Episode 11 : Mellayani dan Kewajiban

1411 Kata
“Astaga, kamu. Untung orang tuamu enggak langsung meninggal. Kalau orang tuamu meninggal, kamu jadi yatin piatu, Willy! Gila, kamu, ya!” Diana merasa gila berurusan dengan Willy yang memiliki pemikiran sangat ajaib. Namun, hati kecil Diana meyakinkan Diana untuk menghargai usaha Willy. “Dia memang ajaib, tapi kamu jangan lupa, enggak semua pemuda seusianya mau begitu. Jarang-jarang ada bocah yang mau belajar buat serius.” Namun, sisi lain Diana juga menjadi bertanya-tanya mengenai status Willy. Aku bahkan enggak tahu asal-usulnya. “Mbak, tolong jangan marah dulu.Tolong kasih aku waktu. Orang tuaku ingin bertemu kamu. Tapi sore besok mereka bakalan pergi dan baliknya enggak tahu kapan.” Seperti biasa, Willy kembali memohon. Meski sering bertingkah ajaib lengkap dengan kata-kata manis berikut rayuan maut yang dilayangkan, bagi Diana Willy beribu lebih baik sekaligus tanggung jawab dari Romi. “Wil,” ucap Diana serius. “Hm? Apa, Mbak?” “Aku mau tanya, tapi kamu jawab serius, ya! Wajib!” “Lha, Mbak. Kamu bikin aku deg-degan.” “Willy, aku serius!” “Oke! Aku nyimak!” Diana memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menanyakan mengenai asal-usul Willy berikut latar belakang Willy dan keluarganya. “Aku enggak bermaksud apa-apa. Cuma ya itu, ada, orang waras yang asal terima orang asing memasuki hidupnya?” “Kalau Mbak tanya asal-usulku, aku ya bermula dari bapak-ibuku. Tanpa mereka, aku ya enggak ada.” “Willy! Aku beneran nangis kalau kamu terus begini!” Diana benar-benar geregetan. Andai Willy ada di hadapannya, sudah habis bocah itu langsung ia hajjar. “Oke, Mbak. Oke! Jangan nangis, please. Aku begini biar hidup Mbak enggak selamanya tegang.” “Aku, ... aku ya bukan siapa-siapa meski orang tuaku memang memiliki kehidupan terbilang enak. Aku cuma tukang ojek online yang pendapatannya belum tetap. Mbak juga udah tahu, kalau aku tulang ojek, kan?” Balasan Willy membuat Diana refleks mengangguk bersama rasa ngilu yang memilin ulu hatinya. Kok sakit, ya? pikir Diana. “Iya, enggak apa-apa. Aku juga mau usaha biar bisa dikasih izin kerja.” “Mbak enggak usah kerja. Habis ini aku pasti cari kerja lebih serius.” “Sudah, kamu jangan mikir macam-macam. Sudah malam, kamu istirahat.” Diana membenarkan lilitan handuk yang ia tahan erat bagian daadanya. “Iya. Sudah malam. Mbak juga istirahat. Tadinya Mbak lagi ngapain?” “Aku baru beres mandi habis ngerendem kepala.” “Jam segini baru beres mandi?” “Bawel!” “Oke, Mbak aku mingkem. Mbak pakai baju hangat ya, soalnya lagi hujan. Terus jangan lupa keringin kepala Mbak sebelum Mbak beneran tidur ....” Diana hanya membalas ucapan panjang lebar Willy dengan bergumam sekaligus mengangguk. Di waktu yang sama, dari belakang Diana ada Romi yang datang memasuki kamar Diana dengan hati-hati. Romi masih mengenakan pakaian kerja berupa setelan jas abu-abu yang siang tadi Romi pakai untuk mengunjungi restoran tempat Diana dan Ferro janjian. Dan Romi, langsung tertegun memandangi Diana dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tubuh Diana hanya terlilit handuk bagian daada hingga ke pahha, sedangkan rambut Diana yang kali ini tergerai masih basah. Dan Romi baru menyadari, Diana memiliki kulit yang sangat indah. Romi refleks menelan saliva karenanya, bersama rasa ingin memiliki Diana yang mendadak tumbuh sangat kuat. Ketika Romi menikmati pemandangan kali ini terhadap Diana, tidak dengan Diana yang langsung syok ketika balik badan. Diana nyaris kelepasan handuknya sebelum akhirnya ia buru-buru masuk ke kamar mandi. Kenapa Mas Romi ke sini? Dan sejak kapan dia ada di sana bahkan sampai ... memperhatikanku seperti itu? Diana sampai berkeringat sampai tegangnya apalagi tak lama setelah itu, seseorang dan Diana yakini Romi justru mengetuk pintu yang Diana punggungi. Bukannya membuka pintunya, Diana buru-buru menguncinya lantaran ia lupa belum melakukannya. “Mas ngapain, sih? Ngapain Mas ke sini?” “Apa kata orang tuamu kalau kamu di sini tapi aku enggak nyusul?” Romi bertutur ketus layaknya biasa. Kemudian, tatapan Diana refleks turun ke dadanya.Tadi Mas Romi pasti lihat. Untung tadi aku enggak langsung lepas handuk! Rasa sedih yang tiba-tiba menguasai Diana membuat Diana refleks menitikkan air mata. Diana menyesali kenyataannya yang sampai ceroboh tak mengunci pintu kamarnya hingga Romi melihatnya dalam keadaan seperti tadi. Bisa Diana pastikan, tadi ia nyaris kelepasan handuk hingga sebagian buaah daddanya terlihat. Namun, Diana memiliki alasan kenapa ia sampai lupa mengunci pintu kamarnya. Kenyataan tersebut terjadi lantaran Dita sudah berulang kali keluar masuk kamar Diana sebab sesuai rencana, malam ini juga Dita akan pergi demi menghindari perjodohan dengan Ferro. “Aku juga mau mandi. Aku capek, dan aku enggak harus jelasin alasannya, kan?” ucap Romi dan kali ini terdengar sewot. “Bentar. Lima menit lagi.” Diana mendengkus malas tapi kemudian menghela napas. Ia merasa cukup aman karena ia sudah sampai membawa pakaian ganti, meski pakaian yang ia pilih akan ia ganti setelah ia keluar. Bagaimana tidak? Pakaian yang Diana bawa tersebut berupa piama pendek yang otomatis akan membuat pahaa Diana terekspos, dan Diana tidak rela Romi sampai melihatnya. Padahal, Diana sudah merasa agak santai lantaran yakin bisa bebas dari Romi yang Diana yakini tidak akan menyusul meski untuk malam ini saja. Namun, nyatanya Romi sungguh susah ditebak. **** “Malam ini kita tidur bersama,” tegas Romi tak lama setelah Diana membuka pintu. Diana langsung mengernyit, menengadah dan menatap tidak setuju. “Nggak!” tolaknya enteng. “Kamu sadar dengan balasan kamu?” Romi langsung menatap bengis Diana. Diana refleks mengangguk. “Ya. Sangat. Aku sangat sadar. Ingat, Mas punya istri yang sekarang sedang hamil besar!” Penolakan dari Diana membuat Romi refleks mengepal kencang bersama rahangnya yang mengeras. Sedangkan mengenai tatapannya, jangan tanyakan lagi karena kali ini Romi menatap Diana jauh lebih bengis dari biasanya. Meski demikian, Diana tetap dengan keputusannya tanpa mengubah keadaannya yang juga masih menatap marah Romi. Tak mau membuang-buang waktu, Diana berlalu sambil tetap menahan lilitan handuk di pinggangnya. Dan seperti yang Diana takutkan, Romi nekat menarik lilitan handuk tersebut. “Mas, jadi orang egois banget, sih? Balikin handuknya!” Diana membungkuk tidak nyaman menutupi pahanya menggunakan kedua tangan. “Kamu masih tetap enggak mau melllayani suamimu sendiri? Kamu sadar apa yang kamu lakukan?” bentak Romi. Diana menggeleng tak mengerti. “Suami apa, Mas? Saat seperti ini, Mas mengungkit-ungkit status kita. Mas menuntut hak Mas agar aku melllayani Mas. Namun selebihnya, ... selebihnya Mas hanya menganggapku tak lebih dari buddak, kan?” “Maaf, Mas. Aku enggak bisa. Aku beneran enggak bisa menjalani kewajiban yang Mas mau, sebelum Mas jujur ke keluarga kita mengenai pernikahan Mas dengan Milla, sekaligus semua kebohongan Mas.” “Bahkan aku akan tetap berpikir ulang meski Mas juga sudah mengakui kesalahan Mas. Enggak apa-apa dicap durhaka. Mas yang minta, Mas yang bikin aku begini.” Meski Romi hanya diam, Romi jelas tidak terima. Napasnya saja sampai memburu selain wajah Romi yang sudah merah padam. Dan Romi sungguh tidak melepaskan Dina. Romi mencekal asal salah satu tangan Diana kemudian mendekap bahkan sampai mengangkat tubuh Diana yang dibantingnya ke tempat tidur. Diana benar-benar panik dan refleks menangis ketakutan di tengah kesibukannya yang langsung berusaha melarikan diri. Diana yang sudah berhasil loncat dari tempat tidur nyaris keluar dari kamar, tapi Diana yakin itu akan membuat Romi kembali membuat drama sekaligus memutar balikkan fakta. Tak ada pilihan lain selain kabur ke balkon. Buru-buru Diana lari menghindari Romi yang mengejar. Diana mengambil kunci pintu balkon dan menguncinya dari luar. Lega. Diana yang awalnya menyandar ke pintu refleks terduduk lemas di tengah napas berikut detak jantungnya yang sudah sangat kacau. Tak peduli dari balik pintu, Romi sudah berulang kali menggedor dan bisa jadi, besok pria itu akan mengamuknya melebihi biasa. Termasuk mengenai kenyataan kini yang tengah hujan deras disertai angin. Kaki hingga pahaa Diana saja sudah langsung basah bersama rasa dingin yang seketika menusuk hingga ke tulang. Mau sampai kapan aku begini? Tubuh Diana mulai menggigil. Apa aku loncat saja, ya? Nanggung banget hidup begini terus. Namun kalau aku loncat, aku langsung mati atau hanya cacat? Ketika Diana bimbang, dering telepon masuk dari ponsel Willy yang ia genggam erat menggunakan tangan tangan langsung mengusiknya. Om? Siapa ini? Salah enggak kalau aku angkat? Diana ragu dan memang takut salah. Namun, Diana juga takut telepon tersebut penting. “Hallo?” jawab Diana akhirnya. “Kamu?” Suara dari seberang langsung Diana kenali sebagai Ferro yang hari ini tak sengaja ia temui di restoran. Begitu juga dengan Ferro selaku penelepon. Namun, keduanya yang sempat yakin juga kompak menepis. Mana mungkin! pikir keduanya. “Ini, ponselnya Willy, kan?” Pertanyaan barusan langsung membuat Diana kebingungan. Duh, aku harus jawab apa? Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN