17. Konverensi Pers

1381 Kata
Case 17  Hari penting yang dinantikan oleh bos dan manager J akhirnya datang, menghadiri undangan bertemu Presiden di Gedung Biru. Mereka bertiga telah mempoles penampilan diri sejak pagi serapih mungkin, terkesan formal dan berkelas. Tapi sebenarnya J tidak menunjukkan ekspresi seantusias itu seperti bos atau managernya akan bertemu dengan Presiden. Yang ada dalam benaknya pasti pertemuan ini pun akan dalam pengawasan sorot mata media, untuk ajang pencitraan dan promosi bagi kedua belah pihak. Entahlah, belakangan ini J lelah dengan segala pemberitaan dirinya. Terakhir kali agensinya pun membuat pernyataan resmi dengan mengadakan konverensi pers tentang bergabungnya dia dalam acara varietyshow, hanya managernya yang hadir pada konverensi pers tersebut mewakilkan dirinya. Sementara J tidak berada di sana, memantau jalannya konverensi pers dari jauh lewat layar kaca komputer di apartemennya. “Selamat datang.” Sambut sekretaris pribadi Presiden. “Silahkan, Pak Presiden sudah menunggu di dalam.” Katanya seraya membukakan pintu ruang itu untuk ketiganya masuk. Hal pertama yang mereka lakukan ketika melihat sosok Presiden di dalam ruangan adalah membungkuk hormat sangat dalam. Lalu kemudian Presiden menyambut mereka dengan berjabat tangan. Dalam ruangan itu juga ada seorang reporter dan fotografer yang sejak mereka masuk sibuk mengambil beberapa foto. Nampaknya seperti pers khusus kepresidenan untuk dokumentasi negara, atau laporan atau apa pun itu namanya, mereka tidak cukup tahu secara pasti. “Senang bertemu.” Ucap Presiden pada J, tak luput seuntai senyuman ramah menghias wajahnya. “Saya juga Pak, merasa terhormat dapat bertemu dengan anda.” Ini hanya attitude J dalam dunia kerja, basa-basinya bila bertemu dengan orang asing apalagi dengan posisi orang itu setinggi Presiden negara. “Mari-mari, silahkan duduk.” Ajak Presiden pada tamunya. “Ah, saya belum tahu nama aslimu. J adalah nama panggung bukan?” Tanya Presiden. “Saya Su Bin Yoo.” Jawab J sangat singkat karena yang dipertanyakan Presiden hanya namanya. Tapi jawaban J itu membuat manager dan bosnya olahraga jantung, takutnya jawaban J terkesan acuh bagi pak Presiden yang terhormat. “Benar-benar, saya ingat sekarang.” Padahal beberapa saat lalu sekretarisnya sudah memberitahu nama asli J yang terulis sebagai penerima penghargaan Presiden. Ya benar, maksud kedatangan J diundang ke Gedung Biru adalah untuk menerima penghargaan apresiasi Presiden atas partisipasinya dalam mendukung kebijakan pemerintah tentang sekolah gabungan Korut dan Korsel serta meresmikan J sebagai ambasador pelajar kehormatan di Union of Korea. Penghargaan presiden ini diberikan sebagai booster mengangkat citra J di mata publik. Inisiatif J mendukung langkah pemerintah membentuk sekolah gabungan Korut dan Korsel serta menjadi pioneer pada masa depan semenanjung Korea patut diapresiasi. Karena alasan itu dalam pertemuan mereka turut hadir fotografer dan pers khusus kepresidenan untuk mengabadikan momen serah-terima itu. Agenda utama adalah sebagai mana yang telah disebutkan sebelumnya. Lalu setelah semua proses acara itu selesai Presiden sengaja meluangkan waktu untuk bicara santai dengan tamu-tamunya, secara khusus ia sangat tertarik berdialog dengan J. Ada agenda tersembunyi dalam niat hati Presiden. Alasan kuat di balik agenda ini adalah Presiden ingin menjalin hubungan dengan J karena background keluarga besarnya.  Itu mengapa Presiden ingin bertemu langsung dengan J di sela jadwal kesibukannya menjalankan tugas negara. “Saya sudah mendengar tentang keluargamu Su Bin. Saya tidak mengira ayah dan ibumu adalah Yoo family yang memiliki nama besar terpandang di masyarakat. Walau saya sendiri hanya baru sekali saja bertemu dengan mereka dalam kesempatan acara kenegaraan.” Sejak kalimat pertama J mendengar kata ‘keluarga’ ia sudah merasa tidak senang. Entah siapa yang sudah membocorkan informasi tentang latar belakang keluarganya pada Presiden di mana selama ini J tutupi karena tidak nyaman membicarakan keluarga. “Ah, begitukah.” Kata J dengan ekspresi enggan. Entah Presiden menyadarinya atau tidak atau merasa tersinggung, J tidak peduli. “Apa kamu sama sekali tidak berhubungan lagi dengan mereka selama ini?” “Maaf Pak, kalau membicarakan keluarga saya kurang nyaman.” Pungkas J langsung pada sasaran. “Oh begitu... Ya mungkin lain kesempatan kita bisa membicarakan ini di waktu terpisah.” Ucap Presiden menerima penolakan J dengan lapang. Manager dan bos J merasa sesak napas, keringat dingin melihat kelakuan sikap artis mereka yang begitu berani malah menurut mereka kurang ajar pada Presiden. Inginnya menghentikan sikap J yang terkesan arogan itu tapi apa daya mereka takut malah semakin memperburuk situasi bila terlibat. Lalu kemudian dari arah luar sekretaris pribadi Presiden masuk mengingatkannya bahwa waktu telah habis dan Presiden harus bergegas untuk menghadiri agenda kenegaraan berikutnya. Benar, jangan sampai salah atau lupa. Pertemuan mereka ini adalah bagian dari agenda kenegaraan yaitu mengangkat J menjadi ambasador sekolah Union of Korea dan memberinya apresiasi penghargaan atas inisiatif partisipasi J dalam penggabungan sekolah Korsel dan Korut.  Begitulah tajuk yang dirilis secara resmi oleh pers kepresidenan.  Bersamaan dengan pemberitaan itu, pemerintah juga mengumumkan secara live di konverensi pers list nama-nama pelajar yang terdaftar menjadi siswa sekolah khusus Union of Korea. *** “Ya ampun, dunia ini sudah gila!” Maki seorang supir taksi yang tengah menyaksikan siaran konverensi pers di waktu makan siangnya pada sebuah restoran sup sapi di pusat kota. “Kenapa Presiden dan pemerintah mendukung artis macam itu lalu mengagung-agungkan namanya. Nasib bangsa ini sudah kacau!” Sementara ia, seorang pemuda pekerja part-time yang tengah melayani pelanggan juga ikut menyimak isi berita. Berdiri membisu, kaget dan tidak percaya dengan yang baru saja ia dengar diberita. Karena menurut pernyataan sekretariat kepresidenan yang kini tampil di layar televisi berdiri pada mimbar, dirinya sesuai dengan kriteria yang disebutkan sebagai pelajar Union of Korea. Seperti penyampaian staf Presiden itu, ia masuk kedalam daftar nama siswa yang harus bersekolah di sekolah khusus gabungan Korut dan Korsel. Seolah namanya dipanggil oleh malaikat pencabut nyawa, Jae Goo Min panik tidak tahu harus berbuat apa. Ponselnya di saku celana bergetar, saat ia buka pesan masuk itu berasal dari pemerintah berisi surel penggilan dan pemberitahuan resmi tanggal dimulainya ajaran baru di sekolah khusus Union of Korea. Pemilik restoran mendekati pekerja paruh waktunya dengan cemas bercampur prihatin. “Ya ampun-ya ampun! Kau tidak apa-apa Jae Goo? Bukankah nama kamu juga termasuk salah satu di antara mereka?” Jae Goo Min pemuda putus sekolah sekaligus yatim piatu yang dikeluarkan dari sekolah karena catatan kasus tindak pencurian dan kekerasan atau bulling di sekolah. Selama ini ia bekerja paruh waktu setelah berhenti sekolah, menjadi tulang punggung keluarga. Jae Goo hanya tinggal memiliki satu keluarga yaitu nenek yang sekarang tinggal bersamanya. Jae Goo tidak pernah membuat masalah di tempat kerjanya bahkan cara kerjanya disukai oleh bos di mana pun ia bekerja part time. Dalam sehari Jae Goo memiliki jadwal 3 tempat kerja yang berbeda. Kesehariannya sibuk mencari uang untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan nenek serta biaya pengobatan neneknya yang mulai sakit-sakitan karena usia tua. Bila Jae Goo masuk ke sekolah khusus itu lalu bagaimana dengan nasip biaya hidup dan pengobatan neneknya? Karena saat Jae Goo masuk sekolah nanti berarti ia harus berhenti bekerja. “Aku harus mencari cara agar tidak ikut pada peraturan itu. Tapi apa?” Pikir Jae Goo memutar akal. Di berbagai tempat kegelisahan yang sama timbul dari keluarga mereka yang anak-anaknya masuk ke dalam list tersebut. Apalagi di dunia maya dengan kreativitasnya netizen, mereka ramai menyebutnya sebagai death list of Union. Semua orang dengan menggunakan media yang berbeda memutar ulang siaran pers sekretariat Presiden untuk memahami jelas peraturan yang baru diberlakukan pemerintah itu. “Anak-anak usia pelajar SMA yang termasuk dalam kriteria tersebut adalah mereka yang putus sekolah atau bermasalah dan terancam dikeluarkan dari sekolahnya yang sekarang. Informasi detail sehubungan dengan peraturan ini dapat diakses melalui halaman situs resmi Union of Korea. Demikian pengumuman ini dibuat atas persetujuan Presiden dan parlemen.” Kebijakan pemerintah kembali menaikkan suasana panas di lapisan bawah rakyat Korsel. Tentu saja karena mereka pelajar-pelajar yang bermasalah dan putus sekolah adalah anak-anak berasal dari keluarga tidak mampu atau keluarga tidak harmonis, tidak memiliki anggota keluarga lengkap. Itu sama saja pemerintah mengorbankan mereka yang memang memiliki masalah ekonomi, sosial dan keluarga. Tapi teriakan suara rakyat kecil tidak pernah berhasil melawan kekuasaan dan kalangan kelas atas yang meredam isi hati dan kesusahan rakyat. Peraturan itu tetap bergulir sekeras apa pun mereka protes dan menolak. Prinsipnya selama bukan diri mereka yang terlibat, maka yang lain merasa baik-baik saja. Permasalahannya jumlah list keluarga yang anak-anak mereka terpaksa harus bergabung ke sekolah khusus itu tidak sebanding dengan jumlah keseluruhan rakyat Korsel. Ya, untuk mengisi kuota pelajar di sekolah Union of Korea pemerintah cukup menumbalkan sekitar 0,00001 persen anak dari angka penduduk Korsel. ***unsolved
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN