Hari Yang Ditunggu

1275 Kata
Hari yang di tunggu-tunggu oleh seorang Daren Cyrill akhirnya tiba. Setelah penandatanganan kontrak kerja dengan Andrew Wang seminggu yang lalu. Sebuah brand yang berada dalam naungan perusahaan Daren tengah meluncurkan produk kecantikan. Jadi, Daren memanfaatkan itu untuk menggaet model yang tengah booming untuk menjadi Brand Ambassadornya. Siapa lagi jika bukan Hazel Oswald. Gadis cantik bermata indah yang dia temui di club malam itu. Yang berakhir dengan malam panas yang begitu menggairahkan. Sejujurnya saat dirinya terbangun kala itu, dia membuka tas Hazel untuk mencari informasi. Dan ya tepat sekali, Daren menemukan kartu nama milik Hazel dan memotretnya. Dia bahkan meninggalkan sepucuk surat dan membubuhkan nomornya di sana. Tapi sampai saat ini, wanita itu tak menghubunginya. Dan itu membuat Daren semakin penasaran. "Baiklah, aku tidak sabar bertemu denganmu." gumam Daren yang tersenyum sembari menatap pantulan dirinya yang begitu gagah dibalut Jas Hitam pekat favoritnya. Daren tengah bersiap untuk menuju ke lokasi pemotretan produk terbarunya. Dengan langkah cepat, ia turun ke basement menuju mobilnya yang masih terparkir di sana. Mike tampak sudah standby di samping mobil. Saat sang tuan telah sampai, dengan gesit Mike membukakan pintu mobilnya dan mempersilahkan Daren untuk masuk. "Selamat pagi, Tuan Daren!" sapa Mike sebelum Daren benar-benar masuk ke dalam mobilnya. "Pagi, Mike." sahut Daren. Setelah itu, Mike langsung menutup pintu mobilnya dan segera masuk untuk mengemudi. Daren memang memiliki supir pribadi, tapi karena ada Mike maka bisa dibilang sangat jarang ia meminta supirnya itu untuk mengantarnya. Supir Daren yang sekarang ditugaskan di rumah pribadi miliknya. Ngomong-ngomong soal rumah, Daren memang jarang menempati rumah pribadi miliknya. Pria itu lebih memilih tinggal di apartment untuk sementara ini. Karena rumahnya yang terlalu besar untuk dia tempati sendiri. Di sana hanya ada beberapa pelayan kepercayaannya yang ia tugaskan untuk membersihkan dan menjaga rumah. Memang sudah setahun Daren memutuskan untuk tinggal terpisah dari kedua orang tuanya. Apalagi saat ini kedua orang tuanya sedang menikmati waktu bersama di Sydney. Daren sudah terbiasa mandiri sejak jaman dulu, jadi tak heran jika sekarang apa-apa selalu sendiri. "Tuan, apakah kita langsung menuju ke lokasi pemotretan?" tanya Mike. "Harusnya, tapi antar aku ke kantor lebih dulu, Mike. Ada berkas yang harus aku periksa," sahut Daren yang matanya masih fokus melihat ke layar Ipadnya. "Baik, Tuan." Maka tidak perlu menunggu apapun lagi, Mike segera mengemudikan mobilnya menuju kantor. Mike sempat melihat ekspresi wajah Daren melalui kaca depan mobil. Nampak tengah menahan emosi. Tapi Mike mencoba menahan diri untuk tidak bertanya. Ia benar-benar fokus untuk melajukan mobilnya. +++ Emily lagi-lagi dibuat meradang dengan tingkah Hazel pagi ini. Bagaimana tidak, Hazel ke lokasi masih lengkap memakai piyama berwarna kuning dan bermotif kartun. Bahkan fakta gilanya, wanita itu belum mandi sama sekali! Demi kepala botak squidward, Emily rasanya ingin mati cepat kalau begini. Susah sekali mengatur seorang Hazel Oswald. Memang benar apa kata wanita itu, jika dirinya lebih cocok jadi ibu tiri Hazel ketimbang menjadi manager yang merangkap sebagai asisten juga. "Kau benar-benar membuatku malu!" omel Emily yang sudah tak tahan menahan emosi. "Bisakah sehari saja jangan mengomel, Em?" "Tidak! Setiap menit setiap detik pun aku betah mengomelimu!" "Sialan, sepertinya aku harus ke dokter THT setelah ini." "Ya, cek sekalian otakmu itu!" Emily makin tersulut emosi. "Kau bercanda? Mana bisa dokter THT cek otak?" "Terserah kau!" "Kau mempermasalahkan karena aku tak mandi?” tanya Hazel. Lalu detik berikutnya ia tersenyum sombong. “Tenang Em, walaupun aku tak mandi 2 hari pun, tubuhku tetap akan tercium wangi." "Wangi? Wangi ketiak kau!" "Em, kau benar-benar akan darah tinggi nanti. Jarang suka teriak-teriak begitu," "Oh s**t! Aku bahkan sudah berada di level mau mati rasanya menghadapimu." Hazel tertawa melihat Emily yang kacau dan tentunya pusing. Ini adalah pemotretan produk kecantikan. Jadi dirinya berpikir, masa iya sebagai model Brand Ambassador pergi bekerja tidak mandi sama sekali? "Baiklah, oke.. oke.. Emily Faith! Maafkan aku!" ujar Hazel. “Tapi serius, walau aku tidak mandi, tubuhku masih tercium wangi. Kalau tidak percaya, coba kau hirup aroma tubuhku. Tidak ada bau busuk sama sekali,” Emily hanya mencebikkan bibirnya kesal. Dia mulai menyiapkan gaun yang akan Hazel kenakan. Sekarang Hazel sedang di rias wajahnya. Riasan tipis yang natural membuat wajah Hazel yang cantik lebih terlihat fresh. "Oh ya, nanti Andrew akan kemari." ujar Emily memberitahu. "Kapan?" tanya Hazel menyahuti. "Setelah makan siang sepertinya," "Oh.." Emily menyerahkan gaun putih yang modelnya mengekspos bahu kiri Hazel. Ketika telah dipakai, begitu pas dan cantik. Tubuh Hazel yang tinggi, ramping sangat cocok memakai gaun itu. Bahkan semua crew juga memuji Hazel. "Oh ya, Andrew tadi mengatakan jika pemilik brand produk ini akan kemari nanti." Emily melanjutkan. "Daren..." gumam Hazel pelan, namun masih terdengar di rungu Emily. Hazel mendadak teringat dengan wajah tampan Daren Cyrill di malam itu. Hari ini, mereka akan bertemu lagi? "Ya, Daren Cyrill. Kau ingat namanya rupanya." sahut Emily. "Mana mungkin aku lupa dengan namanya, Em? Aku bahkan memiliki ingatan setajam silet asal kau tahu!” "Iya, tak cuma ingatan. Tapi ucapanmu juga tajam,” "Hahaha.. Itu hanya berlaku untuk orang yang menurutku pantas untuk dipedasi saja." "Termasuk Ellard?" "Itu nomor satu!" "Ah.. Jadi, benar?" tanya Emily sembari menaikkan sebelah alisnya. Sedangkan Hazel tersenyum. Seolah tau maksud dari pertanyaan Emily padanya. +++ Daren mulai memeriksa beberapa berkas yang sudah disiapkan oleh sekretarisnya. Jessi, sekretaris Daren kembali masuk ke ruangannya dengan membawa laporan terbaru soal ekspor barang terbaru. "Ini Mr. laporan terbaru untuk ekspor barang," ujar Jessi sembari menyerahkan berkasnya pada Daren. "Ya Jes, terimakasih!" sahut Daren. "Saya permisi Mr. Daren." pamit Jessi dan Daren hanya menganggukkan kepalanya. Jessi keluar dengan raut wajah sedikit kecewa. Sebenarnya, dia sangat menyukai bosnya itu. Siapapun pasti akan menyukai pria tampan, mapan dan juga cerdas seperti Daren Cyrill. Tapi setiap kali dia berusaha mendekati Daren, begitu sulit dan tidak pernah berhasil. "Hai cantik.." Sapa seseorang dan Jessi menoleh. "Eh, Mr. Jeff selamat pagi!" sapa Jessi saat mengetahui Jeff Levon yang datang. "Kau semakin seksi saja..." puji Jeff sembari memainkan lidahnya di pipi kiri. Mendengar pujian itu membuat Jessi tersipu malu dengan wajah yang langsung memerah seperti kepiting rebus. Kelemahan semua wanita sepertinya memang di sini, di puji. "Ah! Mr. Jeff bisa saja memujiku seperti itu," sahutnya malu-malu. "Ini memang fakta Jes, kau memang makin seksi! Jauh lebih seksi dari 2 minggu yang lalu." "Ish, Mr. Jeff sudah! Saya jadi merasa malu jika dipuji seperti itu." "Kenapa harus malu, cantik? Kau memang seksi, dan itu faktanya. Aku bicara kan sesuai dengan fakta," "Banyak yang lebih seksi dari saya, Mr. Jeff...” jawab Jessi. Lalu ia kembali melanjutkan, “Oh ya pasti Mr. Jeff mencari Mr. Daren kan? Beliau ada di dalam," "Kau tau saja. Ah baiklah aku masuk dulu Jes," "Ya, Mr. Jeff silahkan." Jeff berlalu masuk ke ruangan Daren. Derit pintu yang terbuka membuat Daren mendongakkan kepalanya untuk melihat sebentar siapa yang masuk. Lalu Daren kembali melanjutkan pekerjaannya. ""Ellard sudah mengatakan semuanya padaku," kata Jeff tiba-tiba. "Baguslah kalau begitu, aku jadi tidak perlu repot-repot menjelaskannya padamu, Jeff." sahut Daren tanpa mengalihkan fokusnya pada lembar-lembar berkas yang ada di hadapannya. "Tapi, sama halnya dengan Ellard. Jika Iris yang memulainya aku tak akan mau menolak." "Ya terserah. Aku tidak peduli." sahut Daren santai. Sudah lelah ia sebenarnya memberitahu. "Kau memang tak pernah peduli padanya, Daren." "Yes of course, kau tau itu." Jeff mengangguk-anggukkan kepalanya karena apa yang dikatakan Daren adalah sebuah kebenaran. Mungkin orang berpikir jika Daren lah orang yang lebih peduli ketimbang dua sahabatnya Jeff dan Ellard. Namun kenyataannya adalah Daren lah yang jauh lebih tak peduli. Entahlah, sulit sekali menebak isi pikiran seorang Daren. "Hampir masuk jam makan siang, ayo makan siang bersamaku! ajak Jeff. "Tidak bisa, aku ada urusan." "Urusan apa? Bisnis atau wanita?" "Keduanya," jawab Daren singkat dengan tatapan yang cukup datar. Dan Jeff tak lagi bertanya apapun setelahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN