Lek Minto menyanggupi pesan dan tugas yang diperintahkan oleh Sujimin. Ternyata hati lelaki itu benar-benar sekeras batu dan sekeji perlakuannya sebagai si mbah dukun. Lek Minto is dukun, dia pun harus menjalankan amanat untuk membuat Juminten meninggal.
Tepat malam Jumat kliwon Lek Minto sudah siap untuk melakukan ritualnya. Di depannya sudah ada sesajen, dupa, lilin kecil yang hanya menerangi remang-remang ruangan itu. Dan juga di tangannya sudah ada selembar foto seorang gadis yang dimaksud. Lek Minto melakukan ritualnya sesuai ajaran si mbah dukun kakek moyangnya.
Kali ini mungkin belum tepat mengdnai sasarannya, Lek Minto tak menyerah begitu saja. Dia terus melakukannya dengan mulut komat kamit tak tentu arah. Sesekali dia harus menelan endog secara mentah-mentah beserta kulitnya, dan juga kemenyang bakar sebagai jimat kesaktiannya.
Juminten oh Juminten, kali ini kau bakal mati, kali ini kau bakal mati.
Tak henti-hentinya Lek Minto mengucapkan kata-kata tersebut dengan mulut komat kamit membaca mantra. Tangannya perlahan mdnusuk nusuk foto gadis itu dengan jarum tajam yang begitu banyak, lalu membakarnya bersamaan dengan kemenyan di hadapannya.
Akhirilah ajian ilmu santet ini, dan semoga tepat mengenai sasaran.
Lek Minto menahsn napas sebelym akhirnya membuangnya secara perlahan. Sehingga mengundang para demit dan setan lainnya yang merasa sangat terganggu dengan aroma yang menguar. Lek Minto bernapas lega dan menyumpal mulutnya dengan kembang kantil.
"Akhirnye selesai juge tugas gua, semoga aje tepat mengenai sasaran."
Usai itu datanglah salah satu pocong dengan wajah menyeramkan. Pocong itu pun memberi salam hormat kepada Lek Minto.
"Lapir, mbah. Santet yang mbah lakukan kini tepat mengenai sasaran. Dan dikabarkan gadis itu tewas kejang-kejang dengan mulut menganga," lapor si pocong pada Lek Minto.
"Bagus! Kalau begitu, lu pergi sono. Kalao ade tugas lagi, gua bakalan panggil, lu,"
"Assiap, mbah."
Dalam sekejap si pocong bergegas menyelinap menghilang dari pandangan Lek Minto. Lelaki itu meneguk segelas kopi, lalu menyemburnya ke arah lilin. Alhasil, ruangan kini padam tak menyisakan sedikit pun cahaya.
"k*****t! Gara-gara si pocong sialan, gua jadi gelap-gelapan."
*****
Paijo yang sedang merasakan firasat buruk segera bangkit dari tidurnya. Malam ini dia diselimuti oleh rasa aneh mengenai Juminten. Paijo berpikir dan menerka-nerka bahwa terjadi sesuatu pada gadis pujaannya. Dia pun bergegas mengambil ponsel dan mencoba untuk menghubungi nomor Juminten. Namun, nomor tersebut sedang tidak aktif atau berada di luar jaringan.
Sial! Kenape gua kepikiran si Juminten, ye? Feeling gua, kagak enak, nih. Kayak terjadi sesuatu ame tuh anak.
Paijo pun mengurungkan niatnya untuk tidur kembali. Sepertinya dia benar-benar tidak dapat memejamkan matanya setelah kepikiran si Juminten. Sampai waktu subuh pun Paijo masih berkutik dengan ajiannya. Semua ajaran yang dilakukan oleh si mbah, dia lakukan demi mencaritahu apa yang sedang terjadi pada gadis itu. Akan tetapi, semua hasilnya nihil, Paijo tak berhasil melakukannya dan selalu mendapatkan jalan buntu.
Pagi hari telah tiba, Paijo masih terkapar di kamarnya beriringan dengan suara dengkuran tang tak ada hentinya. Tampaknya lelaki itu benar-benar kelelahan dan sedang menikmati mimpi buruknya.
"Jo, Paijo, bangun, le. Ada surat dari Juminten." terdengar suara emaknya dari balik pintu kamar.
Si emak terus menggedor-gedor pintu kamar putranya dengan sekuat baja. Namun, tak ada sahutan dari dalam.
"Paijo, oh, Paijo. Ayo bangun, le. Ada surat ini dari Juminten."
Seketika Paijo tampak terjaga dan buru-buru mengerjapkan matanya. Dia pun bangkit dan bergegas membuka pintu. Terlihat sang emak menyodorkan selembar surat kepada Paijo. Lelaki itu pun menerima dan nembacanya.
"Juminten mau pulang, mak?" ujar Paijo sedikit girang.
"Nggih, le. Bukannya ini hari ulang tahunmu, barangkali si Juminten mau ngasi surprise," balas emaknya.
"Ya wes mak. Aku siap-siap dulu nau jemput Juminten,"
"Iyo, le. Mandi yang bersih lho, biar bolotmu yang nempel pada ilang,"
"k*****t, lu, mak."
Si emak hanya cekikikan pelan melihat sikal konyol putranya. Semakin dewasa bukan semakin baik sikap putranya itu. Malahan semakin nggak beneh kelakuannya.
Paijo telah siap dengan sepeda motornya menuju bandara. Sepanjang perjalanan lelaki itu tak henti-hentinya menahan kegembiraan dalam hatinya, akan kepulangan Juminten. Dengan sesekali melajukan motornya berharap cepat tiba di bandara tujuannya sebelum Juminten tiba. Paijo benar-benar sudah menjanjikan kepada gadis itu bahwa dia akan segera menikahinya jika gadis itu telah kembali. Namun, dalam kyrun waktu sehari saja, Juminten sudah kembali dan tepat di hari ulang tahunnya. Paijo tak henti-hentinya mengucap rasa syukur kepada sang Kholik atas takdir yang akan mempertemukannya kembali.
Asap mengepul keluar dari knalpot motornya, dan suara nyaring melengking motor milik Paijo. Tepat berhenti di sebuah bandara. Paijo mengedarkan pandangannya dan tak sabar menanti kepulangan gadis yang menjadi kekasihnya. Waktunya tinggal setengah jam lagi, Paijo harus tepat waktu mnunggu gadis itu sebelum ketinggalan jejak. Sambil menunggu kedatangan Juminten, Paijo pergi ke penjual minuman untuk melegakan tenggorokan yang mulai kering kerontang.
"Nunggu siape lu, bang?" tanya penjual minuman.
"Biase, mang. Nunggu calon istri," jawab Paijo santai, setelah itu meneguk sampai habis minuman yang dibelinya.
"Oh, dari luar negeri, ye?"
"Iye, mang, biaselah melamar kerja, mang,"
"Wah! Cakep tuh bang, pasti cantik ye tuh cewek,"
"Jelas cakeplah, bang, namenye Juminten,"
"Juminten?"
"Iye, kenape mang?"
"Ah, kagak ade, bang. Yaudeh bang, lanjutlah,"
"Oke, mang."
Pesawat Garuda International, akan segera tiba.
Terdengar dari kejauhan suara seorang wanita dari pengwras suara yang ada di bandara itu. Paijo tersentak danvtak dapat menahan rasa girangnya saat pesawat telah mendarat di lapangan. Langkahnya tak henti-hentinya terus mencari sosok gadis pujaannya. Juminten calon artis kroya.
Paijo terus berjalan mencari sosok Juminten pacar tercintanya. Dia sudah tak sabar menahan rasa rindu yang kian menggebu. Tampak dua orang petugas bandara datang menghampiri Paijo dengan membawa sebuah peti jenazah. Paijo bungkam dan tak dapat berkutik. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri apa yang sedang terjadi? Mengapa peti itu diberikan padanya?
"Selamat Pagi, Pak Paijo. Ini ada sebuah kado berupa peti jenazah, dan kami tidak tau siapa yang ada di dalamnya," ucap salah dua petugas bandara itu.
Paijo tersentak kaget dan pikirannya tertuju pada Juminten. Dia tak sabar ingin segera membuka peti jenazah itu dengan cepat. Tangannya sedikit gemetar dan perlahan membuka peti tersebut. Alangkah terkejutnya saat Paijo mendapati sosok gadis yang dinantikan itu. Juminten telah tewas meninggal selama berada di luar negeri.
Paijo meraba wajah jasad Juminten dengan wajah sedikit meneteskan air mata. Paijo tak menduga jika Juminten mengalami kematian secara tragis.