"Kamu baik-baik saja?" Rafael yang sejak tadi sudah menunggu Sofia keluar dari kamar mandi tampak mengkhawatirkan kondisi wanita itu.
"Aku baik-baik saja. Kamu tidak perlu mencemaskan aku." Sofia tersenyum tipis untuk menutupi perasaannya. Sayang, Rafael tetap bisa melihat kalau wanita itu sedang tidak baik-baik saja.
"Aku akan mengantarmu pulang kalau kamu tidak merasa nyaman di sini. Jangan memaksakan diri, Sofia. Aku tahu hatimu pasti sakit melihat lelaki itu. Apalagi dia ..."
"Kamu tidak berhak ikut campur terlalu dalam, Raf! Tugasmu bukan untuk mengurusi masalah pribadiku. Kamu hanya orang asing yang masuk ke dalam kehidupanku." Mendengar itu Rafael diam. Dia memang hanya orang asing yang mendadak hadir dalam hidup Sofia.
"Maaf kalau aku lancang, Sofia. Aku hanya peduli padamu, itu saja." ucap Rafael tulus.
Dia memang tidak bermaksud apapun. Dia iba melihat Sofia yang begitu terpukul saat harus melihat Erwin beberapa menit yang lalu.
"Jangan mengasihani aku, Raf. Hidupku memang tidak berharga di mata orang-orang, bahkan untuk orang yang sudah menemani perjalanan hidupku selama bertahun-tahun," sahut Sofia dengan air mata menggantung, nyaris jatuh.
Rafael dengan sigap menarik lengan Sofia dan membawa wanita itu ke dalam dekapannya. Mengelus punggung Sofia lembut, berharap wanita itu bisa lebih tenang.
Sofia benci dengan dirinya sendiri. Dia tidak seharusnya menunjukkan kelemahan di depan Rafael. Bukan saatnya dia tenang dan merasa nyaman dengan seorang pemain cinta seperti dia.
"Aku tidak tahu bagaimana cara meyakinkanmu, Sofia. Seorang playboy sepertiku memang tidak pantas mendapatkan kepercayaan. Tapi ... bisakah kamu memberiku kesempatan sekali saja untuk menunjukkan padamu kalau apa yang aku katakan benar-benar tulus?" Rafael berbicara serius.
Lelaki itu membuat jarak di antara mereka. Dia menatap kedua bola mata Sofia dengan tatapan dalam dan menenangkan. Kedua telapak tangannya menangkap pipi mulus wanita itu.
"Untuk saat ini aku tidak bisa, Raf. Maaf. Aku masih ..."
"Ssst, sudah Sofia. Kamu tidak perlu menjelaskan semuanya. Aku paham apa yang kamu rasakan." Rafael mengusap puncak kepala Sofia, kemudian dia melangkah menuju kembali ke jendela.
Rafael menghela napas kasar. Dia tahu ini memang tidak mudah. Luka hati Sofia belum kering, dia tidak bisa memaksa untuk masuk. Hanya waktu yang bisa membuat situasi berubah. Setidaknya sampai Sofia bisa menerima kenyataan dan melupakan Erwin. Pertanyaannya hanya satu, kapan? Semilir angin bahkan tidak bisa menjawab kepastian itu.
Sofia duduk di kursinya. Dia memandangi punggung Rafael yang sedang menghadap ke arah luar. Lelaki itu cukup baik, tetapi tidak pantas kalau dia mengambil kesempatan ini untuk menjadikan pria itu sebagai pelarian.
Rafael memang seorang playboy, tetapi itu tidak bisa menjadi alasan Sofia untuk mempermainkan perasaannya. Tetap pada kesepakatan awal, dia dan Rafael hanya akan menjadi partner menikah, bukan pasangan seperti pada umumnya.
---
Brak!
Erwin menghempaskan pintu kamarnya kuat-kuat. Dia terlihat sangat marah mengingat apa yang dia lihat di kantor Sofia. Wanita yang dia cintai berciuman dengan begitu mesra dengan lelaki lain. Erwin merasa kebahagiaan Sofia tidak seharusnya terjadi.
Lelaki itu tertampar, saat mengetahui wanita yang sangat mencintainya dan mau mengorbankan uang serta waktu ternyata bisa jatuh cinta ke lain hati dalam waktu singkat. Erwin tidak terima, Rafael menjadi pemilik hati Sofia yang baru.
"Argh! Aku harus merebutnya kembali, Sofia. Tidak ada yang boleh memilikimu selain aku!" Erwin meninju dinding kamarnya, tidak peduli dengan buku-buku jarinya yang terluka.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan di daun pintu milik lelaki itu membuat Erwin mengalihkan pandangan ke arah sana. Dengan langkah cepat dia menghampiri pintu dan membukanya. Ternyata Farah. Wanita itu langsung memeluk Erwin erat.
"Kamu kemana saja, Sayang. Aku sudah menunggu kamu datang, tetapi ternyata kamu tidak menemuiku beberapa hari ini," ujar wanita itu dengan sangat manja. Tanpa melepaskan pelukannya pada tubuh Erwin.
Begitulah sifat Farah, berbanding terbalik dengan Sofia yang cenderung tidak agresif. Hal itu yang membuat Erwin lantas tergoda, dan berpaling.
"Aku hanya sedang ingin sendiri, Farah," ucap lelaki itu asal.
"Kenapa? Kamu sedih karena Sofia menikah dengan orang lain? Ada aku, Sayang. Kamu hanya perlu menikah denganku. Dengan begitu kamu juga akan merasa bahagia. Benar, 'kan?" Farah mengedipkan matanya berkali-kali. Seolah seperti sebuah boneka uang memamerkan bulu mata lentiknya.
Tentu saja Rafael tidak akan pernah menikahi Farah. Wanita itu tidak masuk dalam kriteria wanita yang cocok untuk dijadikan istri oleh Erwin. Dia lebih menyukai wanita mandiri seperti Sofia, dan tentunya kaya raya.
"Kita tidak akan menikah, Farah. Tolong jangan bicara omong kosong," sahut Erwin yang berusaha melepaskan diri dari Farah.
"Tapi kita sudah melakukan semuanya, Erwin. Bagaimana bisa kamu tidak berencana untuk menikahiku?" Wajah Farah terlihat sangat syok. Dia berusaha mengejar Erwin yang kini duduk di pinggiran ranjang.
Dia dan Erwin memang sudah melewati banyak malam bersama. Wanita itu tentu sangat berharap bisa menggantikan posisi Sofia. Tujuan utamanya memang menikah dengan Erwin. Bukan hanya sekedar hubungan tanpa status seperti sekarang.
"Kita melakukan itu atas dasar suka sama suka. Aku juga selalu pakai pengamanan. Jadi, aku tidak memiliki kewajiban apapun untuk bertanggungjawab atas dirimu, bukan?"
Mendengar itu, wajah Farah pucat pasi. Dia tidak pernah menduga kalau Erwin akan mencampakkan dia begitu saja setelah apa yang dia berikan selama ini.
"Tapi itu pertama kalinya untukku, Win. Aku menyerahkan semuanya padamu. Apakah aku sama sekali tidak ada harganya di matamu?"
Tangis Farah mulai pecah. Semua yang terjadi ternyata tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan. Erwin tidak sebaik yang Farah kira. Lelaki itu seperti monster yang tidak memiliki hati nurani.
"Aku tidak pernah meminta, kamu ingat? Kamu yang menawarkan diri untuk aku tiduri. Jadi, jangan menyalahkan aku. Salahkan dirimu sendiri. Asal kamu tahu, aku menikah bukan hanya untuk mendapatkan tubuh wanita, tetapi juga hartanya. Lebih baik, kamu jual saja dirimu, setelah kamu kaya, barulah kita menikah." ucap Erwin dengan senyum mengejek.
Tentu saja Farah tidak terima dengan apa yang Erwin katakan. Itu terlalu melukai harga dirinya yang memang sudah terkoyak.
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Erwin. Wanita itu merasa kalau tamparan itu memang cocok untuk lelaki seperti Erwin. Lelaki itu bahkan seharusnya mendapatkan yang lebih dari itu.
Mendapatkan perlakuan kasar dari Farah tentu saja tidak membuat Erwin tinggal diam. Dia menyeret wanita itu dan menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Lelaki itu kehilangan akal sehat dan menghukum Farah dengan cara memaksa wanita itu melakukan hubungan badan.
Perlakuan kasar Erwin tentu saja menyakiti Farah. Wanita itu hanya bisa menangis tanpa perlawanan. Dia kalah kuat dengan Erwin yang memegang kendali atas dirinya. Lelaki itu bahkan menidurinya dengan brutal. Tidak ada kenikmatan, yang ada hanya rasa sakit, baik fisik maupun psikis.
"Sekarang aku sengaja menghamilimu. Supaya kamu tahu, apa akibatnya berbuat kasar padaku. Setelah ini, jangan mendatangiku lagi! Aku hanya bisa mendoakan semoga bayi kita tumbuh subur di dalam rahimmu. Setelah itu, kamu akan mendapatkan banyak hinaan dari orang-orang atas aibmu," ucap Erwin seraya menyeringai dengan tatapan penuh kemenangan.
"Kamu jahat, Erwin! Jahat! Bagus Sofia tidak menikah dengan lelaki gila sepertimu! Dia memang berhak bahagia. Lelaki seperti kamu tidak lebih berharga dibandingkan sampah!" umpat Farah dengan histeris.
"Apa katamu? Kamu mau aku buat tidak bisa jalan, hah? Dasar wanita tidak tahu diuntung!" bentak Erwin tak terima.
Lelaki itu kembali menggagahi Farah dengan brutal. Tidak peduli dengan jerit kesakitan yang wanita itu lontarkan. Farah menangis sejadi-jadinya. Dia menyesal pernah menyakiti Sofia, dan merasa iri pada kebahagiaan sahabatnya itu. Ternyata karma yang dia terima secepat ini. Erwin yang dia kira akan membuatnya bahagia, ternyata hanya ingin meneguk madunya saja.