Episode 12 : Willy dan Latar Belakangnya

1849 Kata
“Jadi orang kok jahat banget?” Dengan mata berkaca-kaca, Diana menatap Romi penuh kecewa. “Ada, orang enggak punya hati seperti Mas? Cuma Mas, orang lain enggak ada yang sekejam Mas, Mas!” "Sebenarnya, Mas punya dendam apa sih, ke aku? Salahku apa? Gara-gara aku mau nikah sama Mas? Mas kan tahu, aku pun korban. Kalaupun aku nolak, pasti mereka tetap maksa. Dari awal aku sudah coba sabar, tapi Mas terus cari gara-gara. Pernah, Mas baik ke aku? Bahkan sekadar mikir aku nyaman enggak dengan apa yang Mas lakukan, Mas juga enggak pernah, kan?" "Satu lagi, kalau ditanya siapa yang salah, yang patut disalahkan itu Mas! Mas itu laki-laki, dan Mas punya andil lebih besar buat melawan! Mas sudah menikah dengan Milla bahkan Milla sedang hamil tua. Aku minta cerai enggak Mas kasih. Ajaibnya, semalam Mas minta 'hak' Mas!" Diana sampai tidak bisa berkata-kata. Setelah izin yang ia minta ditolak mentah-mentah termasuk izin kerja, kini Romi justru mendiamkannya. Pria kejam itu mengemudi tanpa sedetik pun meliriknya. "Bahkan Mas enggak setia ke Milla?" lanjut Diana dengan suara lirih sembari menggeleng tak habis pikir. Zrrrrttt! Romi mendadak membanting setir kala menepikan laju mobilnya. Kenyataan tersebut tak hanya membuat Diana syok, karena Diana juga merasakan sakit luar biasa di keningnya sesaat setelah sampai terjerembab menghantam apa yang ada di hadapannya. Beruntung, Diana mengenakan sabuk pengaman. Karena jika tidak, bisa dipastikan, ulah brutal Romi akan membuat hal fatal menimpa Diana. "Turun!" tegas Romi tanpa menatap Diana. Ia hanya memastikan Diana melalui lirikan. Ia dapati, Diana yang merem-melek dan tampak jelas menahan sakit sekaligus pening. Kedua tangan Diana sibuk memijit kepala khususnya kening. "Bukankah dari tadi kamu minta turun, kenapa sekarang kamu masih di sini?!" lanjut Romi yang sampai berteriak. Mata Romi nyaris loncat dan seolah akan menghajar Diana yang sedari tadi telah membuatnya murka. Diana yang makin syok refleks menunduk. Ulah Romi sampai membuatnya gemetaran. Segera Diana melepas sabuk pengaman kemudian bergegas membuka pintu. Dan tanpa menatap Romi, ia berkata, "Makasih banyak, Mas!" Ketika Diana nyaris menutup pintu mobilnya, Diana juga refleks mengungkapkan pemikiran yang tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. "Kalau Mas memang enggak bisa menceraikan aku, biar aku yang melakukannya. Hari ini juga aku akan mengurus surat-suratnya." "Berani kamu melakukan itu, papahmu langsung mati gara-gara serangan jantung. belum mamah-mu yang punya asma akut! Kamu pikir aku sebodoh itu!" sergah Romi dan sukses membuat Diana terdiam. "Tutup pintunya!" bentak Romi. Diana melirik sinis Romi bersama ia yang terus mundur. Hanya sebatas itu sebab ia tak sampai menutup pintunya dan memang sengaja untuk membalas Romi. "Diana! Awas, kamu, ya!" Diana tak peduli sekalipun wanita malang itu sempat menoleh dan menyaksikan Romi berteriak sambil melongok dari jendela kaca pintu kemudi. Diana terus melangkah dengan cukup berlari sambil mendekap erat tas di pundak kanannya. Diana memasuki kawasan pusat perbelanjaan di sana demi mencari aman. Sebab Diana takut, Romi yang sepertinya memiliki masalah hidup tersendiri kepadanya, nekat menabraknya atau justru kembali menyeretnya kemudian menghajarnya tanpa ampun. "Siaaal! Makin hari makin berani dia! Dan sialnya lagi, malam ini aku harus kembali ke rumah orang tuanya. Namun ...?" Terpikir oleh Romi untuk mendekati Diana lagi, malam ini juga. Sebab baru Romi sadari, dirinya mulai tertarik kepada Diana yang sangat berbeda bahkan dari Milla. "Diana ... dia sangat berbeda. Dia menarik dan memiliki sisi lain dan tidak semua wanita memilikinya bahkan Milla. Diana istriku, dan aku berhak memiliki semuanya! Diana milikku dan malam ini juga aku akan mendapatkannya." Senyum licik terukir di bibir Romi. Pria berberewok tipis itu melongok ke arah kepergian Diana. Di atas sana, di pintu masuk utama sebuah mal, istri mudanya berdiri menghadap padanya. Tatapan mereka bertemu, tapi Diana langsung mendengkus kemudian meliriknya dengan sinis, sesaat sebelum akhirnya berlalu. *** "Terima. Tadi aku metik ini di jalan." Segenggam bunga liar yang biasanya memang Diana lihat menghiasi jalanan, Willy sodorkan kepada Diana. Diana bergidik ngeri kemudian buru-buru menggeleng dan tak mau menerimanya. "Buang, ih. Jorok!" ujar Diana yang sampai menepuk-nepuk kedua tangan Willy agar pemuda itu segera membuang bunganya. "Sombong ...." Willy mengerucutkan bibir. "Mau yang di toko-toko, ya? Padahal bunga ini bagus, lho. Tuh bunganya kecil-kecil, imut kayak Mbak!" Willy melirik gemas Diana yang untuk pertama kalinya ia dapati terlihat gugup. "Mbak, gugup?" Sambil terus menatap Diana, Willy sengaja menahan senyum. "Iiih, mulai, deh. Maksudku itu, bunga di tepi jalan, bunga liar gitu biasanya dipipisin orang. Takutnya kuman. Cepat cuci tangan." Willy langsung kebingungan mencari-cari tempat sampah terdekat. Di sebuah kafe yang ada di dalam mal ia dan Diana janjian, Willy bergegas ke toilet sesaat setelah membuang bunga liar yang sengaja ia petik untuk Diana, di tempat sampah yang juga ada di depan toilet. Setelah Willy kembali, Diana langsung memberikan ponsel Willy kepada sang pemilik. "Semalam kontak yang namanya OM, telpon." "Oh, terus gimana? Dia pasti enggak bisa berkata-kata, ya?" Willy terkikik, merasa bahagia sekaligus menang, seorang Ferro yang tidak percaya Willy tak mungkin punya pacar, justru langsung berbicara dengan Diana. "Kami enggak sempat ngobrol, soalnya batre ponsel kamu mati. Kamu kebangetan, batre saja sampe enggak dikasih makan!" "Ya ampun, Mbak! Demi apa pun, Mbak jangan berpikir aku juga enggak kasih Mbak makan kalau Mbak jadi istri aku, ya. Masalah lupa kasih makan ponsel tuh gara-gara aku terlalu fokus mikirin Mbak!" Diana langsung memasang wajah datar. Ekspresi yang benar-benar masam, meski Willy terus tersenyum hangat kepadanya. "Bentar, Mbak. Kok wajahmu pucat banget?" Willy berangsur meraih tangan Diana kemudian meletakan tangannya di leher Diana. "Mbak demam parah! Aku cari obat dulu!" Willy tak lantas pergi begitu saja karena pemuda itu juga sengaja melepas jaketnya dan mengenakannya pada Diana. Bahkan meski Diana sudah mengenakan sweter, Willy merasa kenyataan tersebut belum cukup. Suami sendiri enggak peduli, justru orang lain bahkan masih bocah yang peduli banget! batin Diana yang menjadi menangis bahkan sesenggukkan. Diana sengaja menekap wajahnya menggunakan kedua tangan. Ia sengaja melakukannya demi meredam tangis berikut menyembunyikan kesedihan yang sayangnya tetap tidak bisa ia redam. Andai, dari awal Romi memperlakukannya lebih manusiawi. Andai, Romi bisa adil dan tak hanya bersikap kasar sekaligus terus memberinya luka, Diana pasti akan belajar untuk menerima nasibnya menjadi istri kedua. Sayangnya, Romi bahkan Milla jauh dari semua itu. "Di, apa bedanya kamu punya hubungan dengan laki-laki lain, ataupun langsung gugat cerai Romi? Bukankah semuanya sama-sama untuk perpisahan? Dan bukankah langsung menggugat cerai justru lebih tidak menambah masalah? Memangnya kamu enggak kasihan ke Willy sama keluarganya? Gimana kalau mereka juga sampai dihajar sama Romi?" Sisi lain dari diri Diana memberi solusi. Sayangnya aku berjuang sendiri. Sedangkan Mas Romi pasti akan kembali memutar balikan fakta. Atau, aku mulai dari sekarang? Aku merekam semuanya dan menjadikan rekaman itu bukti? pikir Diana. **** Diana refleks menahan napas seiring motor Willy yang membawanya memasuki sebuah halaman rumah elite di kawasan perumahan elite. Rumah tersebut merupakan rumah paling besar di sana. Memiliki halaman luas dan sebagiannya dijadikan hamparan jalan yang mampu menampung dua kendaraan beroda empat berukuran besar, bahkan meski kendaraan tersebut dijejerkan. Diana sampai menengadah hanya untuk mengamati suasana di sana yang untuk tamannya pun dihiasi tanaman termasuk pohon-pohon berharga mahal. Ia turun dengan ragu sekaligus hati-hati apalagi mulut Willy yang tak beda dengan radio sudah langsung wanti-wanti. “Wil,” ucap Diana yang langsung menahan kedua tangan Willy. Seperti saat akan memakai, kali ini Willy juga membantu Diana melepaskan helm-nya. “Kenapa, Mbak?” Willy menatap heran Diana dan tetap melepas helm Diana kemudian meletakkannya di stang motor layaknya helm miliknya yang sudah tergantung. “Orang tua kamu kerja di sini?” tanya Diana memastikan meski firasatnya sudah sangat tidak enak. Dadaa Diana mulai bergemuruh, selain Diana yang sudah sampai gemetaran takut. Iya, Diana takut. Diana benar-benar takut Willy yang dari tampang sangat menarik meski wajahnya masih sangat bocah, justru merupakan pemilik rumah kunjungan mereka. Namun, Diana jauh lebih berharap Willy hanya sebatas pekerja di sana. Diana telanjur ngeri, bahkan meski baru melihat suasana luar rumah kunjungan mereka. Bisa Diana pastikan, pemilik rumah kunjungan mereka pasti bukan orang biasa. “Kerja gimana maksudnya, Mbak?” tanya Willy masih menatap bingung Diana. Kali ini wanita yang sudah sukses mencuri hatinya itu kembali menahan kedua tangannya yang akan merapikan rambut Diana yang menjadi cukup berantakan gara-gara memakai hem. “Jadi, ini rumah kamu?” Diana memberanikan diri untuk menebak, meski melakukannya saja ia sudah makin takut. “Bukan ....” Willy merapikan rambut Diana dengan sangat hati-hati menggunakan kedua tangannya. Merasa sangat lega, Diana refleks mengembuskan napas panjang melalui mulut sedangkan kedua tangannya refleks mengelus dadda. “Kata siapa ini rumahku? Ini kan rumah orang tuaku.” “Hah?!” Diana tak hanya menjerit, sebab tubuh mungilnya juga mental bak tersengat aliran listrik. Dada Diana semakin berisik sementara tubuhnya mulai gemetaran takut. Ia menatap tak percaya Willy dengan mata bergetar. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin bocah yang sering ia marahi dan selalu membalasnya penuh sayang dan kali ini masih berdiri di hadapannya, justru anak dari keluarga sultan? “Kamu tukang ojek, kan?” tanya Diana dengan suara yang terlampau lirih lantaran apa yang terjadi kini membuat tenaganya terkuras. Diana merasa sangat lemas. “Iya.” “Willy, aku serius!” keluh Diana nyaris menangis. “Iya, aku kerja jadi tukang ojek, dan ini rumah orang tuaku. Orang tuaku yang punya perusahaan ojek online aku kerja.” “Gilaa ....” Diana refleks mendesis lemas. “Kenapa, Mbak?” “Kok kenapa, sih? Orang tuamu tahu aku lebih tua dari kamu. Aku bahkan sudah menikah dan masih resmi menjadi istri orang. Dan setelah tahu semua itu, orang tuamu pengin cepet-cepet ketemu aku?” Diana berucap cepat dan sengaja memastikan. “Iya, Mbak! Orang tuaku langsung pengin ketemu Mbak secepatnya!” timpal Willy benar-benar jujur. “Terus menurutmu, kenapa mereka begitu? Mereka begitu karena mereka enggak terima. Mereka marah ke aku, Wil! Ya ampun kamu.” Diana yang sampai menitikkan air mata, memilih berlalu dari sana. Diana takut, hubungannya dengan Willy hanya akan membuatnya semakin bermasalah. “Mbak, Mbak mau ke mana?” seru Wily. “Pulang. Aku enggak mau makin bermasalah. Gilla kamu, enggak jujur dari awal kalau kamu anak orang kaya.” “Lha, memangnya aku harus gimana. Masa aku harus teriak-teriak, ngasih tahu aku ini anak orang kaya?” Karena Diana sampai berlari, ia pun berteriak, “Pak, jangan biarin Mbak-nya pergi. Jangan biarin dia lepas!” Mendengar itu, Diana merasa kesal dan refleks balik badan. “Jangan biarin lepas? Kamu pikir aku ini hewan?” “Kenapa Mbak ngomong gitu?” Willy melangkah tegas menghampiri Diana. Satpam di sana dan sudah ada di hadapan Diana langsung kebingungan. Namun, ia sudah memastikan pintu gerbang dalam keadaan digembok. “Mbak itu masa depanku. Mbak itu duniaku. Wanita yang aku harapkan menjadi istriku. Wanita yang akan melahirkan anak-anakku! Sedangkan alasanku mengajak Mbak ke sini karena aku ingin lebih serius, agar kamu percaya, Mbak. Tolong, biarin aku beresin semuanya satu-persatu!” tegas Willy. “Mbak bilang, Mbak ingin bebas? Aku juga lagi usaha buat bebasin kamu, Mbak!” lantang Willy sambil terus melangkah. Sang Satpam yang menjadi saksi refleks berseru, “Cihuy!” Mendengar itu, Diana dan Willy yang refleks menoleh menatap sang satpam, langsung kompak salah tingkah. Akankah Diana mau memberi Willy kesempatan? Dan akankah Willy benar-benar mampu mengantongi restu? Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN