Solo Trip VS Business Trip
Suara musik terus mengalun indah, mengiringi aktivitas seseorang yang sedang tercipta. Seorang wanita berusia 26 tahun, tengah mengemasi beberapa barang ke dalam koper kecilnya yang berwarna hitam. Tubuhnya terus bergerak tipis-tipis, menikmati musik yang sedang dimainkan.
Hazel Oswald namanya. Wanita berparas cantik bak bidadari itu berdarah campuran Korea & Rusia. Banyak sekali yang memuji kecantikan sang puan, baik para pria maupun wanita. Maka tidak heran jika ia menjadi top model untuk saat ini.
Namanya langsung naik ke permukaan setelah membintangi sebuah video klip dari seorang penyanyi solo terkenal di kota ini. Hebatnya, ia bisa berakting dengan sangat baik, walaupun tak memiliki pengalaman apapun soal berakting sebelumnya. Bahkan Hazel sendiri juga terkejut dengan banyaknya pujian yang ia dapat.
Hazel tak pernah menduga, jika ia akan dikenal lebih banyak orang sekarang. Rasanya ada kepuasan tersendiri baginya saat mendapatkan berbagai banyak pujian. Maklum, ia mengawali karir dari bawah. Bersusah payah untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan passionnya.
Nasibnya tak semulus yang terlihat. Banyak sekali ujian yang ia dapatkan sampai bisa seperti ini. Sebelumnya, untuk makan enak saja bisa dihitung pakai jari. Bekerja bagai robot di sebuah kafe ternama. Dan semua yang sudah ia lalui itu akan terus diingat sampai kapan pun juga.
“Kau benar-benar mau pergi ke Berlin?”
Hazel menoleh dengan cepat ke arah pintu kamarnya. Bisa ia lihat saat ini, sang manager tersayang sudah berkacak pinggang di ambang pintu kamarnya tersebut.
“Hazel, lebih baik batalkan saja perginya. Waktumu sangat mepet dengan jadwal pemotretan selanjutnya.”
Hazel memutar bola matanya jengah ketika mendengar ucapan managernya itu. Bagaimana tidak jengah? Manager yang sekaligus temannya itu sudah membujuknya berulang kali agar mau membatalkan rencana liburannya ke Berlin.
“Kau sudah mengatakan itu berkali-kali, Em. Memangnya kau tidak bosan membujukku terus menerus? Padahal, aku sudah beritahu jika aku tidak bisa membatalkannya. Kau kan tahu kalau rencana liburanku ke Berlin itu sudah dari 2 bulan yang lalu, Emily.”
“Iya aku tahu, dan itu sebelum kau menandatangani kontrak kerja terbaru. Daripada kau pergi berlibur jauh-jauh ke Berlin hanya dalam hitungan hari saja, lebih baik kau pergi ke tempat terdekat. Atau staycation saja di hotel yang baru buka itu, kata orang seru!”
“Kata orang kan? Bukan katamu.”
“Tapi memang seru, kelihatannya sih begitu?” sahut Emily, agak sedikit ragu dengan ucapannya sendiri.
“Lihat, kau sendiri saja begitu ragu saat menjawabnya. Sudahlah Em, jangan berusaha untuk menggagalkan rencana liburanku yang sudah ada di depan mata. Dua jam lagi aku harus sudah sampai di bandara, jadi jangan harap aku akan membatalkan liburanku ini.”
“Astaga Hazel, kenapa kau bebal sekali sih?! Aku begini juga karena khawatir padamu. Jika saja pasporku tidak bermasalah, aku sudah pasti ikut denganmu!"
“Dari awal juga aku ingin pergi liburan sendiri, seperti yang sudah-sudah.”
“Dan membuat ulah setelahnya,” sahut Emily, dan dibalas tawa oleh Hazel. “Hazel serius! Aku benar-benar khawatir membiarkanmu pergi sendiri. Aku takut terjadi sesuatu padamu di sana.”
“Em, aku bukan anak kecil yang harus kau khawatirkan setiap saat. Tenang saja, semuanya pasti akan baik-baik saja. Lagi pula, aku hanya butuh waktu untuk bersenang-senang sebentar saja.”
“Tapi tidak sampai sejauh itu juga ke Berlin, Hazel!”
“Di sana tidak akan ada yang mengenalku, Emily. Aku bisa bersantai di sana tanpa dikerubungi oleh para penggemarku.”
“Oh, kau sudah mulai sombong?”
Hazel mengedikkan bahunya. “Sudah ya, Em. Aku mau menyelesaikan ini semua. Jika kau memang khawatir padaku, kau tinggal datang menyusul ku saja jika paspormu sudah beres. Jangan terlalu diambil pusing!”
“Ck! Aku terbang ke sana menyusulmu, kau terbang pulang kemari. Percuma saja kan aku menyusul? Lebih baik di sini saja, hitung-hitung aku bisa beristirahat sebentar selagi kau pergi liburan.”
“Nah! Kenapa tidak sejak kemarin saja kau berpikir begitu?”
Emily menjauhkan tangan Hazel yang hendak menyentuhnya dengan cekatan. Sebab Emily tahu bahwa puan itu pasti akan mencubit pipinya atau apapun itu yang bisa dijangkau. Memang semenyebalkan itu Hazel jika sedang bercanda.
“Ish sudah! Apa yang bisa aku bantu sekarang? Atau kau butuh sesuatu?”
Hazel menggeleng pelan. “Tidak ada sih. Tapi, bisa tolong buatkan aku roti selai? Perutku minta diganjal makanan sebelum pergi.”
Mendengar permintaan tolong dari Hazel, maka Emily dengan sigap langsung pergi menyiapkan roti selai yang diinginkan oleh Hazel. Roti selai rasa coklat, yang paling Hazel sukai.
+++
Sementara itu di lain tempat, tampak seorang pria bertubuh kekar dengan setelan jasnya yang berwarna hitam, baru saja bangkit dari tempat duduknya. Pria itu tersenyum dan langsung mengangkat tangannya, berjabatan tangan dengan seseorang yang diketahui adalah rekan bisnisnya yang baru. Jabatan tangan tersebut bagaikan simbol bahwa keduanya telah menyetujui kerjasama baru mereka.
Pria tampan bertubuh kekar itu adalah Daren Cyrill. Seorang pewaris dari perusahaan terbesar di negaranya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesuksesannya di bidang bisnis juga berkat nama dari kedua orang tuanya yang merupakan konglomerat tersohor.
Pria berusia 30 tahun itu benar-benar membuktikan bahwa ia bukanlah seorang pewaris biasa yang tinggal menadah saja pada kedua orang tuanya. Ia membuktikan keahlian dan keterampilannya di bidang bisnis. Ya walaupun kesuksesannya masih berada pada bayang-bayang nama kedua orang tuanya. Tapi setidaknya, Daren sudah membuktikannya.
“Senang berbisnis dengan Anda, Tuan Daren!”
Daren tersenyum dan kemudian menyahut, “senang berbisnis dengan Anda juga, Tuan Roberto! Semoga kerjasama kita yang baru ini berjalan lancar dan sukses seperti yang sebelumnya.”
“Saya yakin, kerjasama baru kita yang kali ini akan jauh lebih sukses dari yang kemarin. Saya yakin itu!”
Daren sontak terkekeh kecil, begitupun dengan Roberto yang ikutan tertawa kecil. Keduanya sama-sama ingin mendapatkan hasil yang terbaik dari kerjasama baru mereka.
Tidak ada seorang pengusaha yang mau merugi, di saat beberapa usahanya yang lain terbilang sukses. Kepuasan dalam berbisnis berada di puncak jika benar-benar sudah mendapatkan keuntungan di atas ekspektasi.
“Saya harap, Anda tidak kapok berbisnis dengan saya, Tuan Daren. Apalagi sampai rela datang kemari demi kerjasama baru ini.”
“Tentu, Tuan Roberto. Saya pun berharap Anda tidak bosan berbisnis dengan saya.”
“Oh ya, Anda flight hari ini atau besok?”
“Besok,” jawab Daren singkat.
“Wah, kalau begitu nanti malam datang saja ke beach club milik saya. Kebetulan, nanti malam saya akan berada di sana. Sekalian menyambut teman-teman yang akan datang berkunjung. Anda datang saja ke sana, saya yakin, Anda pasti pusing kan karena sejak tiba di sini langsung mengurus pekerjaan.”
“Maaf, bukan saya tidak mau datang ke sana, tapi sepertinya kapan-kapan saja saya akan datang ke beach club milik Anda, Tuan Roberto. Rencananya nanti malam saya ingin pergi menikmati malam di pusat kota, sebelum pulang besok pagi.”
Roberto lantas mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti, bahwa mungkin saja Daren butuh waktu untuk sendiri. Menikmati malam sendiri memang tidak ada salahnya.