan Alvoso.” “Pribumi sendiri yang sudah mencelakai kaumnya sendiri?” Aliando mengernyit. Ia tidak habis pikir. “Begitulah kenyataannya, Al. Bahkan jika kamu menilik lagi buku sejarah. Kamu akan menemukan banyak sekali pribumi yang bersekutu dengan penjajah dan rela mengorbankan saudaranya sendiri demi sebuah rasa aman dan kejayaan.” “Shiitt!!” Aliando berdecak, ia memukul pelan tangannya ke atas railing besi. “Tapi semua itu bukan hal tabu, Cucuku. Bahkan pada saat ini pun, penyelewengan dan penghianatan itu masih terjadi. Mereka rela mengorbankan masyarakat, saudara, bahkan keluarga sendiri demi kepentingan diri sendiri.” “Iya juga sich ... kakek ada benarnya. Lalu apa yang terjadi dengan Alvoso?” *** Flash back. Pulau jawa, tahun 1908 masehi. Alvoso—23 tahun, seorang pemuda keturunan Belanda—tengah asyik bercengkrama di balai desa yang terbuat dari bambu dan beratapkan daun-daun kering. Di tengah-tengah obrolan ringan bersama beberapa pemuda pribumi, tiba-tiba saja seseorang datang berlari dan mendekati Alvoso. “Alvoso, kita dalam bahaya ... kita dalam bahaya ....” Sang pemuda tanpa penutup tubuh bagian atas, terengah-engah. “Bahaya apa? Apa maksudnya?” “Jono ... Jono sudah berkhianat.” Alvoso turun dari dari tempat itu, “Apa maksudnya?” “Jono sudah berkhianat. Ia memberitahukan kepada Roberto mengenai rencana kita dan mengenai dirimu dan beberapa pemuda Belanda lainnya.” “Lalu?” “Mereka akan menyerang ke sini, sebentar lagi!” “Gawat! SEMUANYA, CEPAT BERSIAP! KITA HARUS SEGERA MENINGGALKAN TEMPAT INI! YANG MUDA TOLONG BANTU YANG TUA! ANAK-ANAK, TOLONG SELAMATKAN! KITA AKAN LARI KE UJUNG BUKIT DI TIMUR SANA!” Alvoso berteriak, ia memberikan aba-aba. Mendengar teriakan Alvoso, semua yang ada di sana kocar kacir. Beberapa berusaha menyelamatkan harta benda yang mereka punya. “Sudah, jangan bawa semua ini. Kita harus cepat pergi. Apabila sampai tertangkap, maka habislah!” Alvoso kembali memberi aba-aba. Semua orang diminta tidak membawa apa pun yang akan menyulitkan pelarian mereka. “Broer, ayah saya masih di sawah, bagaimana ini?” seorang gadis berusia enam belas tahun tampak khawatir. “Maaf, kita tidak punya kesempatan untuk mencarinya apa lagi menunggunya. Kalau kau tetap menunggunya, maka akan aku pastikan, kau akan tertangkap dan akan jadi b***k nafsu mereka. Apa kau mau?” Sang gadis menggeleng. “Kalau begitu cepat! Kita harus segera tinggalkan tempat ini!” Alvoso mulai berlari. Ia sudah menyiapkan tempat untuk pelarian sekiranya terjadi hal buruk menimpa dirinya. Baru satu setengah kilo meter jarak mereka dari permukiman yang sudah mereka tinggalkan, suara bedil mulai menggema, membuat semua bergidik. “Alvoso, bagaimana ini?” Vein—rekan Alvoso sesama keturunan Belanda—memegang bahu Alvoso. “Tetap kita lanjutkan. Kita akan membawa mereka ke desa Pandora.” “Desa yang tidak nyata itu?” Vein mengernyit. “Suatu saat nanti akan jadi nyata, Vein.” “Desa dan kerajaan itu hanya ada dalam imajinasimu saja, Alvoso. Kita akan tetap tertangkap di sana.” “Percayalah, kita akan baik-baik saja.” “Tidak! Aku tidak ingin ikut denganmu, Alvoso. Aku akan kembali ke rumahku. Ini sangat berbahaya dan aku tidak ingin mengorbankan diriku.” “Vein, bukankah kita sudah berjuang bersama?” Alvoso menatap sahabatnya dengan tatapan nanar. “Ya, dan kita berkali-kali gagal.” “Baru dua belas kali, Vein.” “Lalu kamu ingin berapa kali lagi, ha? Seribu kali kegagalan, iya?” “Tapi, Vein. Lihatlah mereka. Kasihan mereka. Para wanita-wanita itu akan menjadi b***k nafsu. Apa kau tega, Vein?” Pandangan Vein sayu menatap satu persatu gadis-gadis lugu yang ikut melarikan diri bersama mereka. “Larilah, Alvoso. Aku akan berusaha untuk mengalihkan perhatian mereka.” “Tapi Vein, itu akan sangat berbahaya.” Vein tersenyum, “Jika nyawaku bisa menyelamatkan kalian semua, maka akan aku lakukan.” “Bukankah kau tadi mengatakan jika kau takut celaka?” “Kau lupa, Alvoso, aku ini raja drama. Aku pastikan aku akan selamat dari tuduhan dan akan memainkan dramaku dengan baik. Perayalah, aku akan baik-baik saja.” “Vein ....” DHUAARRR!! Kembali terdengar suara ledakan bedil. Kali ini suara itu semakin mendekat dari tempat mereka beristirahat. “Alvoso, cepat lari ... selamatkan mereka semua. Aku akan turun dan mulai memainkan dramaku di sana.” “Tapi Vein ....” DHUAARR!! Suara itu terdengar lagi. “Semuanya, cepat lari! Ikuti Alvoso, sementara aku akan turun dan mencoba mengalihkan perhatian mereka semua. “Vein, mengapa tidak ikut dengan kami?” Seorang pemuda pribumi menghampiri Vein dan memegangi ke dua bahu pemuda berkulit putih itu. “Aziz, jangan banyak bicara. Cepat selamatkan mereka semua. Bukankah kau juga ikut dalam misi dan penelitian yang dilakukan Alvoso? Teruskan misi kalian. Kau adalah satu-satunya warga pribumi yang bisa diandalkan. Otakmu sangat cerdas dan keberanianmu luar biasa.” Vein menepuk pelan bahu Aziz. Aziz mengangguk. “Cepat! Jangan buang-buang waktu. Atau kita semua akan berakhir di penjara bawah tanah dan gadis-gadis itu akan berakhir jadi pemuas nafsu mereka.” Aziz dan Alvoso mengangguk secara bersamaan. Mereka pun segera lari lebih jauh lagi, sementara Vein berjalan sendiri menuruni bukit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN