Waktu merayap begitu cepat. Hampir tengah malam, tetapi Sofia susah memejamkan mata. Penghianatan Erwin dan Farah terus saja membayang di pelupuk matanya. Rasa sakit itu seakan abadi dan tidak mungkin terhapuskan.
Sofia yang berada di balkon menekan tombol penghidup daya ponselnya. Jari lentik wanita itu seakan sudah terlatih untuk menari di sana. Menuju ke galeri dan berhenti pada foto seorang lelaki yang pernah dia cintai. Tepatnya, pria yang sampai detik ini masih dia cintai.
Bibir wanita itu tersenyum, mengelus wajah tampan pria yang tengah dia pandangi dalam foto. Lama kelamaan, senyum itu memudar, berganti dengan isakan yang memilukan. Dia ingin merelakan Erwin, tetapi itu terlalu sulit.
Sebagai seseorang yang sangat mencintai Erwin, perpisahan dengan perselingkuhan yang menjadi penyebab tentu sangat memukul perasaannya. Terlebih, Erwin melakukan perselingkuhan dengan sahabat yang dia percaya.
"Lap air matamu," Rafael tiba-tiba saja muncul sambil menyodorkan sekotak tisu pada Sofia.
"Terima kasih." Sofia mengambil beberapa lembar tisu, lalu mengelap wajah dan matanya yang sembab.
"Masih tentang lelaki itu? Hatimu sakit sekali, ya?" Rafael iba dengan kondisi hati Sofia sekarang. Walau dia belum pernah patah hati, lelaki itu bisa membayangkan, pasti rasanya sakit sekali.
"Aku hanya ingin lupa dengannya, tetapi mengapa itu sangat susah untuk dilakukan. Dia seakan terus membayangiku. Aku masih berharap dia kembali dan memulai semuanya dari awal." Sofia menyeka air matanya dengan tisu.
Dia paham, tidak seharusnya dia menceritakan apa yang dia rasakan pada Rafael, tetapi tidak ada pilihan lain. Hanya pria itu yang ada di sampingnya sekarang.
"Perasaan seperti itu saat baru saja berpisah sangat wajar, Sofia. Kalau memang kamu merasa kembali pada Erwin merupakan keputusan yang baik, kamu boleh melakukannya. Lakukan apa yang membuat kamu bahagia." Rafael berusaha menempatkan diri sebagai orang yang mengerti perasaan Sofia.
Setelah apa yang dikatakan wanita itu tadi siang, Rafael sadar, bagaimana dia harus bersikap di hadapan Sofia. Wanita itu membutuhkan pendukung. Seseorang yang bisa mengerti tentang apa yang sedang dia alami.
"Tidak, Raf. Aku tidak akan pernah kembali ke sisi Erwin. Walau sakit, aku akan tetap menggenggam hatiku. Meskipun aku harus merasakan sakit seperti tersayat sembilu, aku tidak akan pernah pernah menjatuhkan harga diri untuk mengemis cinta pada pria yang sudah menginjak kehormatanku." ucap Sofia begitu yakin, diiringi air matanya yang terus menetes.
"Kamu wanita spesial, Sofia. Rasa sakitmu sekarang akan terobati suatu hari nanti. Semua kesakitan ini hanyalah proses yang harus kamu lewati. Jangan menyerah. Karena di depan sana, ada kebahagiaan besar yang menantimu." Rafael tidak yakin itu berhasil, tetapi dia ingin Sofia bisa lebih tenang.
Rasa sakit yang sekarang tengah menggerogoti perasaan Sofia memang terlalu hebat. Wanita itu bahkan sampai merasa kalau dirinya orang yang malang dalam cinta. Bayangan bahagia saja sudah tidak tergambar di pikiran Sofia. Dia merasa kehancuran selalu mengintai setiap gerak-geriknya.
"Wanita spesial apa aku ini? Mempertahankan satu cinta saja aku gagal. Bagaimana bisa aku disebut spesial olehmu, Raf? Wanita gagal, itu sebutan yang pantas untukku. Pesta pernikahan indah, bulan madu ke beberapa negara, semua itu hanya menjadi mimpi burukku. Aku wanita yang tidak pantas mendapatkan semua itu. Aku terlalu buruk." Tangisan Sofia kian menjadi.
Rafael tidak bisa tinggal diam. Dia segera merangkul wanita itu dan mendekapnya erat. Di hadapan wanita lain, dia sanggup merangkai ribuan kata menjadi kalimat manis. Tapi di hadapan Sofia, dia seakan tidak tahu apa yang ingin dia katakan.
"Suatu saat kamu pasti bisa mewujudkan semua impianmu, Sofia. Bersabarlah. Kamu masih harus mengobati luka hatimu. Setelah masa itu usai, kamu bisa memilih siapapun untuk menjadi temanmu menikmati dunia."
Kalimat itu seakan seperti angin sejuk yang menyapa kegersangan hati yang sedang Sofia rasakan. Waktu dan penantian, dua hal yang sangat mungkin membawanya ke sebuah sisi yang membuat lukanya memudar. Tapi kapan? Melewati detik demi detik saja terasa sangat lamban bagi seseorang yang patah hati sepertinya.
"Kamu benar, suatu hari aku mungkin akan bertemu sosok yang bisa menggantikan Erwin, tapi kapan? Melewati hari setelah tanpa dia terasa begitu lamban. Luka ini terus saja berdarah. Sangat sakit, Raf." Isakan Sofia semakin menjadi.
Tiba-tiba ponsel Rafael berbunyi. Sofia membuat jarak dengan lelaki itu secara otomatis. Wanita itu menatap curiga, mengingat Rafael memang dilarang menemui para wanita yang memelihara dia selama menikah dengan Sofia.
"Mamaku, aku angkat sebentar." katanya sambil memperlihatkan layar ponsel ke arah Sofia. Wanita itu mengangguk setuju.
"Iya, Ma ... ada apa? Apa? Mama ada di depan rumah kami? Oke-oke, kami segera turun, Ma. Iya. Tunggu, Ma." Rafael langsung memutus sambungan telepon yang menghubungkan dia dan mamanya.
"Mama ada di bawah, Sofia. Hapus air matamu, ayo kita temui beliau." Rafael sedikit panik.
"Kenapa tiba-tiba?" Sofia langsung menarik beberapa lembar tisu lagi dan mengusap wajahnya. Wanita itu melempar tisu yang sudah dia gunakan ke dalam tong sampah yang berada tidak jauh darinya.
Mereka berdua melangkah menuju lantai bawah. Rafael menggenggam tangan Sofia tanpa sadar. Mereka berdua berhenti beberapa saat di depan pintu sebelum membukanya. Keduanya memasang pose romantis. Rafael merangkul wanita itu, sementara Sofia melingkarkan tangannya di pinggang ramping suaminya.
"Selamat malam, Ma. Silakan masuk." sapa mereka hampir bersamaan.
"Pasangan pengantin baru memang selalu membuat iri. Maaf, mama mengganggu waktu kebersamaan kalian," ucap wanita itu seraya masuk ke dalam rumah milik Sofia.
Rafael dan Sofia yang berada di belakang wanita paruh baya itu saling berpandangan dan kemudian mengikuti langkahnya.
"Tidak apa-apa, Ma. Aku dan Rafael justru senang Mama datang ke rumah kami," sahut Sofia.
"Silakan duduk, Ma. Biar aku siapkan minuman untuk kalian. Sayang, kamu temani Mama dulu, ya," sambung Sofia, berpura-pura sok mesra dengan Rafael.
"Baiklah, Sayang. Jangan lama-lama, aku takut merindukanmu nanti." Rafael mengikuti permainan Sofia.
Setelah beberapa saat berlalu, Sofia datang kembali ke ruang tamu, membawa tiga cangkir minuman hangat dan beberapa kue.
"Silakan, Ma." Sofia menghidangkan minuman dan makanan itu di hadapan mertuanya.
Kemudian, wanita itu memilih duduk di samping Rafael. Begitu dekat, hingga terlihat mereka tanpa jarak.
"Terima kasih, Sofia. Ehm, sebenarnya malam ini mama ingin menginap di rumah kalian. Mama belum terbiasa tidak melihat Rafael kembali ke rumah. Tapi ... kalau kalian keberatan, mama akan pulang sekarang." Wanita itu memasang wajah sedih. Sofia tentu saja iba melihat mimik wajah mertuanya.
"Aku dan Rafael tidak keberatan, kok, Ma. Iya 'kan, Sayang? Kebetulan di rumah ini ada banyak kamar. Mama boleh tidur di rumah kami." Sofia tertawa kecil, satu tangannya mencubit pinggang Rafael supaya lelaki itu mendukung aktingnya.
"Hahaha, iya. Sofia benar. Di rumah kami ada banyak kamar."
"Terima kasih. Kalian sangat baik pada Mama. Rasanya tidak sabar memiliki seorang cucu dari kalian. Mama menantikan saat itu." Kalimat yang diucapkan wanita itu membuat Rafael dan Sofia saling berpandangan dan memasang wajah aneh.
Mereka berdua tentu saja tidak pernah memikirkan untuk memiliki seorang bayi. Pernikahan mereka juga hanya beberapa bulan, jadi untuk memiliki seorang bayi tentu saja tidak mungkin.
"Ahahahaha, sepertinya memang lucu, Ma. Tapi ... kami belum berencana untuk memiliki anak. Masih ingin menikmati waktu berdua, iya 'kan Sayang?" Kini giliran Rafael yang meminta dukungan Sofia.
"Iya benar. Kami masih ingin bulan madu dulu. Mama tolong jangan terburu-buru."
"Baiklah. Tapi mama harap kalian secepatnya memiliki bayi," ucap wanita itu santai seraya menyeruput minuman yang disediakan oleh Sofia.
Rafael dan Sofia saling berbicara melalui kode. Seakan keduanya sedang berbincang perihal keinginan mama Rafael untuk mereka memiliki bayi. Sebuah ide yang menurut mereka sangat konyol.
Satu hal yang membuat Sofia sedikit khawatir. Karena ada mama Rafael, otomatis dia dan Rafael harus tinggal satu kamar. Itu sama sekali tidak ada dalam skenario pernikahan mereka. Bahkan Sofia sudah membuat peraturan tentang mereka tidak boleh tinggal dalam satu kamar.
Bagaimana mereka melewati malam dalam satu ruangan?